Sabtu, November 01, 2008

ISTANA KEAJAIBAN

Aerin… dengarlah….!!! Istana ini kubuat untukmu….
Sebuah kenangan…
Kenangan untukmu… Aerin.
*
Pukul 04.00 pagi
Aerin bangun tiba-tiba dari tempat tidur, mengelus dadanya sambil mengatur nafas.
“Kenangan” ulangnya pada sesuatu yang didengarnya di dalam mimpi yang baru dialaminya.
“Aku sama sekali lupa…” ucapnya lagi sambil mengusap wajah dengan kedua telapak tangannya lalu menghempaskan kepala kembali ke atas bantal. Tapi dia sudah tidak bisa tidur.
*
“Rin, hari ini ada rapat buat tamasya anak-anak klub seni loh! Ikut yah” bujuk Gina. Aerin yang baru terlonjak dari kaget hanya mengangguk-angguk tanpa makna. Entah mengiyakan atau bingung…
Aerin yang akhir-ahir ini ling-lung membuat Gina ikut ling-lung. Aerin sekarang suka kaget sendiri, melamun, bicara sendiri lalu meralatnya tiba-tiba, menerawang, bahkan bermimpi saat matanya terbuka lebar. Ada yang salah dengan Aerin, sejak dia bertemu orang itu. Anak laki-laki yang bernama Jae.
“Oh ya Gin, memangnya rencana tamasyanya kemana?” tanya Aerin ketika menyadari arah pembicaraan yang ingin dituju Gina.
“Ke pantai”
“Pantai?”
“Ya…”
“Pantai yang mana?” dahi Aerin semakin mengerut. Alisnya hampir menyatu.
Gina tersenyum sebentar. “Lonny Beach… yang airnya dari jauh berwarna ungu”
“Lonny?... kenapa?” mata Aerin fokus pada sesuatu tapi bukan Gina ataupun pembicaraan mereka. Dia fokus pada sesuatu di balik punggung Gina, pada sesuatu yang jauh, yang hanya dia yang tahu.
“Apanya yang kenapa?” sambar Gina tidak sabar.
“Ah tidak, bukan apa-apa. Lupakan saja”. Kemudian mereka berlalu sepanjang koridor menuju loker. Berencana mengambil buku catatan lalu masuk ke kelas. Tapi sepertinya Gina harus ke kelas sendirian.
“Hai” sapa Jae pada kedua gadis itu.
“Hai” balas mereka serempak. Gina lalu bergegas mengambil buku-buku dan menjejalkannya asal-asalan ke dalam tas. Sedangkan Aerin kembali ling-lung. Bertingkah aneh, lambat, bingung, asal dan sulit dibayangkan.
“Eh Rin, aku duluan ke kelas ya. Sekalian lewat ruang administrasi, ada perlu. Biar gak telat”
“Oh iya” jawab Aerin tanpa sadar. Gina pun bergegas pergi. Dia sahabat yang pengertian.
Hening sejenak….
“Ikut?” Jae memulai pembicaraan dengan pertanyaan yang kurang berarti.
“Hah, kemana?”
“Lonny…” sahut Jae. Aerin terdiam. Kata ‘Lonny’ bergema di telinganya,.. gema yang memantulkan kalimat ‘sepi’, kesepian yang pekat, dalam, dan sulit diingat.
“Mungkin…” Sahut Aerin kemudian dengan volume yang sangat halus seperti bicara pada dirinya sendiri.
“Harus” teriak Jae ceria, dan dia tersenyum manis.
Aerin memandang senyum itu. Lalu dia ikut tersenyum.
Jae anak yang istimewa pikir Aerin. Dia manis dan murah senyum, cepat akrab, santai dan agak tidak tahu malu. Kadang tidak tahu diri. Hari itu, rabu siang yang cerah yang pantas dinikmati, angin sejuk, udara segar, di taman belakang perpustakaan Aerin duduk sambil membaca dan tanpa rasa malu dia duduk di samping Aerin mengambil buku dari tumpukan teratas yang belum tersentuh oleh Aerin lalu berkomentar macam-macam. Sikapnya sok tahu, tapi tebakannya benar. Semuanya. Lalu dia tertarik pada salah satu buku Aerin yang berjudul ‘Century’. “Wah” katanya dengan mata berkilauan. Dia memandang cover buku yang bergambar sebuah rumah tua besar yang indah seperti istana. “Hebat” ucapnya lagi.
“Boleh pinjam?” tanyanya tanpa rasa segan bahkan malu. Dia bahkan belum mengulurkan tangan secara resmi untuk berkenalan, hanya sekilas saat membaca nama dari pemilik buku. Awalnya Aerin ingin marah, tapi …
“Aku Jae” ucapnya sambil mengulurkan tangan dan tersenyum ramah. Hal itu membuat Aerin tiba-tiba tertawa lepas.
“Kenapa tertawa?” tanyanya bingung tanpa rasa bersalah.
“Kamu aneh, kamu lucu” jawab Aerin terbata menahan tawa.
“Aneh? Lucu? Kamu tertawa? Aku membuatmu tertawa, itu artinya kita teman? Jadi aku boleh pinjam dong? Besok aku kembalikan. Yah… yah… yah…” bujuknya
Secara otomatis Aerin mengangguk lalu Jae pergi dari perkenalan singkat itu. Aerin bingung… dia terlalu seenaknya membawa buku orang lain, lalu berjanji mengembalikan tanpa tahu besok Aerin akan ada di mana pada jam berapa, sekolah di mana, tinggal dimana, atau segala tetek bengek yang minimal harus diketahui jika ingin mengembalikan buku. Hanya karena dia berhasil membuat Aerin tertawa maka dia menganggap Aerin telah menjadi teman baiknya. Anak yang aneh. Unik.
Aerin agak sebal karena berpikir buku kesayangannya terancam hilang. Tapi sesuatu mengejutkannya. Ketika dia minum di kantin bersama Gina, seorang anak lelaki yang tidak dikenal datang menghampirinya, tersenyum dan menyodorkan sebuah buku bergambar rumah tua yang indah seperti istana, yang telah bersampul plastik.
“Bukumu kan, Aerin?” tanyanya mantap.
Aerin berbalik dan berusaha mengingat senyum itu. Senyuman seseorang di taman belakang perpustakaan. “Jae?” ucapnya.
“Aku sudah membacanya, dan merawatnya” katanya lirih.
Aerin terdiam… “Hebat” Aerin membatin.
Sejak itu Aerin dan Jae bersahabat.
Sejak itu Aerin jadi sering bermimpi
Sejak itu Aerin jadi merindukan sesuatu, sesuatu yang telah dilupakannya. Sulit diingat kembali, tapi Jae memaksa. Jae yang aneh. Jae yang lucu.
*
Aerin menatap cermin lekat-lekat. Mengatur nafas panjang, mengusap wajahnya dengan air dari keran. Lalu dia menutup mata.
Bayangan itu muncul lagi. Bayangan yang sangat indah.
Sebuah istana pasir yang besar dan indah. Berkilauan ditimpa sinar matahari. Seorang anak bertubuh kecil mengisi ember plastik biru dengan pasir-pasir berkilau lalu menumpuknya di bagian teratas istana. Anak kecil itu membalikan kepala ke arah Aerin. Gelap. Tak terlihat apapun selain bibir yang tersenyum.
“Istana ini kubuat untukmu, Aerin” ucapnya halus. “Istana ini kubuat agar kau bermimpi indah selalu”. Anak itu dan segala yang terlihat oleh Aerin lenyap. Terganti oleh istana besar berkelambu senja yang amat indah di pinggir pantai……
Aerin menatap air berwarna ungu lekat-lekat.
Tiba-tiba semuanya meledak. Gina masuk ke toilet menghampiri dan sekaligus membangunkan Aerin dari khayalannya.
“Rin, kenapa? Sakit?” tanya Gina khawatir.
Aerin menggeleng, lalu menyisihkan sepengggal senyum yang tersisa.
*
“Pantainya bagus ya” seru Alika
“Ya… Lonny kan baru dibuka seminggu yang lalu. Jadi masih bagus” papar Seno sambil mengacungkan kedua jempolnya.
“Benar, pasirnya masih berkilauan, airnya juga jernih”sambung Alika lagi.
“Itu sih belum ada apa-apanya. Coba deh tunggu sampai sore. Pasti lebih bagus” sahut Jae cepat. Gina yang sedari tadi tidak berkomentar, berputar-putar kebingungan disekitar mereka.
“kenapa Gin?” tanya Seno.
“Kalian liat Aerin, gak?” jawabnya khawatir. “Akhir-akhir ini dia agak aneh, aku takut dia nyasar”
“Nyasar?” Alika mengerutkan dahi.
“Iya, sepertinya ini pertama kalinya dia ke Lonny. Jadi mungkin…”Gina diam sejenak “Jae, kamu liat Aerin?”
Jae menggeleng “Aku gak liat dia dari tadi. Tapi mungkin aku tahu di mana dia”
“Maksud kamu?” Gina bertanya dengan nada tajam.
“Aku kan orang sini”
*
“Mikirin apa, Rin?” tanya Jae lirih.
Aerin kaget. Dia memutar tubuhnya dan mendapati Jae berdiri di belakangnya.
“Mencoba mengingat sesuatu?” sambungnya lagi.
“Sudahlah Jae, kamu itu selalu bertanya. Hentikan kepura-puraanmu itu. Kenapa tidak bilang kamu pernah tinggal di sini?”
“Kenapa tidak bilang kamu pernah ke sini?”
Aerin menatap bingung pada Jae “Apa maksudmu? Aku, aku tidak ingat pernah ke tempat ini. Ini pertama kalinya”
“Dan di kali yang pertama kamu bahkan berhasil menemukan sudut pantai paling indah untuk memandang senja dan air laut. Tidak Aerin” sambung Jae yakin.
“Mungkin kebetulan” kilah Aerin sambil menunduk
“Atau mungkin kamu pura-pura lupa” sambung Jae lagi.
Aerin menatapnya penuh makna.
*
“Apa yang dia katakan padamu sebelum dia… hilang” Aerin mencoba memulai kembali pembicaraan setelah hening cukup lama
“Dia tidak mengatakan apa-apa, tapi aku bisa merasakannya” Jae sangat yakin mengucapkannya.
“Aku bahkan tak merasakan apapun”
“Kamu merasakannya”
“Tidak” sela Aerin “aku bahkan baru berumur enam tahun saat itu”
“Dia juga. Tapi yang namanya kenangan… aku bahkan bisa merasakannya sampai sekarang”.
Aerin terdiam. Bayangan itu mulai jelas. Seorang nak kecil yang sedang membuat istana pasir yang indah dan berkilauan. Kenangan.
Ketika itu Aerin duduk di balik batu besar sambil memeluk lutut, ketakutan. Seorang anak laki-laki yang ramah menghampirinya “kenapa?”tanyanya.
Aerin tetap diam ketakutan.
Anak itu mengulurkan tangannya. “Mari ikut bersamaku, kita membuat istana bersama” dia lalu tersenyum.
“Aku tinggal di Lonny, aku suka Lonny, aku ingin tetap di Lonny selamanya. Tapi ayah tidak mau, kami harus pergi katanya. Untuk kepentingan semuanya. Aku menolak lalu marah dan kabur begitu saja, berlari tanpa arah menuju pantai. Dan tersesat. Aku takut” Aerin menjelaskan panjang lebar.
“Kenapa kamu suka Lonny”
“Lonny selalu menyenangkan. Aku selalu bermimpi indah sejak tinggal di sini. Lonny memberiku kenangan yang indah”
Anak laki-laki itu tertawa.
“Kenapa?” tanya Aerin.
“Kamu lucu!” sahutnya
“Lucu?”
“Iya…” Anak laki-laki itu berusaha menghentikan tawanya, mengatur nafas dan kembali bicara. “Kamu sudah membuatku tertawa selepas ini. Aku senang, kau teman yang baik”
“Teman? Kita bahkan belum kenalan?”
“Tak perlu kenal untuk bersahabat, yang penting bisa memberikan kebahagiaan dan kenangan yang indah kan? Buktinya kau tak kenal Lonny sampai tersesat segala, tapi kamu menyayanginya kan?”
Aerin mengangguk. Mereka lalu tertawa bersama.
*
“Jadi tetap harus pergi?Kapan?”
Aerin mengagguk lalu menyahut cepat “besok”
“Tak bisakah menungggu lebih lama lagi?”
Aerin menggeleng.
Anak laki-laki itu tiba-tiba berlari cepat menuju pantai. “Aku punya kenangan terakhir untukmu” teriaknya lalu menghilang di balik lalu lalang punggung-punggung orang yang sedang bepergian merajut kenangan masing-masing.
“Sejak itu aku bersikeras untuk pergi dari Lonny secepatnya. Untuk pertama kalinya aku mendapat kenangan buruk dari Lonny. Karena sejak itulah… dia menghilang dan tak kembali lagi. Selamanya” ucap Aerin mengakhiri kisahnya sambil sekali-sekali membayangan wajah si anak laki-laki yang telah kabur.
“Kamu tahu, apa yang terjadi padanya?”
“Aku tidak pernah mau tahu” jawab Aerin tajam
“Jawaban yang salah. Seharusnya kamu tahu apa yang dilakukannya di pantai sehingga membuatnya tidak peduli tentang peringatan angin pasang yang akan menimbulkan badai besar di pantai. Dia tenggelam karenanya, dua hari setelah kamu pergi, dia ditemukan oleh nelayan. Kamu sudah ingat Aerin”
Mata Aerin memerah. “Apa maksudmu mengatakan hal itu. Ingin memojokanku?”
“Tidak” sanggah Jae sambil menggeleng. “Hanya ingin menyampaikan sesuatu yang belum tersampaikan langsung kepadamu”
“Apa itu?”
“Saat itu dia mengumpulkan pasir yang berkilauan di dalam sebuah ember plastik biru. Ingin membuatkanmu sebuah istana pasir yang besar dan bagus” Jae merogoh tasnya, mengambil sesuatu. “Lihatlah!” katanya
Aerin diam menatap sebuah replika istana dari kayu yang bagus sekali. Sederhana dan mewah. Istana yang familier di matanya.
“Siapa kamu sebenarnya?”
“Bukan siapa-siapa. Hanya orang yang lebih tahu tentang keinginan si anak laki-laki”
“Apa hubunganmu dengannya?”
“Dulu tak pernah kamu menanyakan itu padanya. Tentang orang lain?”
“Aku terlalu asik bersamanya. Aku tak memikirkan hal lain” Aerin tertunduk kaku.
“Aku hanya seseorang yang serupa dengannya. Aku Jae”
“Itukah alasanmu kenapa memahami banyak hal?” tanya Aerin lagi.
Jae mengangguk.
“Aneh. Ajaib sekali”
“Ya, memang ajaib. Bukankah sebuah keajaiaban kita bertemu di taman belakang perpustakaan gara-gara sebuah buku bagus bergambar istana. Bukankah sebuah keajaiban kau mengingat kembali sesuatu yang telah lama dilupakan. Bukankah sebuah keajaiaban, kau selalu bermimpi indah karenanya. Istana itu adalah sebuah kenangan. Dan kenangan itu ajaib. Selalu seperti itu kejadiannya”
“Ajaib ya?” Aerin menatap lekat pada replika istana yang dipegangnya. “Kuberi nama apa replika ini ya?” sambungnya. “Sesuatu yang ajaib”
“Istana yang ajaib” sambung Jae kemudian.
“MAGIC CASTLE” Aerin mengikuti sambil tersenyum. Dia lalu beranjak dari batu besar yang didudukinya, dan berdiri di samping Jae. Menatap langit senja.
“Lonny, indah bukan?” ucap Jae lirih.
“Ya…” bisik Aerin. “kenangan yang indah”
Dari jauh Gina menatap mereka. Dia berbalik dan menjauh. “Aerin ku itu, akhirnya paham bagaimana rasanya” Gina membatin, lalu pergi meninggalkan dua orang yang tenang menatap langit senja, matahari oranye, laut yang tenang, dan cakrawala berwarna ungu terang.
Sambil berpegangan tangan dan memeluk magic castle di tangan yang lain Aerin memandang tajam pada air yang jauh di ujung cakrawala. Air tenang berwarna ungu.
***

Tidak ada komentar: