Ouch, hampir lupa aku punya lapak disini. Saking betahnya berkutat di dunia fantasi sendiri, jadi lupa kalo punya lapak kaki lima yang jualan suasan hati galau. Haha....
Oke, galau sekarang udah mulai mainstream ya, dan aku sebagai perkumpulan anti-mainstream *towel sekutu, memutuskan galau sudah mulai gak seru. Kayak friendster yang sudah terhapus dari peradaban (bersama dengan terhapusnya sisa-sisa kenangan obrolan aku dan dia dulu ketika alay suka testi-testi-an) halah galau lagi haha... Se gak seru facebook, yang sudah mulai sumpek dengan jumlah MLM dan kaki lima online yang berkembang mengikuti deret kuadrat, 4x4=16x16=dst --" ...
Mari ceria .... *gak mau ngubah backsound*** galau lagi.. --"
Lama gak bersua sama halaman putih disini, mau cerita apa juga jadi bingung.
Jadi aku punya temen, temen-temen lebih tepatnya. Dan mereka itu PHP, alias Pemberi Harapan Palsu, aku kasih mereka nama geng PHP, eh ternyata aku ketuanya. --" Udah gitu doang sih! Haha ...
Ini sebenarnya mau cerita tapi menghindar, tapi pengen cerita, tapi menghindar.
Mau ceritain bintang *mukamerahhhhhh ....
Sudah cukup ya tentang rembulan. Dulu ada film judulnya 'The Time Machine' (googling kalo ga tau, atau yahooing kalo kalian lagi ngambek sama mbah google) nah disitu ada satu scene dimana bulan hancur lebur karena dieksploitasi oleh manusia di bumi. Bagus deh, laut jadi pasang terus (atau harusnya jadi gak pernah pasang lagi?). Ich. Sudah cukup ya tentang rembulan, gak penting-penting amat juga. Paling dipandanginnya pas momen2 BlueMoon. Mainstream!
Jadi, dia itu kayak bintang. Bintang itu cuma bisa diliat pas malam hari, di tempat yang sama, selalu disana, membentuk formasi yang membingungkan, indah dan membikin penasaran. Tidak dikenal tapi terlihat ramah dari kejauhan, kadang kita tidak mengenali namanya namun memandangnya seakan sudah ratusan kali bertemu dan bersenda gurau. Bintang itu istimewa, dia selalu berada dilangit, hanya kadang kita kurang beruntung melihatnya, berkilau, berkedip samar, kelihatannya kecil tetapi semua orang mengakui kenyataan bahwa bintang itu besar. Dia bercahaya oleh dirinya sendiri, tidak menyerap cahaya manapun, tidak menjadi parasit untuk siapapun. Bintang itu unik.
Aku bertemu dengan dia, tiga tahun yang lalu, hanya sebatas nama, kemudian berlalu. Seperti pada suatu malam, secara kebetulan aku mengambil baju yang jatuh dari jemuran di lantai dua, lalu memandang ke langit dan melihatnya, menatap sebentar, mengenali bahwa itu adalah bintang, lalu kembali kerumah. Kami hanya berkenalan, memberikan kode panggil pribadi satu sama lain yang tak terlalu penting untuk diingat. Namun, dia unik, seperti bintang dengan gugusan berbentuk dan bernama unik, aku tidak berusaha mengingatnya, hanya saja pada satu masa ketika melihatnya lagi, tidak perlu ada momen lupa untuk memanggil kembali namanya, menyapanya.
Aku jarang sekali bertemu dengannya. Sama jarangnya dengan aku meluangkan waktu di malam hari, duduk di teras belakang menatap bintang. Jarang. Kami berada pada langit-langit yang sama, tapi berbeda ruang, berbeda masa. Seperti dengan bintang di semesta yang sama, tetapi berbeda ruang.
Semua berlalu sebagaimana mestinya, aku dengan kehidupanku, dia dengan kehidupan monotonnya juga. Kadang kami bertemu pada keperluan2 yang saling menguntungkan, lalu saling melupakan dengan sangat cepat. Pikiranku tak mampu menampung dirinya, dia mandiri, mampu berdiri diluar, tanpa tumpuan, kubiarkan begitu, mengingatnya tanpa perlu membebaniku.
Lalu pada suatu hari. Pada tahun ketiga kami saling mengenal. Aku berjalan menuju langit kami. Masuk kedalamnya bersama sahabatku, dia duduk di sebuah sudut strategis dunia ini, pada sisi langit paling mencolok yang membuatku tidak dapat berpura-pura tidak melihatnya. Diam tanpa menyapa adalah sikap yang tidak sopan. Tapi saat itu kami bersama sahabat masing-masing. Mengobrol. Berusaha pura-pura tidak melihat sehingga tidak terbebani untuk menyapa , tapi ternyata rasa tidak enak begitu besarnya. Akhirnya aku,sambil berlalu, dengan cueknya, tetapi fokus dengan pembicaraan aku dan temanku, aku melirik, berusaha mengatakan 'Hi' senormal mungkin, kemudian tersenyum. Dia membalas senyuman itu. Senyuman yang indah.
Aku tidak mengerti apa yang tergambar dimatanya, tapi aku merasa begitu tersanjung mengartikan senyuman dan pandangan matanya yang terpesona. Aku terpesona oleh ekspresi terpesona seseorang. Saat itulah aku menyadari, dia mirip sekali dengan bintang. Bintang yang indah tetapi jarang aku perhatikan.
Sejak hari itu, aku tetap tidak terlalu merasa penting untuk memikirkan atau mengingatnya. Lagipula aku tidak mau melakukannya, pikiranku sudah begitu penuh oleh senyumannya.
Aku tidak sedang jatuh cinta, aku hanya terpesona, dan ingin melihat senyum itu lagi. Sayangnya, setelah senyum hari itu, kami tidak lagi punya kesempatan untuk berpapasan, bahkan cuma sedetik.
Semoga perputaran bintang-bintang itu lebih cepat dari biasanya, lebih cepat 100 tahun mungkin, agar aku bisa mengejarnya dan bertanya. Apa arti senyuman berkilau itu?
Selasa, Oktober 02, 2012
Selasa, April 10, 2012
TERATAI
TERATAI
From : Anjar
Ran, gmn kbr Rafael, kt Lily dy flu ya. Jgn lupa ksh obat, klo bandel bw sini aj dperiks
Kirana menutup kembali Blackberry sliding-nya setelah membaca pesan dari Anjar tanpa ada niat membalasnya. Palingan juga dia bakalan nge-ping sehabis melihat pesan yang dia kirim berubah dari ‘D’ menjadi ‘R’ tanpa ada respon. Mungkin dia akan melakukannya hingga puluhan kali seperti yang dulu selalu dia lakukan dan hanya akan berhenti setelah Kirana membalas paling tidak satu kata. Dulu dia selalu khawatir karena hal ini akan berakhir dengan pertengkaran tapi sekarang dia tidak peduli. Toh sejak dia dan Anjar bercerai, dia tidak harus lagi mengikuti sikap Anjar yang berlebihan terhadap dirinya.
Sikap berlebihan itu mungkin bisa diterima olehnya, tapi Kirana mulai tidak bisa menerima ketika Anjar menerapkan sikap itu pula pada Rafael, anak mereka satu-satunya.
Rafael harus sempurna, harus juara satu, harus nurut, harus jaga manner, harus tenang, harus diam, dan seterusnya. He such a perfectionist person, kadang Kirana tidak habis pikir, Anjar adalah seorang dokter spesialis paru yang sibuk dengan begitu banyak pasien. Dokter sempurna yang pengertian dan baik hati, motivator bagi pasiennya, then he just can’t how to motivating his own wife and son, selain membuat keduanya tertekan dengan tuntutan sana sini tanpa memenuhi tuntutan sang istri dan anak laki-lakinya yang membutuhkan kasih sayang. Bukannya request-an yang belum waktunya dibebankan pada anak berumur lima tahun.
Setelah dua puluh ‘ping’
“Iy tau ko. Dy udah baikn, td udh mnum obat jg”
“Lg dmana?”
“D RS. Ad lahiran td”
“Loh, g ad prwt lain. Rafael sp yg jg”
Kirana menghela nafas kesal, hampir mendengus “ Kenapa baru sekarang ributnya, dulu waktu masih serumah sebagai keluarga kamu kemana” bisik Kirana dalam hati.
“Lily bantuin jg”
Kirana langsung menutup aplikasi pesan blackberry-nya berharap pembicaraan sia-sia ini tidak berlanjut. Sesaat sebelum dia memencet tanda telepon merah untuk meng-off-kan hapenya, pesan baru masuk lagi.
From : Ilham
Syg, aku dah drumah, kamu g ad. Ad lahiran lg drumah skt ya?
Untunglah bukan Anjar yang mengajak bertengkar ‘lagi’. Pesan terakhir itu membuat dia lega sekaligus merasa tidak enak.
‘Iy Ham, maaf ya’
‘Iyeh g pp lg. Aku lg asik maen ma Rafael jg ni. Seneng dy ad tmen maen yg seumuran’
‘Seumuran pala mu’
‘:D’
‘Otw. Bntar lg ko’
Karina menutup kembali blackberry-nya dan memasukannya ke dalam tas. Dia meraih jaket yang tersampir di ruang perawat sambil berpesan pada Hana untuk menggantikan tugasnya menjaga bayi laki-laki seberat 3 kilo yang dirawat di ruangan opname bersama ibunya.
“Han, aku tinggal ya” ucapnya lalu menunggu anggukan Hana dan berlalu “Eh, jangan lupa diawasin ya, dokter Ridwan masih diluar, takutnya bayi tadi kenapa-kenapa. Nangisnya telat tadi soalnya”
“Iya ah, pulang sana” Hana tertawa sendiri melihat tingkah Kirana yang tidak pernah bisa berhenti khawatir “Kaya aku sendiri aja disini. Banyak dokter muda yang siap bantuin noh” tunjuknya.
Kirana berjalan menyusuri koridor rumah sakit dengan sangat terburu-buru. Pikirannya tercampur baur antara si bayi yang terlambat menangis setelah lahir dan anaknya sendiri yang hari ini saja bersinnya sudah puluhan kali sampai bosan menghitungnya. Dia selalu saja khawatir dengan anak-anak disekitarnya. Dia menyukai anak kecil dan jiwa keibuannya selalu saja terpanggil ketika tangisan-tangisan anak kecil merasuk telinganya. Make the baby’s crying stop is heaven for her.
Sayang sekali kecintaannya pada pekerjaan dan anaknya tidak didukung dengan keadaan keluarga yang baik. Tiga tahun sudah dia berpisah dengan suaminya, seorang dokter spesialis paru bernama Anjar, karena hal umum yang sulit ditoleransi. Sikap dan prinsip. Perjuangannya untuk tetap bertahan sendiri bersama anak satu-satunya membuat dia menjadi wanita yang kuat dan dicintai banyak orang. Cukup setimpal dengan apa yang hilang. Entahlah. Dia selalu mencamkan itu cukup setimpal, tapi hati kecilnya masih terusik ketika melihat mata Rafael yang mencari-cari sosok sejenis dia, sosok seorang laki-laki.
Ilham tiba-tiba lewat dibenaknya.
Dia mengambil blackberry-nya dan mengirim sebuah pesan sebelum memberhentikan taksi dan masuk kedalamnya.
‘Ham, maaf ya’ -D-
**
“Gimana sama hotel kamu. Udah balik lagi?”
“Udah stabil ko. Ilham gini. Jago tau” Ilham menyombongkan diri.
Ilham memiliki sebuah hotel yang dia rintis dari dasar sama-sekali hingga sekarang menjadi sebuah hotel bintang lima terkenal. Beberapa waktu yang lalu, isu kenaikan bahan bakar dan mata uang yang tidak stabil membuat usahanya terkena ombak kecil tapi seorang Ilham sangat terampil untuk merakitnya kembali.
“Bagus deh kalo gitu” Kirana beranjak dari sofa “Mau kopi lagi?”
“Ga deh” sahut Ilham. Dia memandangi Kirana yang masih berjalan menuju sofa dekat Ilham, meraih Rafael yang tertidur bersama lembaran-lembaran kertas bergambar dipangkuan Ilham “Tadi dia main apa sama kamu?”
“Ngegambar aja. Aku ada baca, katanya menggambar meningkatkan kreatifitas dan memaksimalkan kerja otak gitu, jadi tadi aku ajak dia gambar deh. Lagian Lily juga keliatan kasian banget. Anak kamu nih gak jauh beda sama ibunya, kaya bebek lari-larian sana sini” dia tertawa.
“Dasar” Kirana berpura-pura marah. Namun jauh dalam hatinya, itu adalah ucapan apa adanya yang hangat.
“Eh mau angkat Rafael? Sini biar aku” Ilham menggendong Rafael masuk ke kamarnya, menyelimutinya dan meninggalkan Kirana bersama Rafael sesaat. Memberikan waktu untuk ibu dan anak itu.
Setelah sepuluh menit, Kirana keluar dari kamar Rafael. Ilham bersiap pulang.
“Ran, besok sibuk gak?”
“Enggak, kenapa?”
“Ke Teratai mau gak? Mas Indra sama istrinya lagi liburan trus mampir gitu”
“Ke tempat kerja kamu?” Kirana mengerutkan kening. Mendengar Teratai saja, nama hotel bintang lima milik Ilham sudah membuatnya sedih, apalagi harus bertemu dengan semua orang dan Mas Indra beserta istri.
Pertama kali (dan terakhir kali) Kirana ke Teratai, semua mata menatapnya. Bisikan-bisikan halus gunjingan orang mengusiknya. Bagaimana tidak, Ilham seorang pengusaha hotel bintang lima sukses, seorang pengusaha muda yang menjadi panutan, memiliki kekasih seorang perawat rumah sakit biasa, janda, punya anak pula. Lengkap. Gimana gak gatal mulut orang untuk menggunjing.
Awalnya Kirana berusaha tahan, tapi kemudian dia sempat dengar kata-kata istrinya Mas Indra, kakak Ilham, tentang dirinya kepada suaminya.
“Kenalin, ini Kirana” ucap Ilham waktu itu. Mas Indra menyambut salaman itu dengan hangat begitu pula istrinya, Dian. Namun kemudian ketika dirinya cukup jauh, angin membawa bisikan Dian.
‘Itu ya mas. Tapi kok kasian sih si Ilham. Ga ada ya yang belum jebol. Ada bonus gitu lagi’ bisiknya.
Sakit!
‘Hush, jangan ngomong gitu. She is the best nurse, and I know she’s best for my brother’
Malah makin sakit!
Kirana dipenuhi perasaan bersalah yang disadari oleh Ilham.
“Kenapa sayang?”
“Aku gak bisa”
“Kenapa? Aku jamin, Mbak Dian ga akan keceplosan lagi ko. Maafin dia ya”
“Aku gak marah sama Mbak Dian. Dia bener, aku marah sama diri aku sendiri”
“Aku seneng ko. Kenapa harus takut omongan orang lain”
“Aku udah berusaha berpikir kaya gitu Ham, tapi..”
“Coba liat sini” Ilham memaksa Kirana menatapnya. Dia menangkupkan kedua telapak tangan di kedua pipi Kirana. Hangat “Lihat aku. Si Ilham yang muda, yang berprestasi, yang ganteng” sekilas dia tersenyum sombong, lalu berujar kembali “Si Ilham yang kekanak-kanakan, yang manja, si anak bungsu yang cengeng. Kamu tahu, sebelum ini kita sama-sama bersama orang lain tapi ketika aku sama kamu. Si Kirana yang bawel, ibu-ibu yang sayang banget sama anaknya, suka cerewet apa aku udah sikat gigi apa belum, yang paling repot pas aku bersin cuma sekali, yang suka marah-marah kalo aku lupa sama jadwal rapat sama klien atau tamu luar negeri yang review hotel, yang gak pernah berhenti ngoceh kayak nenek-nenek, trus si Kirana itu punya anak, namanya Rafael, lucu, imut, pinter, nakal juga, suka maen, suka berantakin kamar, suka lempar gayung kalo lagi mandi sama sikat gigi. Both of you just lovable. Sebelum ini aku punya pacar dan mereka gak pernah sama kayak kamu. Ketika aku liat kamu, lalu aku liat Rafael, saat itu aku tahu, cuma kamu yang bisa sabar buat terus sama aku”
Kirana Speechless.
Iya, setimpal. Semua kenangan buruk itu terbayar dengan kebahagiaan Rafael, teman-teman yang mendukung dan mengerti keadaannya, dan Ilham.
Tuhan memberi lebih dari yang dia harapkan.
“Besok, ke Teratai ya” bisiknya lagi. Kirana mengangguk.
**
“Rafa, sayang. Aduh. Sini dong, makan dulu. Lepas dulu mobilnya” Kirana berlarian kesana kemari mencoba mengejar lelaki kesayangannya agar membuka mulut dan menelan sup sayur yang dia buat subuh tadi. Blackberry-nya berbunyi.
“Sayang aku jemput ya. Sama Rafael juga”
“Loh ajak Rafa juga?”
“Iyun”
Kirana mulai lemas.
“Ma” Rafael menyerah sendiri ketika mendapati ibunya berhenti mengejarnya. Dia membuka mulut pasrah membiarkan sesendok sayur terakhir masuk perutnya. Dia tersenyum, sepasang lesung pipi yang manis muncul seperti bulan dan matahari terang bersebelahan.
Kirana memeluknya erat “Mama sayang Rafa”
“Ran” kamu percaya gak? Semua orang menunggu kamu, mengharapkan kamu. Kalimat panjang itu terpotong menjadi hanya sapaan “Ran”dan sisanya terucap lewat matanya. Kirana memilih pura-pura tidak melihat dibandingkan berharap.
Berpikir semua orang mengharapkan kehadirannya, baginya itu terlalu berlebihan. Namun Ilham tidak lelah menunjukan pada Kirana dan semua orang bahwa pilihannya benar.
“Iya, Ham”
“Ayo”
“Tapi aku takut banget Ham”
“Kenapa lagi sayang?”
“Disini aja deh ya, ga usah pake kenalan dan bawa-bawa Rafael”
“Harus dong, biar mas Indra kenalan, Mbak Dian ketemu, trus cerita-cerita ke Mama dama Papa dan keluarga disana”
Lalu membuat mereka kecewa Ilham?
“Kamu tau gak Ran, dulu ada yang pernah nanya sama aku. Ham kok kamu mau sih sama Kirana, yang cantik sekarang kan banyak?”
“Coba deh kamu pikir, gimana perasaan aku mendengar pertanyaan itu. Kita sama-sama sedih dan berusaha berjuang disini, kamu gak sendirian. Aku juga merasa kaget, sekaget kamu, mungkin lebih kaget. Seperti kamu menerima dihina tetapi kamu tidak terima Rafael dihina, aku juga gitu, aku terima dihina, tapi rasanya marah banget kalo orang hina-hina kamu seakan mereka lebih kenal kamu dari aku”
“Trus kamu jawab apa?”
“Diem aja”
“Bohong” sanggah Kirana. Kamu bukan tipe yang diam setelah dibombardir pertanyaan frontal.
Ilham tersenyum lagi mendapati Kirana selalu bisa menebak.
“Yah, aku cuma nanya balik aja”
‘Kamu punya pacar gak? Secantik Kirana gak? Kalo lebih cantik, apa dia sebaik Kirana? Kalo lebih baik, apa dia pinter masak kayak Kirana? Kalo iya, Apa dia dan kamu punya kesamaan yang membuat kalian selalu bahagia kayak aku dan Kirana ketika mendengarkan Jazz dan piano bersama secangkir kopi? Apakah dia sepintar Kirana dalam merawat anak? Apakah dia sekuat Kirana yang selalu tahan mendengar orang-orang menghina dia? Apakah dia seperti Kirana yang lebih peduli pada jani-janji rapat dan pekerjaanku dibandingkan aku sendiri terhadap pekerjaanku? Apakah pacarmu mementingkan dirinya sendiri? Satu-satunya hal yang Kirana tidak pernah lakukan’
“Ada banyak hal yang tidak mereka tahu dan membuat mereka menelurkan penilaian amat mentah. Kalo orang kayak gitu jadi pengusaha atau kerja di perhotelan pasti bangkrut” selorohnya.
Keberanian itu muncul lagi, Kirana ikut Ilham sambil menggendong Rafael bersamanya. Pergi menuju Teratai.
Mata-mata menatapnya tiada henti. Tatapan senang, excited, sedih, tapi paling banyak tatapan menghakimi yang ditutupi dengan senyuman palsu. Untung mereka hanya karyawan biasa, jadi mereka tidak berani bertanya macam-macam tentang wanita dan seorang anak kecil yang dibawa Ilham.
“Ini Kirana” ucapnya spontan menyadari tatapan penuh tanya semua karyawannya “Kalian harus tahu sepertinya” dia tersenyum tegas “Dan ini Rafael, lucu kan dia?”
“Ih iya, imut banget” bisik sebuah suara.
“Eh itu ya, ada anaknya. Wah” bisikan lain.
Apa maksud ‘wah’ itu?
-----
“Itu yang aku denger Ly, gimana sama yang gak aku denger, gimana sama yang ngomong kemana-mana tapi aku gak tahu. Rasanya kayak bom waktu Ly, tiba-tiba udah mau meledak dan ngancurin perasaan aku” hanya beberapa menit setelah perkenalan itu, Kirana membiarkan Ilham menggendong Rafael dan dia pergi dari sana, bersembunyi di sebuah taman halaman belakang hotel agar Rafael tidak melihat ibunya yang bawel, sedih, tersedu. Suasana sepi saat itu, Kirana memilih duduk dikursi dekat danau dan curhat via telpon dengan Lily yang langsung memutuskan untuk menyusul Kirana kesana.
**
“Kirananya mana?” Dian mendekati Ilham, menanyakan keberadaan Kirana antusias.
“Ada apa memangnya Mbak?”
“Aku mau ketemu Kirana”
“Tumben”
“Jangan gitu ah. Mbak minta maaf soal dulu itu. Mbak gitu, itu spontan Ham, habis itu Mbak ngerasa bersalah banget juga”
“Iya, ga apa kok Mbak, ga ada yang marah” Ilham mencoba mencairkan suasana dengan senyumnya “Gimana keadaan ka Giska sama anaknya”
“Sekarang baik Ham. Makanya juga Mbak mau ketemu Kirana. Ka Giska cerita ke Mbak, anak pertamanya itu kan baru lahir padahal Ka Giska nikahnya udah lima tahun, jeda lebar kan tu, jadi kata dokter riskan banget makanya dia kesini buat perawatan, total banget. Trus dirumah sakit, selain dokter ada juga perawat yang ngerawat dia, telaten banget, Kirana Ham. Mbak langsung ngerasa bersalah banget sama Kirana”
Senyuman masih terus menempel di wajah Ilham “Iya Mbak, dia suka banget sama anak kecil”
“Ini Rafael?”
“Iya”
“Lucu, mirip mamanya” bisik Dian tulus.
Dia menatap ponselnya dan mengirimkan pesan kepada Kirana.
**
“Kalo misalnya kamu kelas enam SD trus ujian dikasih soal kelas empat SD kan gampang banget, langsung lulus gitu. Kalo ujiannya susah berarti you have high grade for yourself. Luluslah, kamu bakal dapet ujian yang lebih susah lagi, susah lagi”
Kirana hanya terdiam di bangku taman, menelaah apa yang dibilang Lily sambil menatap bunga teratai yang mengapung di danau.
“Yang penting Tuhan selalu sama kita, sama kamu”
“Sok bijak kamu Ly”
“Iya dong. Lily, nih aku long distance sama laki tetep aja positif kan. Toh di Jerman dia gak bakal nemu cewek Asia tulen putih dan cantik kayak aku, baik hati, pinter ngasuh anak, bersuara merdu. Dia nyeleweng disana sama aje buang berlian buat sebongkah batu”
“Ciehhh” Kirana mulai lupa dengan penyebab dia hampir menangis
“Haha, yaudah mikir gitu juga dongs. Janda, kan ga apa apa, cantik gini, sekseh. Punya anak juga ga apa-apa, lucu gitu anaknya. Orang yang punya anak jelek aja bangga sama anaknya biarpun cuma pinter main cilukba. Biar cuma perawat, perawat itu kerjaan hebat loh, jangan remehin, bantuin orang sakit jasanya banyak. Biar digunjing orang, kamunya kan gak gunjing orang sayang. Lagian Ilham masih cakep kan, yaudah, bawa ketawa aja ya cantik” Lily mencubit pipi Kirana.
Dia kemudian iseng mengecek kembali blackberry-nya. Sepi. Dia kemudian tergerak untuk membuka akun yang sudah sangat lama tidak dibuka olehnya. Ingin melihat apakah ada sesuatu yang penting, sekedar menengok Timeline dan melihat yang sedang tren lalu kembali menutupnya. Niat awalnya.
‘Kaka Kirana. Sakit ya?’ from : @Iren
‘Kirana sayang, si bayi 3 kilo udah bisa pulang loh, sehat banget, tapi kata mamanya dia kangen kamu, cepet sembuh yah’ from : @Hana
‘Ka, ini Dewi kaka. Ponakan kesayangan om Ilham lohhh.... Kaka mau dipanggil tante kapan nih #kode’ from : @Dede_Wiwi
From : @DianIndra ‘Ran. Maaf ya’
Mata Kirana tidak berhenti membaca pesan yang seakan tidak berhenti memberinya semangat.
Lily kemudian ikut duduk sambil tersenyum kecut pada Kirana yang matanya memerah “Tuh kan. Kita semua sayang dan peduli sama kamu. Mereka ngomong gitu juga kalo gak dianggap ntar capek sendiri. Kamu punya kita semua, semua pengen jadi kamu loh Ran, si mama cantik yang bawel” Lily lalu memeluk erat Kirana penuh sayang.
“Iya, gak ajak-ajak” Ilham teriak dari seberang danau. Matanya cemburu pada Lily yang memeluk Kirana.
“Udah, cemburu sama Rafael aja, gak usah Lily juga deh”
Ilham hanya terkikik seperti anak kecil. Selucu Rafael.
***
The old quote says : Don’t judge people by the cover
The worst is, when the people judge other even without check out how the cover is
Tidak perlu saling menunjuk siapa yang benar dan yang salah. Perjuangankan, cukup. Dia akan muncul dengan sendirinya. Tuhan Maha Adil.
Minggu, Februari 05, 2012
Berpisah
Lama aku tidak menyapa rembulan yang sudah tertutup awan hitam, ah dia hanya tidak terlihat lagi dan aku mulai tidak peduli lagi :-/
Dulu aku marah dan bertanya mengapa kita tidak bisa bersama. Namun, seiring waktu berlalu aku mulai tahu bahwa mungkin benar adanya kita tidak bisa bersama karena disaat kau merindukanku dan aku merindukanmu, disaat aku menginginkanmu dan kau menginginkanku, itu bukanlah cinta, itu hanya sebuah reaksi .... Reaksi itu menghilang sekarang!
Apakah kau masih memperhatikanku dibalik awan hitam itu. Ah, kurasa tidak juga!
