Perlahan dia memejamkan matanya tanpa keraguan sedikitpun. Kelopak yang mati rasa itu dengan cepat memadamkan pandangan hidupnya. Pandangan hidup berupa lingkaran cincin bulan, rumpun mawar segar, hijaunya bonsai kecil yang tertanam di atas pot hitam, birunya langit yang jatuh menjangkit ke laut hingga laut ikut membiru, dan warna putih sebuah kamar mungil bersih dengan lampu jingga redup di malam hari. Pandangan hidup yang sesungguhnya enggan untuk ditinggalkannya.
Tak butuh waktu lama hingga pandangan hidup itupun telah digantikan dengan pandangan hidup lain yang samar, berkabut kelabu, dan…….. hanya berselang beberapa menit semua itu jelas di hamparan pandangannya. Sebuah pemandangan gersang tanpa batas di sekelilingnya dengan diselingi kabut basah yang mengganggu kulitnya….. dalam waktu singkat dia dapat memberi judul pada pemandangan yang disaksikannya, pemandangan berjudul “KOSONG”.
Tubuhnya kaku, seperti baru berubah dari wujud solid keras berupa batu menjadi makhluk koloid bernama manusia. Dia menengadahkan kepalanya, mengurut lehernya perlahan, pegal sekali. Setelah rileks barulah dia bisa menyapu sekelilingnya, lukisan hebat yang tergambar di permukaan pupilnya yang basah.
Padang pasir berbingkai udara terbentang luas di atas dia duduk, sebuah pohon beringin besar mongering dan menyendiri di sudut kanannya dalam jarak yang tak terkirakan. Dia memutar pandangan ke kiri, kosong, hanya hamparan pasir, kabut, debu, dan tak ada matahari, bulan, bonsai, mawar dan tak ada pandangan hidup di tempat itu. Satupun.
“Di mana matahari?, di mana bulan?, malamkah ini?, siangkah ini?” berbagai pertanyaan mulus meluncur dari bibirnya tanpa ada pikiran untuk mendapatkan jawaban dari siapapun, tak ada seorangpun disana. Matanya menyapu pandang ke sekeliling tanpa mampu berdiri, kakinya membatu diam, tak bisa bergerak sama sekali.
“Tak sadarkah kau sedang berada di mana sekarang ?”
Desiran lembut si angin pembawa suara halus berlalu di bawah telinganya, angin itu membawa sebuah pertanyaan yang muncul dari tempat yang sangat jauh, “Wahai Putri, tak inginkah kau tahu, sedang berada dimana kau sekarang?” manis sekali suara yang menusuk telinga itu. Jelas bukan suara manusia.
Kepalanya yang hanya mampu berputar sejauh delapan ratus derajat tanpa mampu menggerakan bahkan menggeser sedikit saja posisinya sangatlah mengganggu. Dia menyapu pandang kembali seadanya, tetap gurun, tetap kabut, tetap beringin kering yang jauh disana sendirian, dan ini jelas bukan sebuah pandangan hidup. Bukan juga pandangan selain hidup. Bukan pula pandangan mimpi. Kekosongan yang tak terkira, dan ada suara berbisik antara kekosongan itu. “Siapa itu?” serunya dengan tak tenang.
Angin kencang menerpa gurun, menerbangkan jutaan partikel pasir, menciptakan badai pasir yang amat kencang, membakar pohon beringin kering, namun badai itu tak menyentuh tubuhnya sedikitpun. Tidak sedikitpun. Matanya menatap nanar pada api yang menyala dari kejauhan yang tampak seperti rumpun bunga jingga menari-nari dan api itu tak pernah mau padam sebelum dipadamkan.
“Apakah kau takut, Putri” bisikan manis itu kembali lewat, dia mencari-cari ke setiap penjuru yang mampu dia capai. Pasir belum hilang dari udara, kabut basah yang tadi mengganggu kulitnyapun mulai gatal tercampur dengan debu pekat. Pandangan kabur itu kembali,…. Selang beberapa menit udara kembali bersih, dan sebuah siluet biru bercahaya muncul di hadapannya.
Pupilnya yang basah itu menangkap seonggok tubuh tegap yang berdiri dengan rambut hitam, lurus dan wajah oriental, matanya yang biru menatap tajam dan menanam kesan di hati Putri.
“Kau” seru Putri tanpa berpikir, bibir mungil itu seperti bergerak sesuai keinginannya, tak terkendali oleh Putri. “Mengapa kau baru muncul, aku lelah menunggumu disini”
“Maafkan aku, aku tak bermaksud membuatmu menunggu, aku tak bermaksud membuatmu membatu sendiri disini. Aku lupa, aku terlelap dengan mimpi. Maaf Putri!” wajah lelaki itu terlihat sangat mengiba di balik kabut basah yang kembali seperti semula. Badai pasir tadi seakan hanya sebuah sensasi penyambutan seorang lelaki bercahaya biru yang akan muncul, dan ketika itulah dia baru sadar bahwa tubuhnyapun memancarkan kilau putih yang cukup menyilaukan. Matanya menerawangi tubuhnya sendiri, gaun putih mencolok. Dia seorang Putri, sesuatu yang terlambat disadarinya.
Lelaki biru itupun membungkuk untuk menyetarakan posisi pada Putri yang tak mampu bergerak sedikitpun. Dia mengulurkan tangan pada Putri
“Ikutlah bersamaku, Putri”
Putri hampir menyambut uluran tangan itu, ketika tiba-tiba seorang gadis bercahaya biru muncul di belakang lelaki itu, menghentikan mereka.
“Hentikan Biru” serunya nyaring.
Putri menatap gadis itu dengan seksama, seorang gadis bergaun biru, rambut pirangnya yang lembut menjuntai ringan di kepala, tatapan mata menusuk yang sangat ramah, dan sayap basah yang sepertinya terbuat dari awan. Warna, sikap, dan tubuhnya benar-benar tak akan mampu menyatu dengan gurun gelap berkabut yang tetap kosong walau kini diisi oleh dua mahluk yang, entah dari mana.
“Apa yang kau lakukan Biru, kau mau pergi dariku ?. Tak akan pernah bisa!”
“Tapi…..” kalimat Biru terputus, tercekat di tenggorokan, sesuatu yang melarangnya bicara lebih jauh.
Putri menatap ke arah lelaki bernama Biru itu, dia membalas tatapan mengiba yang baru saja dilemparkan Biru ke mata Putri sesaat sebelum gadis pirang itu muncul.
“Siapa dia Biru” kembali Putri menyuarakan hal yang tak ingin dia ucapkan, bukan itu yang ingin sekali dia ungkapkan sedari tadi. Ada hal lain, tapi apa? Entahlah.
“Aku mimpinya” sekejap si gadis pirang menyambar jawaban yang seharusnya terungkap oleh mulut Biru. Jika Putri tak salah lihat, mata gadis pirang itu terlihat menyala seperti bunga jingga menari-nari, seperti api pohon beringin kering yang terbakar, yang tentu saja tak akan padam sampai kapanpun.
“Bagaimana bisa? Biru tak pernah berpikir tentang kau sebelumnya, tak mungkin kau menjadi mimpinya begitu lama” Putri setengah berteriak mengucapkannya, dia merasa tak percaya dengan setiap patah kata yang keluar dari gadis pirang yang menamai dirinya “mimpi” itu.
“Ayolah anak manis” jawabnya angkuh “aku ini mimpi, di dunia nyata dia hanya ingat kau, tapi di mimpi dia milikku, dia hanya memikirkanku, jadi jangan berharap banyak”.
Dahi Putri mengerut, sesuatu berkilau dari sudut matanya.
“Benarkah itu Biru?” tanyanya sambil memutar pandang ke arah Biru.
Sesuatu yang amat mengecewakan, karena ketika itu dia hanya mendapati seorang Biru memalingkan muka tanpa menjawab sepatah katapun. Tak mampu membela diri, tak mampu memberi alasan, tak mampu berbohong.
“Jadi semua itu benar” gumamnya sedih. Dia kembali merasa sunyi, semakin sunyi, kehadiran dua makhluk bersiluet biru itu, tak meramaikan pikirannya yang tersesat lemah tak mampu bergerak di padang gersang yang tetap kosong.
“Lihatlah dia, dia begitu senang berkutat dengan mimpi, dia suka aku. Cobalah bermimpi sekali saja, bermimpi itu indah, jika kau suka bermimpi, pandanganmu tak segersang ini” aksen merendahkan dari nada bicara gadis pirang itu sekarang semakin mengental. Mungkin itu ciri khasnya, seorang antagonis. Matanya tetap membara, tetap bersemangat, tetap jahat dan meluluhkan.
Mungkin kali ini Putri menganggap dia memiliki kesempatan untuk membentak ketika mengucapkan “tidak akan” dengan keras, tapi makhluk biru bersayap itu tak cukup baik untuk tersenyum sendirian, mimpi tak pernah sendirian, mereka selalu memiliki teman.
