Ouch, hampir lupa aku punya lapak disini. Saking betahnya berkutat di dunia fantasi sendiri, jadi lupa kalo punya lapak kaki lima yang jualan suasan hati galau. Haha....
Oke, galau sekarang udah mulai mainstream ya, dan aku sebagai perkumpulan anti-mainstream *towel sekutu, memutuskan galau sudah mulai gak seru. Kayak friendster yang sudah terhapus dari peradaban (bersama dengan terhapusnya sisa-sisa kenangan obrolan aku dan dia dulu ketika alay suka testi-testi-an) halah galau lagi haha... Se gak seru facebook, yang sudah mulai sumpek dengan jumlah MLM dan kaki lima online yang berkembang mengikuti deret kuadrat, 4x4=16x16=dst --" ...
Mari ceria .... *gak mau ngubah backsound*** galau lagi.. --"
Lama gak bersua sama halaman putih disini, mau cerita apa juga jadi bingung.
Jadi aku punya temen, temen-temen lebih tepatnya. Dan mereka itu PHP, alias Pemberi Harapan Palsu, aku kasih mereka nama geng PHP, eh ternyata aku ketuanya. --" Udah gitu doang sih! Haha ...
Ini sebenarnya mau cerita tapi menghindar, tapi pengen cerita, tapi menghindar.
Mau ceritain bintang *mukamerahhhhhh ....
Sudah cukup ya tentang rembulan. Dulu ada film judulnya 'The Time Machine' (googling kalo ga tau, atau yahooing kalo kalian lagi ngambek sama mbah google) nah disitu ada satu scene dimana bulan hancur lebur karena dieksploitasi oleh manusia di bumi. Bagus deh, laut jadi pasang terus (atau harusnya jadi gak pernah pasang lagi?). Ich. Sudah cukup ya tentang rembulan, gak penting-penting amat juga. Paling dipandanginnya pas momen2 BlueMoon. Mainstream!
Jadi, dia itu kayak bintang. Bintang itu cuma bisa diliat pas malam hari, di tempat yang sama, selalu disana, membentuk formasi yang membingungkan, indah dan membikin penasaran. Tidak dikenal tapi terlihat ramah dari kejauhan, kadang kita tidak mengenali namanya namun memandangnya seakan sudah ratusan kali bertemu dan bersenda gurau. Bintang itu istimewa, dia selalu berada dilangit, hanya kadang kita kurang beruntung melihatnya, berkilau, berkedip samar, kelihatannya kecil tetapi semua orang mengakui kenyataan bahwa bintang itu besar. Dia bercahaya oleh dirinya sendiri, tidak menyerap cahaya manapun, tidak menjadi parasit untuk siapapun. Bintang itu unik.
Aku bertemu dengan dia, tiga tahun yang lalu, hanya sebatas nama, kemudian berlalu. Seperti pada suatu malam, secara kebetulan aku mengambil baju yang jatuh dari jemuran di lantai dua, lalu memandang ke langit dan melihatnya, menatap sebentar, mengenali bahwa itu adalah bintang, lalu kembali kerumah. Kami hanya berkenalan, memberikan kode panggil pribadi satu sama lain yang tak terlalu penting untuk diingat. Namun, dia unik, seperti bintang dengan gugusan berbentuk dan bernama unik, aku tidak berusaha mengingatnya, hanya saja pada satu masa ketika melihatnya lagi, tidak perlu ada momen lupa untuk memanggil kembali namanya, menyapanya.
Aku jarang sekali bertemu dengannya. Sama jarangnya dengan aku meluangkan waktu di malam hari, duduk di teras belakang menatap bintang. Jarang. Kami berada pada langit-langit yang sama, tapi berbeda ruang, berbeda masa. Seperti dengan bintang di semesta yang sama, tetapi berbeda ruang.
Semua berlalu sebagaimana mestinya, aku dengan kehidupanku, dia dengan kehidupan monotonnya juga. Kadang kami bertemu pada keperluan2 yang saling menguntungkan, lalu saling melupakan dengan sangat cepat. Pikiranku tak mampu menampung dirinya, dia mandiri, mampu berdiri diluar, tanpa tumpuan, kubiarkan begitu, mengingatnya tanpa perlu membebaniku.
Lalu pada suatu hari. Pada tahun ketiga kami saling mengenal. Aku berjalan menuju langit kami. Masuk kedalamnya bersama sahabatku, dia duduk di sebuah sudut strategis dunia ini, pada sisi langit paling mencolok yang membuatku tidak dapat berpura-pura tidak melihatnya. Diam tanpa menyapa adalah sikap yang tidak sopan. Tapi saat itu kami bersama sahabat masing-masing. Mengobrol. Berusaha pura-pura tidak melihat sehingga tidak terbebani untuk menyapa , tapi ternyata rasa tidak enak begitu besarnya. Akhirnya aku,sambil berlalu, dengan cueknya, tetapi fokus dengan pembicaraan aku dan temanku, aku melirik, berusaha mengatakan 'Hi' senormal mungkin, kemudian tersenyum. Dia membalas senyuman itu. Senyuman yang indah.
Aku tidak mengerti apa yang tergambar dimatanya, tapi aku merasa begitu tersanjung mengartikan senyuman dan pandangan matanya yang terpesona. Aku terpesona oleh ekspresi terpesona seseorang. Saat itulah aku menyadari, dia mirip sekali dengan bintang. Bintang yang indah tetapi jarang aku perhatikan.
Sejak hari itu, aku tetap tidak terlalu merasa penting untuk memikirkan atau mengingatnya. Lagipula aku tidak mau melakukannya, pikiranku sudah begitu penuh oleh senyumannya.
Aku tidak sedang jatuh cinta, aku hanya terpesona, dan ingin melihat senyum itu lagi. Sayangnya, setelah senyum hari itu, kami tidak lagi punya kesempatan untuk berpapasan, bahkan cuma sedetik.
Semoga perputaran bintang-bintang itu lebih cepat dari biasanya, lebih cepat 100 tahun mungkin, agar aku bisa mengejarnya dan bertanya. Apa arti senyuman berkilau itu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar