ISTANA KEAJAIBAN
Aerin… dengarlah….!!! Istana ini kubuat untukmu….
Sebuah kenangan…
Kenangan untukmu… Aerin.
*
Pukul 04.00 pagi
Aerin bangun tiba-tiba dari tempat tidur, mengelus dadanya sambil mengatur nafas.
“Kenangan” ulangnya pada sesuatu yang didengarnya di dalam mimpi yang baru dialaminya.
“Aku sama sekali lupa…” ucapnya lagi sambil mengusap wajah dengan kedua telapak tangannya lalu menghempaskan kepala kembali ke atas bantal. Tapi dia sudah tidak bisa tidur.
*
“Rin, hari ini ada rapat buat tamasya anak-anak klub seni loh! Ikut yah” bujuk Gina. Aerin yang baru terlonjak dari kaget hanya mengangguk-angguk tanpa makna. Entah mengiyakan atau bingung…
Aerin yang akhir-ahir ini ling-lung membuat Gina ikut ling-lung. Aerin sekarang suka kaget sendiri, melamun, bicara sendiri lalu meralatnya tiba-tiba, menerawang, bahkan bermimpi saat matanya terbuka lebar. Ada yang salah dengan Aerin, sejak dia bertemu orang itu. Anak laki-laki yang bernama Jae.
“Oh ya Gin, memangnya rencana tamasyanya kemana?” tanya Aerin ketika menyadari arah pembicaraan yang ingin dituju Gina.
“Ke pantai”
“Pantai?”
“Ya…”
“Pantai yang mana?” dahi Aerin semakin mengerut. Alisnya hampir menyatu.
Gina tersenyum sebentar. “Lonny Beach… yang airnya dari jauh berwarna ungu”
“Lonny?... kenapa?” mata Aerin fokus pada sesuatu tapi bukan Gina ataupun pembicaraan mereka. Dia fokus pada sesuatu di balik punggung Gina, pada sesuatu yang jauh, yang hanya dia yang tahu.
“Apanya yang kenapa?” sambar Gina tidak sabar.
“Ah tidak, bukan apa-apa. Lupakan saja”. Kemudian mereka berlalu sepanjang koridor menuju loker. Berencana mengambil buku catatan lalu masuk ke kelas. Tapi sepertinya Gina harus ke kelas sendirian.
“Hai” sapa Jae pada kedua gadis itu.
“Hai” balas mereka serempak. Gina lalu bergegas mengambil buku-buku dan menjejalkannya asal-asalan ke dalam tas. Sedangkan Aerin kembali ling-lung. Bertingkah aneh, lambat, bingung, asal dan sulit dibayangkan.
“Eh Rin, aku duluan ke kelas ya. Sekalian lewat ruang administrasi, ada perlu. Biar gak telat”
“Oh iya” jawab Aerin tanpa sadar. Gina pun bergegas pergi. Dia sahabat yang pengertian.
Hening sejenak….
“Ikut?” Jae memulai pembicaraan dengan pertanyaan yang kurang berarti.
“Hah, kemana?”
“Lonny…” sahut Jae. Aerin terdiam. Kata ‘Lonny’ bergema di telinganya,.. gema yang memantulkan kalimat ‘sepi’, kesepian yang pekat, dalam, dan sulit diingat.
“Mungkin…” Sahut Aerin kemudian dengan volume yang sangat halus seperti bicara pada dirinya sendiri.
“Harus” teriak Jae ceria, dan dia tersenyum manis.
Aerin memandang senyum itu. Lalu dia ikut tersenyum.
Jae anak yang istimewa pikir Aerin. Dia manis dan murah senyum, cepat akrab, santai dan agak tidak tahu malu. Kadang tidak tahu diri. Hari itu, rabu siang yang cerah yang pantas dinikmati, angin sejuk, udara segar, di taman belakang perpustakaan Aerin duduk sambil membaca dan tanpa rasa malu dia duduk di samping Aerin mengambil buku dari tumpukan teratas yang belum tersentuh oleh Aerin lalu berkomentar macam-macam. Sikapnya sok tahu, tapi tebakannya benar. Semuanya. Lalu dia tertarik pada salah satu buku Aerin yang berjudul ‘Century’. “Wah” katanya dengan mata berkilauan. Dia memandang cover buku yang bergambar sebuah rumah tua besar yang indah seperti istana. “Hebat” ucapnya lagi.
“Boleh pinjam?” tanyanya tanpa rasa segan bahkan malu. Dia bahkan belum mengulurkan tangan secara resmi untuk berkenalan, hanya sekilas saat membaca nama dari pemilik buku. Awalnya Aerin ingin marah, tapi …
“Aku Jae” ucapnya sambil mengulurkan tangan dan tersenyum ramah. Hal itu membuat Aerin tiba-tiba tertawa lepas.
“Kenapa tertawa?” tanyanya bingung tanpa rasa bersalah.
“Kamu aneh, kamu lucu” jawab Aerin terbata menahan tawa.
“Aneh? Lucu? Kamu tertawa? Aku membuatmu tertawa, itu artinya kita teman? Jadi aku boleh pinjam dong? Besok aku kembalikan. Yah… yah… yah…” bujuknya
Secara otomatis Aerin mengangguk lalu Jae pergi dari perkenalan singkat itu. Aerin bingung… dia terlalu seenaknya membawa buku orang lain, lalu berjanji mengembalikan tanpa tahu besok Aerin akan ada di mana pada jam berapa, sekolah di mana, tinggal dimana, atau segala tetek bengek yang minimal harus diketahui jika ingin mengembalikan buku. Hanya karena dia berhasil membuat Aerin tertawa maka dia menganggap Aerin telah menjadi teman baiknya. Anak yang aneh. Unik.
Aerin agak sebal karena berpikir buku kesayangannya terancam hilang. Tapi sesuatu mengejutkannya. Ketika dia minum di kantin bersama Gina, seorang anak lelaki yang tidak dikenal datang menghampirinya, tersenyum dan menyodorkan sebuah buku bergambar rumah tua yang indah seperti istana, yang telah bersampul plastik.
“Bukumu kan, Aerin?” tanyanya mantap.
Aerin berbalik dan berusaha mengingat senyum itu. Senyuman seseorang di taman belakang perpustakaan. “Jae?” ucapnya.
“Aku sudah membacanya, dan merawatnya” katanya lirih.
Aerin terdiam… “Hebat” Aerin membatin.
Sejak itu Aerin dan Jae bersahabat.
Sejak itu Aerin jadi sering bermimpi
Sejak itu Aerin jadi merindukan sesuatu, sesuatu yang telah dilupakannya. Sulit diingat kembali, tapi Jae memaksa. Jae yang aneh. Jae yang lucu.
*
Aerin menatap cermin lekat-lekat. Mengatur nafas panjang, mengusap wajahnya dengan air dari keran. Lalu dia menutup mata.
Bayangan itu muncul lagi. Bayangan yang sangat indah.
Sebuah istana pasir yang besar dan indah. Berkilauan ditimpa sinar matahari. Seorang anak bertubuh kecil mengisi ember plastik biru dengan pasir-pasir berkilau lalu menumpuknya di bagian teratas istana. Anak kecil itu membalikan kepala ke arah Aerin. Gelap. Tak terlihat apapun selain bibir yang tersenyum.
“Istana ini kubuat untukmu, Aerin” ucapnya halus. “Istana ini kubuat agar kau bermimpi indah selalu”. Anak itu dan segala yang terlihat oleh Aerin lenyap. Terganti oleh istana besar berkelambu senja yang amat indah di pinggir pantai……
Aerin menatap air berwarna ungu lekat-lekat.
Tiba-tiba semuanya meledak. Gina masuk ke toilet menghampiri dan sekaligus membangunkan Aerin dari khayalannya.
“Rin, kenapa? Sakit?” tanya Gina khawatir.
Aerin menggeleng, lalu menyisihkan sepengggal senyum yang tersisa.
*
“Pantainya bagus ya” seru Alika
“Ya… Lonny kan baru dibuka seminggu yang lalu. Jadi masih bagus” papar Seno sambil mengacungkan kedua jempolnya.
“Benar, pasirnya masih berkilauan, airnya juga jernih”sambung Alika lagi.
“Itu sih belum ada apa-apanya. Coba deh tunggu sampai sore. Pasti lebih bagus” sahut Jae cepat. Gina yang sedari tadi tidak berkomentar, berputar-putar kebingungan disekitar mereka.
“kenapa Gin?” tanya Seno.
“Kalian liat Aerin, gak?” jawabnya khawatir. “Akhir-akhir ini dia agak aneh, aku takut dia nyasar”
“Nyasar?” Alika mengerutkan dahi.
“Iya, sepertinya ini pertama kalinya dia ke Lonny. Jadi mungkin…”Gina diam sejenak “Jae, kamu liat Aerin?”
Jae menggeleng “Aku gak liat dia dari tadi. Tapi mungkin aku tahu di mana dia”
“Maksud kamu?” Gina bertanya dengan nada tajam.
“Aku kan orang sini”
*
“Mikirin apa, Rin?” tanya Jae lirih.
Aerin kaget. Dia memutar tubuhnya dan mendapati Jae berdiri di belakangnya.
“Mencoba mengingat sesuatu?” sambungnya lagi.
“Sudahlah Jae, kamu itu selalu bertanya. Hentikan kepura-puraanmu itu. Kenapa tidak bilang kamu pernah tinggal di sini?”
“Kenapa tidak bilang kamu pernah ke sini?”
Aerin menatap bingung pada Jae “Apa maksudmu? Aku, aku tidak ingat pernah ke tempat ini. Ini pertama kalinya”
“Dan di kali yang pertama kamu bahkan berhasil menemukan sudut pantai paling indah untuk memandang senja dan air laut. Tidak Aerin” sambung Jae yakin.
“Mungkin kebetulan” kilah Aerin sambil menunduk
“Atau mungkin kamu pura-pura lupa” sambung Jae lagi.
Aerin menatapnya penuh makna.
*
“Apa yang dia katakan padamu sebelum dia… hilang” Aerin mencoba memulai kembali pembicaraan setelah hening cukup lama
“Dia tidak mengatakan apa-apa, tapi aku bisa merasakannya” Jae sangat yakin mengucapkannya.
“Aku bahkan tak merasakan apapun”
“Kamu merasakannya”
“Tidak” sela Aerin “aku bahkan baru berumur enam tahun saat itu”
“Dia juga. Tapi yang namanya kenangan… aku bahkan bisa merasakannya sampai sekarang”.
Aerin terdiam. Bayangan itu mulai jelas. Seorang nak kecil yang sedang membuat istana pasir yang indah dan berkilauan. Kenangan.
Ketika itu Aerin duduk di balik batu besar sambil memeluk lutut, ketakutan. Seorang anak laki-laki yang ramah menghampirinya “kenapa?”tanyanya.
Aerin tetap diam ketakutan.
Anak itu mengulurkan tangannya. “Mari ikut bersamaku, kita membuat istana bersama” dia lalu tersenyum.
“Aku tinggal di Lonny, aku suka Lonny, aku ingin tetap di Lonny selamanya. Tapi ayah tidak mau, kami harus pergi katanya. Untuk kepentingan semuanya. Aku menolak lalu marah dan kabur begitu saja, berlari tanpa arah menuju pantai. Dan tersesat. Aku takut” Aerin menjelaskan panjang lebar.
“Kenapa kamu suka Lonny”
“Lonny selalu menyenangkan. Aku selalu bermimpi indah sejak tinggal di sini. Lonny memberiku kenangan yang indah”
Anak laki-laki itu tertawa.
“Kenapa?” tanya Aerin.
“Kamu lucu!” sahutnya
“Lucu?”
“Iya…” Anak laki-laki itu berusaha menghentikan tawanya, mengatur nafas dan kembali bicara. “Kamu sudah membuatku tertawa selepas ini. Aku senang, kau teman yang baik”
“Teman? Kita bahkan belum kenalan?”
“Tak perlu kenal untuk bersahabat, yang penting bisa memberikan kebahagiaan dan kenangan yang indah kan? Buktinya kau tak kenal Lonny sampai tersesat segala, tapi kamu menyayanginya kan?”
Aerin mengangguk. Mereka lalu tertawa bersama.
*
“Jadi tetap harus pergi?Kapan?”
Aerin mengagguk lalu menyahut cepat “besok”
“Tak bisakah menungggu lebih lama lagi?”
Aerin menggeleng.
Anak laki-laki itu tiba-tiba berlari cepat menuju pantai. “Aku punya kenangan terakhir untukmu” teriaknya lalu menghilang di balik lalu lalang punggung-punggung orang yang sedang bepergian merajut kenangan masing-masing.
“Sejak itu aku bersikeras untuk pergi dari Lonny secepatnya. Untuk pertama kalinya aku mendapat kenangan buruk dari Lonny. Karena sejak itulah… dia menghilang dan tak kembali lagi. Selamanya” ucap Aerin mengakhiri kisahnya sambil sekali-sekali membayangan wajah si anak laki-laki yang telah kabur.
“Kamu tahu, apa yang terjadi padanya?”
“Aku tidak pernah mau tahu” jawab Aerin tajam
“Jawaban yang salah. Seharusnya kamu tahu apa yang dilakukannya di pantai sehingga membuatnya tidak peduli tentang peringatan angin pasang yang akan menimbulkan badai besar di pantai. Dia tenggelam karenanya, dua hari setelah kamu pergi, dia ditemukan oleh nelayan. Kamu sudah ingat Aerin”
Mata Aerin memerah. “Apa maksudmu mengatakan hal itu. Ingin memojokanku?”
“Tidak” sanggah Jae sambil menggeleng. “Hanya ingin menyampaikan sesuatu yang belum tersampaikan langsung kepadamu”
“Apa itu?”
“Saat itu dia mengumpulkan pasir yang berkilauan di dalam sebuah ember plastik biru. Ingin membuatkanmu sebuah istana pasir yang besar dan bagus” Jae merogoh tasnya, mengambil sesuatu. “Lihatlah!” katanya
Aerin diam menatap sebuah replika istana dari kayu yang bagus sekali. Sederhana dan mewah. Istana yang familier di matanya.
“Siapa kamu sebenarnya?”
“Bukan siapa-siapa. Hanya orang yang lebih tahu tentang keinginan si anak laki-laki”
“Apa hubunganmu dengannya?”
“Dulu tak pernah kamu menanyakan itu padanya. Tentang orang lain?”
“Aku terlalu asik bersamanya. Aku tak memikirkan hal lain” Aerin tertunduk kaku.
“Aku hanya seseorang yang serupa dengannya. Aku Jae”
“Itukah alasanmu kenapa memahami banyak hal?” tanya Aerin lagi.
Jae mengangguk.
“Aneh. Ajaib sekali”
“Ya, memang ajaib. Bukankah sebuah keajaiaban kita bertemu di taman belakang perpustakaan gara-gara sebuah buku bagus bergambar istana. Bukankah sebuah keajaiban kau mengingat kembali sesuatu yang telah lama dilupakan. Bukankah sebuah keajaiaban, kau selalu bermimpi indah karenanya. Istana itu adalah sebuah kenangan. Dan kenangan itu ajaib. Selalu seperti itu kejadiannya”
“Ajaib ya?” Aerin menatap lekat pada replika istana yang dipegangnya. “Kuberi nama apa replika ini ya?” sambungnya. “Sesuatu yang ajaib”
“Istana yang ajaib” sambung Jae kemudian.
“MAGIC CASTLE” Aerin mengikuti sambil tersenyum. Dia lalu beranjak dari batu besar yang didudukinya, dan berdiri di samping Jae. Menatap langit senja.
“Lonny, indah bukan?” ucap Jae lirih.
“Ya…” bisik Aerin. “kenangan yang indah”
Dari jauh Gina menatap mereka. Dia berbalik dan menjauh. “Aerin ku itu, akhirnya paham bagaimana rasanya” Gina membatin, lalu pergi meninggalkan dua orang yang tenang menatap langit senja, matahari oranye, laut yang tenang, dan cakrawala berwarna ungu terang.
Sambil berpegangan tangan dan memeluk magic castle di tangan yang lain Aerin memandang tajam pada air yang jauh di ujung cakrawala. Air tenang berwarna ungu.
***
Sabtu, November 01, 2008
FILOSOFI ORANG GILA
FILOSOFI ORANG GILA
Oleh : Sari Dianita Purnama
Ahhh… bangun pagi ini enak sekali. Aku turun dari kasur bersprei putih berbau kamper yang diberikan oleh petugas kebersihan tadi malam lalu meregangkan badan. Suara kicau burung terdengar jelas di telingaku, gemerisik angin yang lembut ikut mendobrak-dobrak membran timpaniku, lalu aku juga mendengar bunyi kupu-kupu di taman, bunyi semut di bawah kakiku, suara tikus yang sedang menggerogoti roti berjamur di pojok ruangan, suara pisau yang berkata “pakai aku untuk membunuhnya”. Ah aku mulai kacau lagi, untung suara lonceng dan teriakan cempreng perawat gendut yang biasa menyiapkan makanan di dapur yang mengatakan “sarapan” hingga terdengar ke sepanjang blok membangunkan aku dari mimpi keduaku. Aku memang selalu begitu, mendengar sesuatu yang tak perlu didengar, sesuatu yang tidak pada tempatnya, yang tidak mungkin terdengar, dan aku juga suka sekali bermimpi bukan hanya pada saat tidur tapi juga saat terjaga. Mimpi yang lebih dari sekedar melamun, atau berkhayal. Aku yakin jika kau waras kau akan mengerti maksudku.
Aku keluar dengan santai sambil menggaruk-garuk kepalaku yang gatalnya setengah mati . Dari balik jendela berterali besi aku bisa melihat tetanggaku, Rima yang sedang terpasung di kamarnya. Dia tertawa sendiri lalu menangis seperti orang gila, atau aku yang salah. Bukankah dia memang gila?
Aku masih ingat tadi malam ketika satu blok rumah sakit kacau gara-gara Rima mengamuk. Dia berlari-lari mengelilingi seluruh rumah sakit hingga ke taman dan ruang terapi sambil mengacungkan kapak di tangan kanannya dan kepala boneka yang sudah hancur tercabik-cabik di tangan kiri.
“Ayo, siapa yang berani menggangguku?. Akan kupenggal kepalanya” katanya malam itu. “Kalian pikir kalian saja yang berani memenggal kepala? Aku juga”.
Dia menakutkan sekali saat mengamuk. Dulu aku pernah menguping pembicaraan dari para dokter kalau Rima itu awalnya tinggal di sebuah desa terpencil yang percaya hal-hal mistis seperti roh-roh jahat, dan Rima dianggap salah satu korban kesurupan roh jahat, setiap malam jumat dia berkeliling kampung dengan kapak sambil berteriak-teriak menantang semua orang. Dia sudah berkali-kali diobati ke dukun tetapi tidak membuahkan hasil, untunglah ada salah satu pamannya yang berpikiran agak modern dan berencana membawa Rima ke kota untuk diobati ke dokter jiwa. Sayangnya ayah Rima lebih rela anaknya dikatakan korban roh jahat daripada dituduh ‘gila’. Jika saja paman Rima tidak membawa Rima ke kota secara diam-diam mungkin Rima masih mengamuk di desa kecil sambil berkeliling kampung, bukannya mengamuk di rumah sakit jiwa sambil membawa kapak berkeliling seluruh blok dari ujung satu ke ujung lain. Walaupun tidak terlihat perbedaannya, paling tidak dia punya teman di sini yang menerima dengan rela kenyataan bahwa dia ‘gila’.
Kau pikir akan ada perkembangan terhadap Rima?
Aku justru tak yakin sama sekali. Filosofi orang waras memang berbeda dengan orang gila. Dia tinggal, berkumpul dan berteman dengan orang sejenisnya, para orang gila jadi jelas sudah ‘bagiku’ bahwa tak ada kesempatan untuknya sembuh.
Tapi dokter-dokter jiwa itu memang gigih sekali. Mereka bersikeras untuk mencari tahu apa penyebab ketidakwarasan Rima. Hingga tetes darah penghabisan mereka tak akan percaya bahwa Rima itu korban roh jahat atau setan. Memang awalnya aku percaya tentang setan itu tetapi aku berubah pikiran ketika untuk pertama kalinya aku melihat ayah Rima datang ke rumah sakit ini. Ketika itu dia duduk di ruang tunggu sumpek yang dicat putih pucat khas rumah sakit, yang di dindingnya bertuliskan ‘dilarang merokok’, ‘buanglah sampah pada tempatnya’, dan poster-poster pudar berisi tips-tips merawat orang yang sakit jiwa ‘seadanya’. Benar-benar khas rumah sakit. Saat aku lewat di depannya, aku melihat matanya. Sorotan mata yang menyala, bersemangat dan kejam. Seperti yang kukatakan bahwa filosofi orang gila dan orang waras itu berbeda. Sebagai sesama orang kurang waras aku paham betul perasaan Rima dan aku langsung tahu mengapa dia gila. Dia gila bukan karena korban setan tetapi karena dibesarkan oleh setan. Setan itu sendiri berada di jiwa ayahnya hingga sekarang. Aku heran, mengapa tak satupun dokter jiwa yang menyadari itu.
Ah, tapi aku tak terlalu peduli lagi, dia kelihatannya senang diikat seperti itu. Kelihatannya dia senang diperlakukan layaknya orang gila pada umumnya.
Aku berlalu saja menuju ke taman, memandang bunga-bunga yang dari tadi memanggilku. Aku senang duduk di sana dan mengobrol dengan bunga teratai merah muda yang biasa mekar jam segini. Aku juga ingin bertemu seorang teman di sana, Cupit namanya. Memang nama yang aneh, tapi dia menyenangkan dan juga baik. Dia tak pernah mengamuk, dia suka merawat bunga terutama mawar. Dia pernah bilang temannya tinggal di sana, jadi sudah selayaknya dia ikut menjaga rumah teman baiknya.
‘Aha, aku menemukan penyebabnya’ seruku saat itu.
Cupit pernah bercerita padaku bahwa dia punya teman seorang peri yang sangat baik dan manis, seperti peri pada umumnya.
“Dia sering menghiburku, dan memberiku nasihat” serunya dengan bersemangat.
“Dan membuatmu berada di sini?” kataku dengan sinis.
“Tidak, aku disini setelah aku memutuskan untuk memberitahukan tentang periku pada semua orang” jawabnya
“Pantas” sahutku singkat. Aku heran mengapa dia begitu membanggakan peri yang dia katakan. Sejujurnya aku juga terbawa dengan cerita peri Cupit sebelum melihat kenyataannya.
Di mataku seekor peri yang dibanggakan Cupit, yang katanya cantik, manis, baik hati, hebat, teman terbaik, bersayap putih jernih, tinggal di bunga mawar, bermata biru cerah, bergaun mewah warna pastel yang indah hanyalah seekor … entah harus kusebut apa dia, yang jelas dia hanyalah makhluk merah yang bermata hitam tanpa perasaan dengan sayap api, bertanduk hitam, tinggal di pembuangan sampah di ujung blok terakhir rumah sakit, berpakaian hitam, dan yang jelas bukan makhluk yang ramah. aku selalu merasa panas jika berada dekat dengan mahluk itu. Dia seperti tokoh di film hellboy hanya saja tokoh di film itu baik dan gagah sedangkan makhluk itu terlihat kejam dan menyeramkan. Aku tidak mengerti bagaimana dia membutakan mata Cupit. Semua penggambaran Cupit tak ada benarnya.
Suatu kali aku pernah melihat seorang perawat memaksa Cupit untuk makan, karena sudah tiga hari Cupit mogok makan. Tapi dia merasa terancam atas paksaan itu, tiba-tiba saja dia menangis dan makhluk itu membisikkan sesuatu yang sepertinya buruk, yang memicu Cupit untuk meraih gelas minum di dekatnya lalu melemparkannya ke kepala perawat tadi.
Itukah yang dimaksud Cupit dengan menghibur dan memberi nasihat?
Tidak terasa aku telah duduk disini selam satu jam, tapi Cupit tidak muncul juga. Aku kesepian. Hanya Cupit yang bisa diajak mengobrol.
Tak lama seorang dokter menghampiriku dengan menyajikan wajah ramah yang sangat mencolok dan berlebihan.
“Apa yang kamu lakukan?” tanyanya ramah
“Aku menunggu Cupit” sahutku
“Cupit?” tanyanya lagi. Dia mengerutkan dahi, sepertinya dia tidak mengerti kata-kataku, ataukah tidak mendengarnya, atau yang dia dengar bukan apa yang aku katakan. Aku tidak paham
“Aku ingin bertemu Cupit” teriakku pada dokter itu.
“Jangan, nanti saja kalau Cupit sudah tenang!”
“Memangnya apa yang terjadi padanya, dia tidak pernah mengamuk, dia tidak pernah merepotkan?” sahutku lagi dengan cepat, tanpa tempo, tanpa suara yang jelas, tanpa susunan yang benar.
“Apa yang kamu katakan? Kamu bicara aneh terus dari tadi” jawab dokter itu mulai bosan dengan sikapku. Benar kan, dokter itu tak mengerti apa yang aku katakan. Jadi kami sudah punya bahasa sendiri sekarang, yang tidak dipahami oleh orang ‘waras’.
Dari balik terali besi ruangan dokter, aku mendengar ada yang mengatakan “Cupit membunuh seseorang”. Aku kaget sekali mendengarnya.
“Dasar iblis” umpatku pada makhluk merah kejam yang menjulurkan lidahnya padaku di depan kamar Cupit.
“Apa kamu bilang tadi?” tanya perawat di depanku dengan wajah bosan dan sedikit menahan kesabaran. Aku tak mau menjawab apapun, sekarang bahasaku tak dimengerti olehnya.
*
Aku hampir mati kebosanan di ruangan ini. Putih pucat, sumpek, penuh tikus dan kecoa. Memang sih, petugas kebersihan selalu datang setiap dua hari sekali untuk membersihkan ruangan ini lalu mengganti sprei yang kupakai dengan sprei beraroma kamper yang lain. Aku benci bau itu. Bau orang mati.
Dulu aku pernah mencari hiburan selain ke taman atau berkeliling blok rumah sakit yang lain sampai tersesat. Aku pernah mengendap menuju ruang pribadi seorang dokter tapi ternyata tak ada yang hebat di situ, hanya catatan perkembangan pasien dengan banyak gambar kurva ‘datar’, stetoskop, jas putih dan benda-benda membosankan lainnya. Petualanganku berakhir ketika aku kepergok mau memakai obat bius dosis tinggi untuk diriku sendiri. Aku pikir menyenangkan. Mungkin lebih menyenangkan daripada aku memakainya untuk orang lain, maksudku melakukannya untuk membunuh orang lain. Kesenangan yang lebih daripada saat aku resmi menjadi ‘malaikat pencabut nyawa’ dua hari sebelum aku masuk kesini.
Aku masih ingat pertama kali bisikan itu masuk ke telingaku. Rumput teki di belakang rumah yang mengatakan “Penjara lebih menyenangkan dari tempat ini”. Aku sangat menyimpan kejadian itu di memoriku karena itulah saa pertama kalinya keinginan itu muncul.
Ayah dan ibuku bercerai saat umurku 5 tahun. Jadi jelas sudah bahwa aku dan kakakku adalah korban broken home. Tapi hal seperti itu tak terlalu hebat untuk membuatku ‘menjadi tak wajar’. Belum.
Aku punya dua orang kakak. Yang pertama umurnya sekitar 17 tahun. Sejak kelas satu SMA dia bisa mencari uang sendiri. Ibu bangga sekali walaupun ibu tahu dia itu seorang ‘bibit’ bajingan yang terlatih. Seorang pengedar narkoba yang pintar mengelak. Setiap hari tasnya selalu berat dengan berkilo-kilo ganja dan shabu-shabu. Setiap hari dia membawa uang banyak. Setiap hari dia tak sekolah. Setiap hari ibu bangga dengannya.
Tapi bukan hanya itu masalahnya, dia itu memang suka sekali berdagang. Perempuan dari Sabang sampai Merauke yang paling berkualitas ada padanya, dia menyalurkan tak kurang dari lima orang perempuan tiap hari ke seluruh negeri dengan keuntungan lebih dari 20 juta. Dia kaya dengan cepat.
Satu hal yang membuatku sangat marah, saat umurku menjelang 14 tahun dia pernah mengatakan “Cepatlah besar dan jadilah cantik. Tuan besar yang tadi itu sudah tak sabar ingin membelimu dengan harga mahal” katanya setengah tak sadar karena habis menghisap ganja yang isunya paling berkualitas langsung dari ladang ganja. Aku hampir tak terima bahwa aku sedarah dengannya. Ternyata dia cepat belajar dari situasi.
Kakakku yang kedua, tanpa rasa enggan sedikitpun aku mengatakan bahwa dia itu ‘pelacur’ tukang peras uang om-om tua yang katanya sekali ‘main’ langsung dapat sepuluh juta. Ibu mengatakan dia contoh yang baik untuk ditiru. Sangat mandiri dan juga cepat belajar dari situasi. Dia juga punya hobi mengoleksi pacar, ‘hobi’ aborsi, pernah over dosis obat kontrasepsi, dan pernah bahkan berali-kali dilabrak oleh ibu-ibu pejabat dengan dandanan menor, lipstik tebal dan gelang emas di tangan kiri dan kanan sebagai perebut suami orang. Sungguh menyebalkan saat aku melihat dia menghadapi itu dengan sangat tenang, puas dan melecehkan. Dia sangat bangga dan menikmati keadaannya yang menyedihkan.
Terakhir adalah ibuku. Setelah ibu dan ayah bercerai, kami semua ikut ibu dan meninggalkan ayah yang dijuluki ibu ‘laki-laki payah penyakitan yang tidak becus menghidupi keluarga’. Lalu ayah meninggal seminggu kemudian tanpa tahu penyebabnya.
Dari awal sudah terlihat jelas bagaimana figur ibu yang kumaksud. Dia bangga dengan kelakuan apapun yang dilakukan anaknya asalakan hal itu menghasilkan uang, karena dia juga seperti itu.
Setiap hari dia membawa laki-laki yang berbeda ke rumah. Kakak perempuanku senang om-om sedangkan ibuku senang brondong. Bayangkan saja bagaimana perasaanku melihat hal itu. Setiap malam dia pulang sambil mabuk di topang seorang pria muda yang tampan yang lebih cocok menjadi anaknya menuju kamar. Lalu kamar sepi sampai pagi. Dia juga menyarankan aku untuk belajar mencari uang seperti kedua kakakku, padahal saat itu umurku belum lima belas tahun. Aku sudah hidup dalam keluarga gila. Berkumpul dengan orang gila. Melihat perilaku aneh orang gila. Sejak umurku lima tahun. Bisa bayangkan itu?
Aku?
Aku bertanya-tanya pada diriku sendiri, apa yang harus kulakukan. Hari kamis siang, di pinggir sungai seorang laki-laki gemuk yang memakai pakaian berlapis-lapis, dengan janggut dan rambut panjang berantakan menghampiriku.
“Siapa kau?”
“Aku utusan sang kuasa, untuk menyadarkanmu” katanya mantap.
“Maksudmu?”
“Sang kuasa memilihmu menjadi salah satu malaikatnya. Ikutlah dengan kami” dia memberikan padaku sebuah kitab bersampul hitam tanpa desain apapun. Hitam polos. Tak pernah berani aku membukanya, sebelum aku mendengar bisikan dari kitab itu ‘aku izinkan kau melakukan apapun demi kebenaran yang kau pegang. Membunuh sekalipun’. Saat itulah aku mengerti apa yang terjadi.
Aku memang tidak ikut aliran sesat itu. Setelah mereka tahu aku gila, mereka melepasku dan mencari orang terpilih lainnya. Sepertinya ‘orang terpilih’ mereka itu sangat melimpah ruah di dunia ini. Seperti mengambil sebutir beras di lumbung padi.
Masalahnya sekarang adalah bisikan itu. Dia tak pernah berhenti menggangguku. Aku tak berani menyentuh benda apapun yang mengeluarkan suara. Semua di semesta ini, di telingaku mereka mengeluarkan suara.
Sejak itu aku menjadi anak paling menyusahkan di keluargaku. Aku hanya meringkuk di kamar setiap hari sambil menutup telinga. Setiap hari aku melihat orang-oang ‘bertanduk’ lalu lalang dari balik jendela, setiap hari aku melihat kucing-kucing dengan mata ganas seperti ingin memakanku berkeliaran di dapur, setiap hari aku melihat perubahan dari ibu dan kakakku, semakin hari mereka semakin mirip setan ‘di mataku’. Hingga bisikan itu kembali lagi ‘aku izinkan kau melakukan apapun demi kebenaran yang kau pegang. Membunuh sekalipun’. Aku lari dari setiap sudut yang bersuara seperti itu sampai di dapur. Sebilah pisau mengatakan ‘pakailah aku’. Jiwaku panas, hatiku geram. Aku bercermin dan melihat sepasang mata menyala, bersemangat, dan kejam. Aku kenal bagaimana bentuknya. Aku tak pernah bicara omong kosong tentang hal ini.
Malamnya, tepat pukul dua belas. Aku melihat darah berceceran di seluruh kamar, darah di sprei, darah di lantai, darah di cermin, darah di tanganku. Mereka mati bersama di atas kasur bersprei putih. Mayat-mayat itu terbaring dengan mata terbelalak. Perasaan puas terpancar di wajah seorang anak kecil yang memegang pisau yang kulihat di cermin di hadapanku.
‘Aku lulus menjadi malaikat pencabut nyawa, seperti yang mereka katakan’
Aku membiarkan mayat itu selama dua hari, hingga polisi muncul menjemputku seperti tamu kehormatan yang harus dikawal. Sebelum pergi aku sudah membayangkan betapa menyenangkannya penjara disbanding neraka yang aku tinggali selama ini. Sebelum pergi aku mencium bau kamper di sprei putih berdarah itu.
Aku kesal sekali. Bukannya dibawa ke penjara malah dibawa ke tempat bercat putih pucat yang sangat tak menyenangkan. Aroma obat bius tercium di berbagai sudut. Pria dan wanita berseragam putih lalu lalang dengan stetoskop dan senyuman berlebihan mereka, dan yang paling menyebalkan, ketika tiba di kamarku aku mencium aroma kamper ‘lagi’.
Aku pernah bertanya pada seorang perawat “Mengapa aku di sini, bukannya di penjara?”
“Kamu bukan kriminal tapi psikopat. Kamu bukannya jahat tapi gila”
“Aku tak paham” jawabku
Dia hanya tersenyum padaku.
*
Aku menatap sebilah pisau yang tertancap di atas meja dapur. Besar sekali, pikirku. Lalu aku mendengar dia memanggilku. Mungkin menyenangkan bermain dengannya, benda mati biasanya lebih menyenangkan diajak bermain darpada makhluk hidup apalagi manusia yang semakin hari semakin banyak yang ‘bertanduk’.
Aku membawanya diam-diam ke kamarku. Mungkin aku bosan pada keadaan karena aku tak pernah berulah. Aku ingin berulah sekali-sekali. Tetapi jika membunuh lagi, percuma. Aku tidak akan dipenjara, aku justru akan lebih lama terkurung di sini.
Mungkin jika aku membunuh ‘malaikat pencabut nyawa’ milik ‘sang kuasa’ aku akan dihukum lebih berat. Meskipun aku berpikir tetek bengek sang kuasa dan lainnya itu hanya omong kosong. Memercayainya demi kesenangan seru juga.
Aku mulai berpikir keras. Bagaimana cara terbaik memulainya. Harus cepat sampai atau yang lambat saja agar aku bisa menikmati perjalanannya sebelum sampai. Ah terserahlah, yang penting aku sudah yakin hari ini adalah tugas terakhir ‘malaikat pencabut nyawa’ milik ‘sang kuasa’. Entah bagaiamana jadinya setelah ini. Aku tak peduli lagi.
Tiba-tiba aku melihat darah di tanganku. Bau kamper yang semakin keras. Suara-suara tak wajar yang tertawa padaku. Akhirnya aku dapatkan kesenangan yang aku cari…
*
HARIAN PAGI
Seorang pasien sakit jiwa di rumah sakit jiwa seruni ditemukan mati bunuh diri dengan pisau. Kondisinya sangat mengenaskan, dalam keadaan nadinya yang putus. Menurut keterangan dokter dia adalah pasien penderita phobia berat yang takut dan memandang buruk akan segala sesuatu. Kemungkinan besar hal itulah yang membuatnya frustasi dan mendorongnya untuk mengakhiri hidupnya di atas kasur bersprei putih dengan aroma kamper yang sangat keras. Bau orang mati.
***
Oleh : Sari Dianita Purnama
Ahhh… bangun pagi ini enak sekali. Aku turun dari kasur bersprei putih berbau kamper yang diberikan oleh petugas kebersihan tadi malam lalu meregangkan badan. Suara kicau burung terdengar jelas di telingaku, gemerisik angin yang lembut ikut mendobrak-dobrak membran timpaniku, lalu aku juga mendengar bunyi kupu-kupu di taman, bunyi semut di bawah kakiku, suara tikus yang sedang menggerogoti roti berjamur di pojok ruangan, suara pisau yang berkata “pakai aku untuk membunuhnya”. Ah aku mulai kacau lagi, untung suara lonceng dan teriakan cempreng perawat gendut yang biasa menyiapkan makanan di dapur yang mengatakan “sarapan” hingga terdengar ke sepanjang blok membangunkan aku dari mimpi keduaku. Aku memang selalu begitu, mendengar sesuatu yang tak perlu didengar, sesuatu yang tidak pada tempatnya, yang tidak mungkin terdengar, dan aku juga suka sekali bermimpi bukan hanya pada saat tidur tapi juga saat terjaga. Mimpi yang lebih dari sekedar melamun, atau berkhayal. Aku yakin jika kau waras kau akan mengerti maksudku.
Aku keluar dengan santai sambil menggaruk-garuk kepalaku yang gatalnya setengah mati . Dari balik jendela berterali besi aku bisa melihat tetanggaku, Rima yang sedang terpasung di kamarnya. Dia tertawa sendiri lalu menangis seperti orang gila, atau aku yang salah. Bukankah dia memang gila?
Aku masih ingat tadi malam ketika satu blok rumah sakit kacau gara-gara Rima mengamuk. Dia berlari-lari mengelilingi seluruh rumah sakit hingga ke taman dan ruang terapi sambil mengacungkan kapak di tangan kanannya dan kepala boneka yang sudah hancur tercabik-cabik di tangan kiri.
“Ayo, siapa yang berani menggangguku?. Akan kupenggal kepalanya” katanya malam itu. “Kalian pikir kalian saja yang berani memenggal kepala? Aku juga”.
Dia menakutkan sekali saat mengamuk. Dulu aku pernah menguping pembicaraan dari para dokter kalau Rima itu awalnya tinggal di sebuah desa terpencil yang percaya hal-hal mistis seperti roh-roh jahat, dan Rima dianggap salah satu korban kesurupan roh jahat, setiap malam jumat dia berkeliling kampung dengan kapak sambil berteriak-teriak menantang semua orang. Dia sudah berkali-kali diobati ke dukun tetapi tidak membuahkan hasil, untunglah ada salah satu pamannya yang berpikiran agak modern dan berencana membawa Rima ke kota untuk diobati ke dokter jiwa. Sayangnya ayah Rima lebih rela anaknya dikatakan korban roh jahat daripada dituduh ‘gila’. Jika saja paman Rima tidak membawa Rima ke kota secara diam-diam mungkin Rima masih mengamuk di desa kecil sambil berkeliling kampung, bukannya mengamuk di rumah sakit jiwa sambil membawa kapak berkeliling seluruh blok dari ujung satu ke ujung lain. Walaupun tidak terlihat perbedaannya, paling tidak dia punya teman di sini yang menerima dengan rela kenyataan bahwa dia ‘gila’.
Kau pikir akan ada perkembangan terhadap Rima?
Aku justru tak yakin sama sekali. Filosofi orang waras memang berbeda dengan orang gila. Dia tinggal, berkumpul dan berteman dengan orang sejenisnya, para orang gila jadi jelas sudah ‘bagiku’ bahwa tak ada kesempatan untuknya sembuh.
Tapi dokter-dokter jiwa itu memang gigih sekali. Mereka bersikeras untuk mencari tahu apa penyebab ketidakwarasan Rima. Hingga tetes darah penghabisan mereka tak akan percaya bahwa Rima itu korban roh jahat atau setan. Memang awalnya aku percaya tentang setan itu tetapi aku berubah pikiran ketika untuk pertama kalinya aku melihat ayah Rima datang ke rumah sakit ini. Ketika itu dia duduk di ruang tunggu sumpek yang dicat putih pucat khas rumah sakit, yang di dindingnya bertuliskan ‘dilarang merokok’, ‘buanglah sampah pada tempatnya’, dan poster-poster pudar berisi tips-tips merawat orang yang sakit jiwa ‘seadanya’. Benar-benar khas rumah sakit. Saat aku lewat di depannya, aku melihat matanya. Sorotan mata yang menyala, bersemangat dan kejam. Seperti yang kukatakan bahwa filosofi orang gila dan orang waras itu berbeda. Sebagai sesama orang kurang waras aku paham betul perasaan Rima dan aku langsung tahu mengapa dia gila. Dia gila bukan karena korban setan tetapi karena dibesarkan oleh setan. Setan itu sendiri berada di jiwa ayahnya hingga sekarang. Aku heran, mengapa tak satupun dokter jiwa yang menyadari itu.
Ah, tapi aku tak terlalu peduli lagi, dia kelihatannya senang diikat seperti itu. Kelihatannya dia senang diperlakukan layaknya orang gila pada umumnya.
Aku berlalu saja menuju ke taman, memandang bunga-bunga yang dari tadi memanggilku. Aku senang duduk di sana dan mengobrol dengan bunga teratai merah muda yang biasa mekar jam segini. Aku juga ingin bertemu seorang teman di sana, Cupit namanya. Memang nama yang aneh, tapi dia menyenangkan dan juga baik. Dia tak pernah mengamuk, dia suka merawat bunga terutama mawar. Dia pernah bilang temannya tinggal di sana, jadi sudah selayaknya dia ikut menjaga rumah teman baiknya.
‘Aha, aku menemukan penyebabnya’ seruku saat itu.
Cupit pernah bercerita padaku bahwa dia punya teman seorang peri yang sangat baik dan manis, seperti peri pada umumnya.
“Dia sering menghiburku, dan memberiku nasihat” serunya dengan bersemangat.
“Dan membuatmu berada di sini?” kataku dengan sinis.
“Tidak, aku disini setelah aku memutuskan untuk memberitahukan tentang periku pada semua orang” jawabnya
“Pantas” sahutku singkat. Aku heran mengapa dia begitu membanggakan peri yang dia katakan. Sejujurnya aku juga terbawa dengan cerita peri Cupit sebelum melihat kenyataannya.
Di mataku seekor peri yang dibanggakan Cupit, yang katanya cantik, manis, baik hati, hebat, teman terbaik, bersayap putih jernih, tinggal di bunga mawar, bermata biru cerah, bergaun mewah warna pastel yang indah hanyalah seekor … entah harus kusebut apa dia, yang jelas dia hanyalah makhluk merah yang bermata hitam tanpa perasaan dengan sayap api, bertanduk hitam, tinggal di pembuangan sampah di ujung blok terakhir rumah sakit, berpakaian hitam, dan yang jelas bukan makhluk yang ramah. aku selalu merasa panas jika berada dekat dengan mahluk itu. Dia seperti tokoh di film hellboy hanya saja tokoh di film itu baik dan gagah sedangkan makhluk itu terlihat kejam dan menyeramkan. Aku tidak mengerti bagaimana dia membutakan mata Cupit. Semua penggambaran Cupit tak ada benarnya.
Suatu kali aku pernah melihat seorang perawat memaksa Cupit untuk makan, karena sudah tiga hari Cupit mogok makan. Tapi dia merasa terancam atas paksaan itu, tiba-tiba saja dia menangis dan makhluk itu membisikkan sesuatu yang sepertinya buruk, yang memicu Cupit untuk meraih gelas minum di dekatnya lalu melemparkannya ke kepala perawat tadi.
Itukah yang dimaksud Cupit dengan menghibur dan memberi nasihat?
Tidak terasa aku telah duduk disini selam satu jam, tapi Cupit tidak muncul juga. Aku kesepian. Hanya Cupit yang bisa diajak mengobrol.
Tak lama seorang dokter menghampiriku dengan menyajikan wajah ramah yang sangat mencolok dan berlebihan.
“Apa yang kamu lakukan?” tanyanya ramah
“Aku menunggu Cupit” sahutku
“Cupit?” tanyanya lagi. Dia mengerutkan dahi, sepertinya dia tidak mengerti kata-kataku, ataukah tidak mendengarnya, atau yang dia dengar bukan apa yang aku katakan. Aku tidak paham
“Aku ingin bertemu Cupit” teriakku pada dokter itu.
“Jangan, nanti saja kalau Cupit sudah tenang!”
“Memangnya apa yang terjadi padanya, dia tidak pernah mengamuk, dia tidak pernah merepotkan?” sahutku lagi dengan cepat, tanpa tempo, tanpa suara yang jelas, tanpa susunan yang benar.
“Apa yang kamu katakan? Kamu bicara aneh terus dari tadi” jawab dokter itu mulai bosan dengan sikapku. Benar kan, dokter itu tak mengerti apa yang aku katakan. Jadi kami sudah punya bahasa sendiri sekarang, yang tidak dipahami oleh orang ‘waras’.
Dari balik terali besi ruangan dokter, aku mendengar ada yang mengatakan “Cupit membunuh seseorang”. Aku kaget sekali mendengarnya.
“Dasar iblis” umpatku pada makhluk merah kejam yang menjulurkan lidahnya padaku di depan kamar Cupit.
“Apa kamu bilang tadi?” tanya perawat di depanku dengan wajah bosan dan sedikit menahan kesabaran. Aku tak mau menjawab apapun, sekarang bahasaku tak dimengerti olehnya.
*
Aku hampir mati kebosanan di ruangan ini. Putih pucat, sumpek, penuh tikus dan kecoa. Memang sih, petugas kebersihan selalu datang setiap dua hari sekali untuk membersihkan ruangan ini lalu mengganti sprei yang kupakai dengan sprei beraroma kamper yang lain. Aku benci bau itu. Bau orang mati.
Dulu aku pernah mencari hiburan selain ke taman atau berkeliling blok rumah sakit yang lain sampai tersesat. Aku pernah mengendap menuju ruang pribadi seorang dokter tapi ternyata tak ada yang hebat di situ, hanya catatan perkembangan pasien dengan banyak gambar kurva ‘datar’, stetoskop, jas putih dan benda-benda membosankan lainnya. Petualanganku berakhir ketika aku kepergok mau memakai obat bius dosis tinggi untuk diriku sendiri. Aku pikir menyenangkan. Mungkin lebih menyenangkan daripada aku memakainya untuk orang lain, maksudku melakukannya untuk membunuh orang lain. Kesenangan yang lebih daripada saat aku resmi menjadi ‘malaikat pencabut nyawa’ dua hari sebelum aku masuk kesini.
Aku masih ingat pertama kali bisikan itu masuk ke telingaku. Rumput teki di belakang rumah yang mengatakan “Penjara lebih menyenangkan dari tempat ini”. Aku sangat menyimpan kejadian itu di memoriku karena itulah saa pertama kalinya keinginan itu muncul.
Ayah dan ibuku bercerai saat umurku 5 tahun. Jadi jelas sudah bahwa aku dan kakakku adalah korban broken home. Tapi hal seperti itu tak terlalu hebat untuk membuatku ‘menjadi tak wajar’. Belum.
Aku punya dua orang kakak. Yang pertama umurnya sekitar 17 tahun. Sejak kelas satu SMA dia bisa mencari uang sendiri. Ibu bangga sekali walaupun ibu tahu dia itu seorang ‘bibit’ bajingan yang terlatih. Seorang pengedar narkoba yang pintar mengelak. Setiap hari tasnya selalu berat dengan berkilo-kilo ganja dan shabu-shabu. Setiap hari dia membawa uang banyak. Setiap hari dia tak sekolah. Setiap hari ibu bangga dengannya.
Tapi bukan hanya itu masalahnya, dia itu memang suka sekali berdagang. Perempuan dari Sabang sampai Merauke yang paling berkualitas ada padanya, dia menyalurkan tak kurang dari lima orang perempuan tiap hari ke seluruh negeri dengan keuntungan lebih dari 20 juta. Dia kaya dengan cepat.
Satu hal yang membuatku sangat marah, saat umurku menjelang 14 tahun dia pernah mengatakan “Cepatlah besar dan jadilah cantik. Tuan besar yang tadi itu sudah tak sabar ingin membelimu dengan harga mahal” katanya setengah tak sadar karena habis menghisap ganja yang isunya paling berkualitas langsung dari ladang ganja. Aku hampir tak terima bahwa aku sedarah dengannya. Ternyata dia cepat belajar dari situasi.
Kakakku yang kedua, tanpa rasa enggan sedikitpun aku mengatakan bahwa dia itu ‘pelacur’ tukang peras uang om-om tua yang katanya sekali ‘main’ langsung dapat sepuluh juta. Ibu mengatakan dia contoh yang baik untuk ditiru. Sangat mandiri dan juga cepat belajar dari situasi. Dia juga punya hobi mengoleksi pacar, ‘hobi’ aborsi, pernah over dosis obat kontrasepsi, dan pernah bahkan berali-kali dilabrak oleh ibu-ibu pejabat dengan dandanan menor, lipstik tebal dan gelang emas di tangan kiri dan kanan sebagai perebut suami orang. Sungguh menyebalkan saat aku melihat dia menghadapi itu dengan sangat tenang, puas dan melecehkan. Dia sangat bangga dan menikmati keadaannya yang menyedihkan.
Terakhir adalah ibuku. Setelah ibu dan ayah bercerai, kami semua ikut ibu dan meninggalkan ayah yang dijuluki ibu ‘laki-laki payah penyakitan yang tidak becus menghidupi keluarga’. Lalu ayah meninggal seminggu kemudian tanpa tahu penyebabnya.
Dari awal sudah terlihat jelas bagaimana figur ibu yang kumaksud. Dia bangga dengan kelakuan apapun yang dilakukan anaknya asalakan hal itu menghasilkan uang, karena dia juga seperti itu.
Setiap hari dia membawa laki-laki yang berbeda ke rumah. Kakak perempuanku senang om-om sedangkan ibuku senang brondong. Bayangkan saja bagaimana perasaanku melihat hal itu. Setiap malam dia pulang sambil mabuk di topang seorang pria muda yang tampan yang lebih cocok menjadi anaknya menuju kamar. Lalu kamar sepi sampai pagi. Dia juga menyarankan aku untuk belajar mencari uang seperti kedua kakakku, padahal saat itu umurku belum lima belas tahun. Aku sudah hidup dalam keluarga gila. Berkumpul dengan orang gila. Melihat perilaku aneh orang gila. Sejak umurku lima tahun. Bisa bayangkan itu?
Aku?
Aku bertanya-tanya pada diriku sendiri, apa yang harus kulakukan. Hari kamis siang, di pinggir sungai seorang laki-laki gemuk yang memakai pakaian berlapis-lapis, dengan janggut dan rambut panjang berantakan menghampiriku.
“Siapa kau?”
“Aku utusan sang kuasa, untuk menyadarkanmu” katanya mantap.
“Maksudmu?”
“Sang kuasa memilihmu menjadi salah satu malaikatnya. Ikutlah dengan kami” dia memberikan padaku sebuah kitab bersampul hitam tanpa desain apapun. Hitam polos. Tak pernah berani aku membukanya, sebelum aku mendengar bisikan dari kitab itu ‘aku izinkan kau melakukan apapun demi kebenaran yang kau pegang. Membunuh sekalipun’. Saat itulah aku mengerti apa yang terjadi.
Aku memang tidak ikut aliran sesat itu. Setelah mereka tahu aku gila, mereka melepasku dan mencari orang terpilih lainnya. Sepertinya ‘orang terpilih’ mereka itu sangat melimpah ruah di dunia ini. Seperti mengambil sebutir beras di lumbung padi.
Masalahnya sekarang adalah bisikan itu. Dia tak pernah berhenti menggangguku. Aku tak berani menyentuh benda apapun yang mengeluarkan suara. Semua di semesta ini, di telingaku mereka mengeluarkan suara.
Sejak itu aku menjadi anak paling menyusahkan di keluargaku. Aku hanya meringkuk di kamar setiap hari sambil menutup telinga. Setiap hari aku melihat orang-oang ‘bertanduk’ lalu lalang dari balik jendela, setiap hari aku melihat kucing-kucing dengan mata ganas seperti ingin memakanku berkeliaran di dapur, setiap hari aku melihat perubahan dari ibu dan kakakku, semakin hari mereka semakin mirip setan ‘di mataku’. Hingga bisikan itu kembali lagi ‘aku izinkan kau melakukan apapun demi kebenaran yang kau pegang. Membunuh sekalipun’. Aku lari dari setiap sudut yang bersuara seperti itu sampai di dapur. Sebilah pisau mengatakan ‘pakailah aku’. Jiwaku panas, hatiku geram. Aku bercermin dan melihat sepasang mata menyala, bersemangat, dan kejam. Aku kenal bagaimana bentuknya. Aku tak pernah bicara omong kosong tentang hal ini.
Malamnya, tepat pukul dua belas. Aku melihat darah berceceran di seluruh kamar, darah di sprei, darah di lantai, darah di cermin, darah di tanganku. Mereka mati bersama di atas kasur bersprei putih. Mayat-mayat itu terbaring dengan mata terbelalak. Perasaan puas terpancar di wajah seorang anak kecil yang memegang pisau yang kulihat di cermin di hadapanku.
‘Aku lulus menjadi malaikat pencabut nyawa, seperti yang mereka katakan’
Aku membiarkan mayat itu selama dua hari, hingga polisi muncul menjemputku seperti tamu kehormatan yang harus dikawal. Sebelum pergi aku sudah membayangkan betapa menyenangkannya penjara disbanding neraka yang aku tinggali selama ini. Sebelum pergi aku mencium bau kamper di sprei putih berdarah itu.
Aku kesal sekali. Bukannya dibawa ke penjara malah dibawa ke tempat bercat putih pucat yang sangat tak menyenangkan. Aroma obat bius tercium di berbagai sudut. Pria dan wanita berseragam putih lalu lalang dengan stetoskop dan senyuman berlebihan mereka, dan yang paling menyebalkan, ketika tiba di kamarku aku mencium aroma kamper ‘lagi’.
Aku pernah bertanya pada seorang perawat “Mengapa aku di sini, bukannya di penjara?”
“Kamu bukan kriminal tapi psikopat. Kamu bukannya jahat tapi gila”
“Aku tak paham” jawabku
Dia hanya tersenyum padaku.
*
Aku menatap sebilah pisau yang tertancap di atas meja dapur. Besar sekali, pikirku. Lalu aku mendengar dia memanggilku. Mungkin menyenangkan bermain dengannya, benda mati biasanya lebih menyenangkan diajak bermain darpada makhluk hidup apalagi manusia yang semakin hari semakin banyak yang ‘bertanduk’.
Aku membawanya diam-diam ke kamarku. Mungkin aku bosan pada keadaan karena aku tak pernah berulah. Aku ingin berulah sekali-sekali. Tetapi jika membunuh lagi, percuma. Aku tidak akan dipenjara, aku justru akan lebih lama terkurung di sini.
Mungkin jika aku membunuh ‘malaikat pencabut nyawa’ milik ‘sang kuasa’ aku akan dihukum lebih berat. Meskipun aku berpikir tetek bengek sang kuasa dan lainnya itu hanya omong kosong. Memercayainya demi kesenangan seru juga.
Aku mulai berpikir keras. Bagaimana cara terbaik memulainya. Harus cepat sampai atau yang lambat saja agar aku bisa menikmati perjalanannya sebelum sampai. Ah terserahlah, yang penting aku sudah yakin hari ini adalah tugas terakhir ‘malaikat pencabut nyawa’ milik ‘sang kuasa’. Entah bagaiamana jadinya setelah ini. Aku tak peduli lagi.
Tiba-tiba aku melihat darah di tanganku. Bau kamper yang semakin keras. Suara-suara tak wajar yang tertawa padaku. Akhirnya aku dapatkan kesenangan yang aku cari…
*
HARIAN PAGI
Seorang pasien sakit jiwa di rumah sakit jiwa seruni ditemukan mati bunuh diri dengan pisau. Kondisinya sangat mengenaskan, dalam keadaan nadinya yang putus. Menurut keterangan dokter dia adalah pasien penderita phobia berat yang takut dan memandang buruk akan segala sesuatu. Kemungkinan besar hal itulah yang membuatnya frustasi dan mendorongnya untuk mengakhiri hidupnya di atas kasur bersprei putih dengan aroma kamper yang sangat keras. Bau orang mati.
***
Langganan:
Postingan (Atom)