“Tidak? Bagaimana bisa kau menolak, lihatlah mimpimu! Dia menunggumu sejak lama” mimpi itu menunjuk ke belakang Putri, dia mencoba menoleh ke arah yang tak mampu dia capai karena keterbatasan pergerakan. Namun kali ini berbeda, tubuh Putri meringan, amat ringan. Tubuhnya berbalik dengan mulus menatap seorang lelaki berambut hitam, berpakaian putih dengan siluet putih menyilaukan. Matanya yang sangat lembab seakan-akan terdiri dari berlapis-lapis lensa mata menatapnya dengan tatapan seseorang yang lelah, seseorang yang baik, seseorang yang akan bilang aku akan membahagiakanmu, seseorang dengan sayap bulu putih yang beterbangan seperti debu kelabu serupa pasir. Cahaya matanya amat menyakitkan di mata Putri, mengubah semua pandangan kosong yang tadi ditangkap oleh pupil lembabnya.
Kini pandangannya berubah, tetap padang gersang namun tak kosong. Tetap pohon beringin kering yang terbakar sendiri seperti rumpun bunga jingga menari-nari namun tak hanya di sudut kanan pandangannya. Di depannya dia melihat hamparan laut biru yang sangat menggiurkan, di samping kirinya dia melihat ribuan jam pasir terbengkalai. Ada yang terkubur, ada yang berdiri tegak, namun tak satupun berfungsi. Di atas kepalanya dia melihat jutaan burung merpati putih berputar-putar menghipnotis matanya yang mulai ikut berputar. Di balik api jingga dari pohon beringin dia melihat selapis cahaya putih terang seperti ada sepuluh juta lampu neon yang menerangi ruang di balik pohon beringin. Di padang pasir yang menopang tubuhnya, dia menyaksikan puluhan selendang berhamburan dari ujung kiri batas pandangannya, hingga sudut kanan batas pandangannya. Tak cukup itu saja, di balik kabut dan debu kelabu yang dihamburkan oleh sayap lelaki itu, sedikit demi sedikit terlihat pintu-pintu menancap miring di atas pasir, terbuka dan tampaklah lingkaran hitam berputar-putar tak beraturan di baliknya. Kejadian terakhir yang benar-benar tak mampu lagi membuat Putri terdiam dengan kegaduhan ini adalah ketika rumpun bunga jingga yang menari-nari menggandakan diri, menjadi hutan bunga jingga yang menyala panas di atas pasir. Tak ada lagi kekosongan yang patut dipertanyakan, ruang itu penuh, penuh dengan hal yang tak jelas.
“Kau, siapa kau. Mengapa aku merasa begitu mengenalmu?” kini suara yang tak bisa keluar untuk takjub akhitnya hadir juga. Dan dia melontaran pertanyaan dengan amat berkesan. KETIDAKTAHUAN.
“Aku ini mimpimu Putri, ikutlah bersamaku. Bersamaku kau tak akan lagi merasakan yang namanya menunggu, diam, dan membatu seperti sekarang” ucapannya sangat meyakinkan, berbeda sekali dengan aksen gadis pirang, mimpi yang satu ini terlihat “baik” dan lebih pandai.
“Tidak akan” Putri berteriak lagi, dia semakin frustasi dengan situasi ini.
“Tapi, kau tak bisa menolak. Sekarangpun kau sedang bermimpi, kau hanya tinggal ikut aku” nada bicara lelaki bersayap putih itu sungguh lembut, mengiba dan tajam. Dia mendekati Putri perlahan, berlutut di hadapan Putri lalu mengulurkan tangan pada Putri persis seperti yang dilakukan Biru tadi, sebelum Biru kehilangan suaranya, sebelum dia kehabisan bahasa.
“Ayolah Putri ikut aku” serunya.
Sambutan uluran tangan itu akhirnya tertolak ketika suara Biru kembali dan berucap dalam “Tidak Putri, aku tak bisa kehilanganmu lagi, aku tidak bisa…”
“Dan kau tak akan bisa kehilanganku Biru, aku tidak akan melepaskanmu begitu saja, ingat itu” Gadis pirang berteriak sesuai aksen dan kebiasannya dalam berbicara, kejam, merendahkan dan senang menyambar.
Bentakan-bentakan dan suara mengiba yang menjadi satu di telinganya mengguncangkan kepala Putri, untuk pertama kalinya Putri bangkit, berdiri sambil memegangi kepala dengan erat. Dia melayang di atas pasir, berputar, pusing, dan tertekan.
“Tidak, aku tidak mengerti, aku tidak kuat, aku…” Putri limbung di pasir kelabu. Kediaman menyelimuti ruang sesaat. Hingga Biru memecah kesunyian.
“Apa yang kalian perbuat pada Putri?, apa?” Biru berteriak sekeras yang dia mampu, namun suara itu hanya masuk seperti frekuensi terbang seekor gagak di telinga mereka yang sepertinya hanya replika. Semua pihak ragu mereka benar-benar memiliki telinga.
“Apa lagi? Tentu saja membuatnya bermimpi, agar aku bisa bersamanya selamanya” sahut lelaki bersayap putih dengan nada lembut dan kejam.
“Tidak akan kubiarkan” jawab Biru mantap namun penuh ketakutan.
“Kau tak akan membiarkan apa hah” suara kecil pecah yang beraksen merendahkan itu langsung mengguncang hati Biru, menyadarkan Biru akan ketidakberdayaannya di sana “Kau bahkan tak mampu berbuat apapun, kau lemah, kau hanya perlu aku” sambungnya.
Otaknya bergetar hebat mendengar kalimat itu. Kalimat yang seperti mantera, perlahan meluluhlantakkan kesadarannya, memberikan pandangan berputar yang luar biasa dan dapat ditebak bahwa diapun limbung bersama ketegangan yang belum bisa diregangkan kembali.
Keheningan kembali menguasai alam gersang itu hingga dua sosok perak muncul dari balik kabut.
“Apa kita terlambat Rama?” tanya seorang gadis yang baru saja muncul
“Entahlah Mala” jawab lelaki bernama Rama itu. Dia membalik pandangan pada dua mimpi berwajah kejam, jahat, dan memikat di dekat dua tubuh tak berdaya di atas pasir. “Hey apa yang kalian lakukan pada mereka”
“Heh, aku bosan dengan pertanyaan itu, pertanyaan bodoh” sambutan gadis Biru itu sama seperti sebelumnya, melecehkan “Kami hanya membuat mereka bermimpi” sahutnya sambil tersenyum sinis.
“Mungkin sekarang mereka sedang menikmati mimpi mereka bersama kami” lelaki bercahaya putih menyambung. Terlihat sekali bahwa dia tak pernah mau ketinggalan untuk menyiksa hati seseorang dengan kelembutan bicaranya yang tak pernah bisa ditolak ataupun tak diacuhkan.
Kemala maju menuju tubuh Putri yang teronggok lemah seperti mayat, lalu menyentuhnya dengan sekuat tenaga “Putri bangun”, teriaknya dan seperti mantera, perintah itu langsung terlaksana. Putri bangun seketika dengan espresi takut dua kali lipat dari sebelum dia pingsan.
“Kau, siapa lagi kau. Mengapa begitu banyak orang asing yang menarikku” sambar Putri sambil ketakutan dan merangkak mundur dari Mala.
“Aku bukan orang asing Putri, bersamakulah kau seharusnya, akulah kenyataanmu Putri” gadis bernama Kemala itu dengan keras berusaha membujuk Putri yang sangat bingung dan tak mengerti situasi yang mengelilinginya.
“Putri, aku tahu kau bermimpi indah, relakah kau melepas mimpi itu demi secuil kenyataan menyakitkan ini Putri? Lebih baik kau ikut aku. Aku akan membawamu bermimpi indah selamanya Putri, kau mengerti arti selamanya kan?”
“Jangan Putri, dia hanya mimpi, dia tak nyata, dia merampas waktumu”
Lelaki bercahaya putih mulai bergerak kembali, mendekati Putri dan mengulurkan tangan penuh kepalsuan. “Ikutlah bersamaku, bersama mimpi”
Mala lalu menghampiri Putri secara perlahan, dia mengulurkan tangan pada Putri. Putri mengangkat wajahnya, menatap telapak tangan putih milik gadis perak bernama Kemala itu dengan seksama. “Ikutlah bersamaku Putri” sambungnya lagi.
Putri menatap keduanya bergantian hingga kepalanya pusing. Dia lalu menunduk dan membenamkan kepala diantara lutut yang dipeluknya erat dipermukaan dadanya.
“Tidak, aku tidak sanggup” suara Putri tertahan hingga dia menumpahkan air bening dari sudut matanya, air mata ketakutan.
“Kaupun harus bangun Biru” sambut lelaki perak bernama Rama. Dia menyentuh Biru hingga Biru bangun dan menatapnya nanar dalam kegelisahan yang tidak jelas.
“Kau, kaukah yang membangunkan aku? Siapa kau?”
“Aku kenyataanmu Biru, kenyataanmu yang jujur”
“Bagaimana dengan Putri?” Biru menyisir pandangannya, dan melihat Putri menelungkupkan wajah diantara lututnya dari kejauhan. Dia melihat Putri dalam jarak yang sangat jauh, namun terlihat jelas oleh perasaannya bahwa Putri menangis.
“Putri, dapatkah kau mendengarku Putri” teriak Biru, namun disana teriakannya itu tak lebih keras dari dengungan merpati di atas kepala Putri.
“Dia tak akan pernah mampu mendengar atau merasakanmu Biru” sahut gadis pirang bermata jingga itu dengan mantap.
“Apa yang kaulakukan padanya” Biru mulai putus asa, keraguan semakin menjilati hatinya ketika dia membuktikan sendiri bahwa dia lemah di hadapan mimpinya yang hanya seorang gadis pirang kejam yang hanya bisa bicara pedas.
“Aku tak melakukan apapun, dia hanya sedang memejamkan mata. Sekarang kau tahu kan rasanya” jawabnya. Biru mengernyitkan dahi.
“Ini yang dia rasakan ketika kau bersamaku, ini yang aku rasakan saat kau bersamanya dan ini pula yang mimpi Putri rasakan ketika kau dan Putri bersama, sekarang kaupun tahu rasanya” bentak gadis pirang bermata pijar.
“Hentikan permainan ini, apa yang kau inginkan. Kau ingin membunuku?” Biru mulai kesal dan membuncah marah pada setiap kata yang keluar dari mulutnya.
Rama tak bisa berbuat apapun selain menatap iba atas ketidaksadaran Biru akan situasinya, bahwa tak pantas dia marah pada sesuatu yang merupakan bagian dari dirinya sendiri. “sudahlah Biru, apa yang kau lakukan. Marah pada mimpimu sendiri. Kau justru membuatnya semakin nyata, dan asal kau tahu dia tak berniat membunuhmu, dia ingin menjadikanmu mimpi seperti dia yang kesepian”.
Biru menatap kedua orang itu bergantian, hingga pada detik terakhir dia menangkap teriakan keras luar biasa dari kejauhan, dari arah seorang gadis yang membenamkan kepala sendiri di padang gersang.
“Aku tidak bisa, aku tidak tahan, aku bisa gila kalau begini….” Teriakan keras itu terbawa angin hingga posisi Bitu berdiri. Putri bangkit dan berputar, dia lalu mundur selangkah demi selangkah, terus mundur dan menjauh. Lalu lenyap tak berbekas, Putri telah hilang dalam jangkauan mata Biru, mereka terpisah di satu ruang tanpa batas, akankah aku bisa menemukannya lagi…. “Putri mana dia, mengapa dia menghilang?” wajahnya penuh peluh, membiru, persis makhluk sekarat yang tak sabar memaksa Tuhan mencabut nyawanya yang tergantung di tenggorokan. Dia mundur beberapa langkah, terus mundur dan jatuh ke dalam pintu lingkaran hitam bergravitasi besar. Biru tertarik kedalamnya bersama mimpi dan kenyataan yang setia mengejarnya.
“Dia masih ada disini Biru, sangat dekat, hanya saja mimpi telah membatasi kalian”
“lalu bagaimana caranya aku bisa bebas”
“hanya kau yang tahu caranya”
Jawaban itu seakan memaksa Biru untuk pasrah, tapi dia bukan orang seperti itu, dia lalu memejamkan mata, membayangkan replika mimpi sebenarnya, mimpi yang lemah, mimpi yang tak nyata, mimpi yang tak punya kenangan berharga. Mimpi, dia bukan apa-apa.
*
Putri masih bertahan dengan posisi meringkuknya, bahkan setelah dia menemukan sebuah benda yang mampu menumpu punggungnya untuk bersandar. Sebuah jam pasir raksasa yang setengah terkubur, beraroma mawar, salah satu pandangan hidup yang dia rindukan. Dia terlihat tak punya niat mengangkat kepala dan menatap kedua makhluk yang dengan rela mengikutinya kemanapun, ke ruang berpendar debu yang tak jelas.
Sesosok makhluk muncul lagi, tubuhnya tegap dan gagah tertutup jubah hitam panjang yang menutup hingga kepalanya, hanya cahaya matanya yang tajam yang terlihat dari balik kegelapan di seluruh tubuhnya.
“Hentikan, biarkan dia sendiri, berikan dia waktu” suara lelaki itu besar, serak, dan menggema. Memunculkan ketakutan tersendiri bagi kedua makhluk yang sedari tadi setia berdiri di depan Putri, namun tidak untuk Putri. Tak ada sensasi hebat dan menakutkan di mata Putri selain pada dua hal yang sedang memaksanya “ikut”.
“Kau” sahut keduanya bersamaan
“Pergilah dulu” perintahnya, lalu dia menghampiri Putri.
“Tenanglah Putri, jangan ketakutan seperti itu” suaranya mengecil, lembut dan sangat jujur.
“Siapa kau, mengapa kau tak ikut menarikku untuk mengikutimu, seperti mereka” sahut Putri ragu.
“Untuk apa, apapun pilihanmu kita pasti akan bertemu”
“siapa kau sebenarnya”
“akulah keburukan” jawabnya mantap “saat kau memilih mimpi, aku adalah mimpi burukmu dan saat kau memilih kenyataan aku adalah cobaan” sambungnya
“Tapi kau tak tampak seperti itu”
“Kau sedang berada di persimpangan antara mimpi dan kenyataan, disini aku tak bisa menunjukkan seberapa kejam diriku” sahutnya lagi
“Jadi kau kejam?” nada bicara Putri menjadi penuh keraguan setelah apa yang dia alami sesaat sebelumnya.
“Tentu, sekarang kau berpikirlah dulu, waktumu tak banyak. Aku akan menemuimu lagi nanti” lalu sebuah tepukan lembut di bahu Putri tiba-tiba saja merayap masuk ke sarafnya seperti obat, rasa tegangnya berkurang drastis. “Benarkah dia keburukan” sambung Putri dalam hati.
*
Sebuah guncangan hebat mengejutkan Biru yang hampir terlarut dengan jatuhnya yang lembut dan sangat lambat. Dia jatuh perlahan seperti kapas, sensasi yang dia dapat setelah melewati sebuah cincin emas raksasa yang membatasi jalur perpindahannya ke suatu tempat di ruang yang sama, elemen yang berbeda.
“Apa yang harus kulakukan, aku merasa telah sadar tetapi aku masih melihatnya di hadapanku” Biru membentak pada Rama dengan penuh harap. Dia agak sedikit puas karena di tempat itu teriakannya lebih dihargai. Setiap teriakan menimbulkan gema nyaring yang memantul di dindingnya yang hitam, suaranya bukan lagi dihargai hanya dengan senilai frekuensi terbang seekor gagak ataupun suara kepakan sayap merpati di atas kepala.
“Hanya kau yang tahu caranya” jawab Rama. Jawaban yang sama, ekspresi yang sama, dan nada bicara yang sama, tetapi ada yang berbeda dari aksen Rama kali ini. Jawaban itu mendorong Biru untuk terus berpikir.
“Mungkin aku harus membunuhnya” serunya nyaring. Itu adalah sebuah kesalahan dan Rama sadar itu.
“Apa!!!, kau mau membunuhku” sahut mimpi “takkan pernah bisa. Aku kuat, aku mimpi” teriaknya hingga menggetarkan ruang gelap pekat yang memusingkan itu.
Biru maju selangkah demi selangah pada mimpinya.
“Biru hentikan” Rama mencoba mencegah Biru yang seperti orang kerasukan “kau dan kemarahanmu bisa membuatnya berubah menjadi……” tanpa sempat kalimat itu diselesaikan, muncul seorang lelaki berjubah hitam panjang. Tatapan matanya seratus kali lebih tajam, marah, dan melecehkan dari gadis pirang.
“Siapa lagi kau?” tanya Biru
“Aku masih mimpimu. Mimpi burukmu. Ini mimpi, aku bisa membunuhmu berkali-kali, menghancurkanmu berkali-kali, membuatmu gila berkali-kali. Aku mimpi. Aku mimpi buruk” dia bicara bagaikan hantu gentayangan seorang sastrawan lama. Gayanya yang misterius mulai menciutkan hati Biru, namun Rama ada disana. Sosok perak berupa kenyataan, sosok yang adalah sebagian dari keberanian seorang Biru.
“Biru, hentikan emosimu. Kau membuatnya semakin nyata di kepalamu”
“Aku tak tahu lagi, apa yang harus kulakukan?”
“Lupakan mimpimu, seperti apapun wujudnya!”
“Tidak akan bisa. Dulu dia terbuai dengan mimpi indah padahal dia mampu melepaskan diri. Sekarang saat aku mendatanginya, dia tak bisa lari, aku mengikatnya dengan sangat kuat. Iya kan Biru” suara mimpi itu begitu menggelegar seperti petir, menakuti hati Biru. Namun ketakutannya pada kekalahan terlalu banyak hingga mengalahkan segalanya.
“Tidak, kau hanya mimpi. Kau mimpiku, aku yang seharusnya mengendalikanmu, kau yang seharusnya gentar padaku, bukannya aku” teriakan demi teriakan membangkitkan keberanian Biru yang tadinya terkubur di bawah kaki mimpi.
“Kata-katamu tak ada pengaruhnya” walaupun telah berganti wujud, aksen merendahkan yang dimilikinya tak bisa hilang begitu saja.
“Benarkah, mungkin aku masih terlihat takut di matamu, tapi lihatlah mimpi. Demi Putri aku harus menghapusmu, demi kenyataan, demi Tuhan…. Mimpi, seharusnya kau tak ada” teriakan Biru mencapai puncaknya, sisi kiri dinding hitam yang berputar-putar itu retak. Mimpi mulai runtuh.
“Apa yang kau katakan Biru?” sambar mimpi dengan kagetnya
“Dia mengatakan apa yang dia rasakan, sekarang kau tak bisa menghindar” jawab Rama dalam keremangan cahaya. Perak di tubuhnya pecah seketika, menimbulkan cahaya baru yang lebih menyilaukan.
“Kau tak lebih kuat dari bayangan, kau tak bisa menakutiku lagi”
“Tapi itu tak mungkin, aku lebih kuat sekarang”
“Apapun yang kau katakan” sahut Biru “seperti apapun wujudmu, kau tak bisa menyentuhku… aku nyata” Retakan di sudut kiri membesar, sebongkah dinding hitam pekat jatuh dan pecah ke lantai, berubah menjadi kepingan pasir hitam.
“Tak kusangka kau begitu ingin melenyapkanku. Seberapa kuat kenyataanmu itu hah!!!!?”
“Kenyataan itu lebih kuat dari yang kau kira, kau tak bisa mengikatku” langit hitam di atas kepala Biru mulai runtuh, pecah menjadi pasir hitam di setiap patah kata yang keluar oleh Biru.
“Tidak, bagaimana kau bisa lepas. Aku mengikatmu dengan kuat”
“Kuat bagimu, dan tak nyata bagiku!. Kau tahu mimpi? Aku benar-benar ingin melenyapkanmu”
Sebuah teriakan keras yang sangat berat mengakhiri segalanya. Langit mulai runtuh menjadi pasir, dinding hitam yang berputar-putar mulai retak di setiap sudutnya, semua bagian ruang itu kehilangan topangannya. Seonggok tubuh tak berdaya, mulai musnah menjadi debu dan tertiup oleh angin dalam hitungan detik. Semua lebur kecuali Biru dan Rama, mereka bahkan tak tergores sedikitpun.
*
Dari kejauhan, lelaki berjubah panjang kembali muncul menghampiri Putri.
“Waktumu sudah habis Putri, mereka menuntut jawabanmu” di samping kiri dan kanan lelaki berjubah hitam itu berdiri mimpi dan Kemala.
“Tapi aku masih tak mengerti” sahut Putri
“Pilih saja, mimpi atau kenyataan. Mudah kan!”
“Itu sulit”
“Tidak Putri, itu mudah. Kau tinggal menyambut uluran tangan salah satu dari mereka dan kau mendapatkan hidupmu” Keburukan membujuk Putri penuh kelembutan dan keyakinan. Putri terdiam.
“Aku akan meninggalkan kalian disini. Selamat tinggal Putri, kita pasti bertemu lagi, pasti!” Keburukan hilang seketika seperti angin yang ikut bertiup di atas kepala Putri.
“Ayo Putri, pilih saja!” mimpi mulai tak sabar dengan keputusan Putri
“Kenapa kalian melakukan semua ini padaku?”
“Karena aku sayang kau Putri, aku tidak ingin kau terbuai mimpi. Kau punya kenyataan sendiri, kau punya Biru” Kemala menyahut sambil berharap Putri mendengarnya dengan baik.
“Aku menginginkanmu Putri, aku bisa membahagiakanmu. Kenyataan hanya bisa menyakitimu, membakarmu seperti pohon beringin itu” mimpipun menyahut dengan sangat lembut menusuk ke telinga Putri. Kalimatnya selalu menusuk, tetapi Putri punya harapan sendiri.
“Kau tahu mimpi, tadi keburukan ramah padaku”
“Dia selalu begitu jika di persimpangan, kau tak perlu bingung” entah kenapa semakin lama Putri merasakan aksen baru dari setiap kalimat yang diucapkan mimpi. Aksen jahat yang tajam, yang benar-benar harus dihindari.
“Apa kau jahat mimpi” sambung Putri
Mimpi terdiam, dia tak bisa menjawab apapun, pertanyaan itu terlalu jelas untuknya, bukan keambiguan yang terus menerus muncul dan diharapkannya sedari awal dia muncul.
“Satu hal lagi, mimpi. Aku lebih suka bersama Biru, dia tak pernah berbohong, dia tak pernah membual, tak sepertimu” Putri langsung menyambut uluran tangan Kemala tanpa keraguan, senyum kepuasan tergambar jelas di wajah Kemala.
“Tidak putri, jangan jadi kenyataan. Temani aku di mimpi” suara serak itu kini meminta belas kasihan Putri.
“Itu tidak mungkin lagi mimpi” sahut Kemala “dia sudah memilihku, memilih kenyataan, bukan mimpi” sambungnya.
“Tidak…..” mimpi mundur beberapa langkah, dia berteriak keras, berputar dan jatuh dengan ringan di atas pasir yang lama kelamaan bergoncang dengan kuat, lingkaran hitam pekat muncul di langit untuk menghisap seluruh merpati yang beterbangan memuja mimpi. Laut yang terbentang menggiurkan sedikit demi sedikit mengering, jam-jam pasir yang setengah terkubur telah benar-benar terkubur, seluruh selendang di atas pasir saling berikatan dan menyapu pintu-pintu yang tertancap miring di atas pasir, membuat semua pintu itu ikut tenggelam ke dalam kubangan pasir raksasa. Hutan bunga jingga yang membara diterpa hujan lebat terus-menerus hingga api-api panas itu padam dan beringin kering itu membeku seketika. Ruang kembali kosong.
Dari kejauhan Putri melihat dua makhluk yang sangat kontras dengan ruang kosong. Makhluk pertama berpendar keperakan dan yang satunya lagi memancarkan siluet Biru menyilaukan. Matanya menatap lekat dan berseru “Biru”
“Putri, kaukah itu” sahut Biru.
“Kau sudah paham kan Biru, bahwa kenyataanmu amat berharga untuk dipertahankan” Rama meredupan perak yang memancar di tubuhnya.
“Kalian sudah membuktikannya, kalian tak perlu kami yang berwujud seperti ini lagi” Kemala tersenyum ringan.
Efek sinar ultraviolet menyambar dua makhluk perak itu, tubuh mereka meregang menjadi zat kecil, makhluk lain berwujud kunang-kunang, lalu mereka terbang ke seluruh penjuru meninggalkan Putri dan Biru, berdua.
Putri memalingkan muka, menatap Biru yang sangat terlihat nyata, namun semua sensasi itu belum selesai. Tiba-tiba saja, Biru terlihat menjadi wujud dua dimensi yang semakin lama semakin kabur, terhapus oleh badai pasir yang berputar-putar di atas kepala Putri, badai pasir itu memakan sosok Biru lalu mengguncangkan ruang kosong yang gersang itu.
Sepotong matahari muncul dari bawah pasir, seperti baru bangun tidur, silau, cerah dan hangat. Melumerkan seluruh benda di sekitarnya. Pupil lembab Putri, mulai dingin dan kering.
Perlahan-lahan sebuah kuncup mawar membuka dirinya seperti seekor peri yang perlahan membuka sayap merahnya yang pekat, setetes peluh alam berupa embun mengalir jatuh di pinggir tulang daun bonsai kecil yang segar, bulan memucat lalu bersembunyi di balik awan dan menghilang entah kemana, aurora berpendar kemerahan menyambut fajar yang mengintip lembut dari balik timur bumi, cahaya hangat jatuh ke kamar mungil putih yang tetap bersih dan sejuk. Cahaya itu tepat jatuh di mata seorang gadis yang sedikit demi sedikit membuka matanya dan terlihatlah, pupilnya yang lembab. Pandangan hidup telah kembali.
Sebuah suara lembut menembus tembok kamarnya.
“Putri, ada yang nyari kamu di depan”
“Ya, Ma” sahutnya pendek
Putri berjalan menyusuri koridor di depan kamarnya dan menuruni tangga perlahan menuju ruang tamu. Ketika itu matanya beku, menatap sebuah wajah oriental, berbadan tegap, dengan rambut hitam lurus, dan bermata biru yang juga menatapnya. Tertanam kesan di hati Putri, untuk kedua kalinya.
“Siapa kau” tanyanya
“Aku Biru, tetangga barumu” lelaki itu tersenyum ringan
Saat itulah, seketika Putri merasakan kelegaan luar biasa yang dipendamnya sejak lama. Seakan telah seratus tahun dan kelegaan itu muncul tepat dalam pandangan hidupnya, tepat setelah fajar muncul.