Kita berdua tahu bahwa sebenarnya memang kita tidak pernah benar-benar saling mencintai! Karenanya kita tidak bisa bersama
Label:
Cuap Cuap,
Pesan Peri Hujan
Personal Past
Kadang cinta dan ambisi memiliki itu bias, sering bias, hampir selalu. Dan saat waktu berlalu barulah terlihat bedanya.
Ketika perbedaan itu terlihat, maka terasa juga yang mana yang cuma diinginkan dan yang mana yang sangat spesial
Entah beberapa lama yang lalu aku pernah melewati saat dimana 'aku pikir' aku sangat mencintai seseorang, sangat ingin bersamanya, apapun risikonya, dan itu benar. Namun, aku mulai berpikir, apakah ini cinta atau cuma ambisi besar untukku mendapatkan sesuatu, disamping aku menyadari sifatku bahwa aku sangat benci kalah.
Tadi, ada acara temen, terus ketemu temen2 SMA, jadi inget masa SMA
Kangen.
dan dirinya begitu melekat kuat dipikiranku.
Dia tidak ada disana, tapi melihat teman-teman aku jadi merindukannya. Dulu aku mencintainya, suka sekali padanya, disaat yang sama sering kesal. Aku sering menangis karena sikapnya, tapi aku selalu berpikir itu cuma cinta monyet belaka, rasa kagum yang hanya akan bertahan hingga kami berada di universitas masing-masing, jauh satu sama lain, tidak lagi bertemu atau berbicara dan bersenda gurau.
Iya aku melupakannya, sesaat.
Aku menjalani hidupku tanpanya dengan tanpa masalah, tapi dia tidak pernah benar-benar menghilang, bahkan setelah hampir tiga tahun berlalu aku masih mengingatnya. Merindukannya tepatnya!
Tanpa ada sesuatu yang dikorbankan selain waktu untuk memikirkannya, tanpa harus aku beriba pada diriku sendiri, tanpa aku harus mengorbankan hidupku dan melukai diriku, aku puas dengan kehadirannya ingatanku tentangnya. Apakah dia akan hadir secara nyata atau tidak, itu tidak penting bagiku.
Dan kini aku mulai merubah pandanganku tentang yang dulu kusangkan 'cinta monyet' itu.
Aku tidak lagi mencarinya, atau cemburu padanya, atau memaksa dia hadir, atau mengawasinya, atau mengancamnya, atau mengganggunya, atau membencinya, tidak ada hal dalam pikiranku selain rindu. Kukira itu karena aku 'tidak terlalu mencintainya'
Tapi sekarang, mungkin itu karena 'begitulah seharusnya mencintainya'
Cinta itu bukanlah sesuatu yang membuat kita menangis, membuat kita terluka, membuat kita bertanya.
Cinta hanyalah sebuah kambing hitam, dan ketika aku telah menerima cinta itu apa adanya, tidak ada yang perlu dikorbankan.
Aku merindukan dia
Aku tidak lagi berharap bisa bersama dia, tidak lagi ingin dia jadi pacarku, tidak lagi cemburu seperti dulu. Namun, dia akan selalu kuingat dan dia akan selalu punya tempat dihatiku.
Lalu, saat kukira aku mencintai sesuatu dengan sangat besar aku berusaha menggapainya habis-habisan, menginginkannya melebihi yang seharusnya aku dapatkan lalu aku lupa bahwa aku mencintainya dan dikepalaku yang ada hanya aku menginginkannya.
Aku benci keadaan semacam itu tapi aku bisa menilai ......
Yang mana yang aku cintai, dan yang aku inginkan ....
Cinta selalu jadi kambing hitam kita bersedih, kita terluka, kita bertanya padahal cinta tidak begitu
Sedih datang dari egois, luka datang dari kekerasan hati, dan tanya datang dari keinginan menang sendiri, tidak ada cinta disana. Memang disaat saling mencintai, manusiawi itu terjadi, tapi cinta bukanlah biangnya.
Aku mengatakan karena aku tahu, aku merasakannya, aku merindukannya tanpa sedih, terluka, dan bertanya.
Dan akupun bisa menilai, yang mana CINTA, dan yang mana INGIN.
Tapi aku bingung, kenapa judulnya harus Personal Past? Ah hanya sebuah reaksi saat tadi aku merindukan dia, dia masa SMA ku yang puny senyum sangat manis, dan membuatku selalu kesal. :)
Kamis, Januari 26, 2012
Friends
Setiap orang berhak memilih untuk menjalani hidupnya seperti apapun.
Hal itu terus aja bunyi di telinga gue sejak gue nulis "I'm Judging". Ada sedikit perasaan bersalah ketika gue mencecar orang-orang itu. Gue sebenarnya gak merasa paling benar, cuma yahhh itu, gue kebawa sebel sama sifat semacam itu. Tapi kayak yang gue tulis diawal
Setiap orang berhak memilih untuk menjalani hidupnya seperti apapun.
Gue sih sebenarnya gak terlalu masalah, cuma let's us mind about it for a while, ketika pilihan kita melibatkan orang lain dan mungkin merugikan, itu akan jadi sedikit masalah. Tapi, tanpa adanya orang-orang ini, kebaikan, prestasi, kejujuran, diam, semua itu jadi gak penting. Pada suatu masa mereka adalah temen-temen gue, dan seperti apapun sifat mereka (yang udah gue nyerah buat menyadarkan) mereka tetep temen-temen gue. Seperti mereka yang menerima gue (yang sok dewasa, sok intelek, suka mencecar, suka berkomentar, kadang sinis, lebih sering sarkas, keberuntungan terbatas, egois, bla bla bla) apa adanya, gue juga mesti terima mereka apa adanya.
Hanya saja kadang, gue ngerasa usaha gue buat menerima gak dihargai. Ah, kembali, itu kan pilihan.
Ketika gue udah berusaha dan dapat sambutan, gue respect, sekecil apapun sambutan itu. Namun, ketika gue berusaha dan orang disana sok penting, maaf maaf aja sih ya...Masih banyak yang mau nerima gue apa adanya.
Kadang perlu waktu bertahun-tahun dan perubahan pikiran yang berpuluh-puluh kali sampai kita yakin seseorang memiliki sifat seperti yang terlihat. Kita juga gak akan tahu apakah yang kita lihat dan nilai adalah sifat yang sebenarnya atau sifat yang mereka ingin kita lihat. Banyak peristiwa bersama akan membantu kita menilai, makanya kadang kita membutuhkan hati yang lebih besar untuk menerima apa adanya 'justru' teman dekat kita daripada teman biasa yang hanya sekedar kenal.
Temen deket sendiri jujur gue gak terlalu punya banyak, bukan karena gue tertutup atau gak ada yang mau temenan sama gue (mungkin alasan kedua sedikit benar, soalnya kadang-kadang gue rada angker -_-") tapi ya emang gak jodoh. Bukan cuma pasangan hidup yang harus berjodoh, sahabat juga kalo ga jodoh ga bakal jadi sahabat deket. Sahabat tu kayak senista apapun kalian satu sama lain tetep terima aja. Gue punya temen sejak SMA yang sampai sekarang kita masih deket, gue inget banget ketika masa nista gue dulu, gue curhat tentang "gue" ke dia, dan dia dengan ekspresi wajahnya yang kurang setuju dengan pilihan gue yang mau aja dijadiian 'simpenan' tetep bilang "Yah, itu pilihan lo. Tapi .... bla bla bla" Dia nasehatin gue habis-habisan yang dulu cuma kedengaran kayak kicauan beo dan sekarang rasanya kayak doa yang baik. Makasih teman :))
Gue juga punya temen, kita satu SMA tapi pas kuliah baru deket, dia sering curhat ke gue dan gue juga tapi kita satu sama lain gak pernah mengharapkan solusi atas curhatan kita, kita cuma lega ketika temen deket kita tahu dengan masalah kita, rasanya seperti berbagi. Dia emosional, depresif kadang-kadang, suka ngamuk, kekanak-kanakan, tertutup, kadang egois, tapi pada satu titik gue tahu dia punya posisi sendiri dalam lingkaran pertemanan gue. Meski ada satu fase dimana gue akan sibuk dengan temen dekat gue yang lain begitu pula dia, tapi pada akhirnya ada satu waktu dimana kami saling mencari dan bersimbiosis mutualisme dalam persahabatan itu.Gak ada yang merasa dirugikan atau dimanfaatkan, That what friends should be....
Gue punya satu lagi temen, dia sama gue tu kayak orang kembar siam otak, kita punya isi pikiran sama tentang seseorang, kadang ketika gue sama dia ngomongin seseorang (tetep ember) dan dia bingung mengungkapkan istilah yang pas tentang orang itu dihatinya, maka dengan gaibnya gue bisa melanjutkan kata-katanya dan dia akan tersenyum "Nah pas banget" ucapnya, lalu kita ketawa ketiwi kayak beo ngerumpi pagi-pagi. Dia orangnya ngambekan, pemarah, moody, gampang bete, kalo udah sifat itu keluar susah banget diajak ngobrol, tapi gue gak pernah ngerasa sifat itu menyusahkan. Simpel aja, ketika saat itu datang gue cuma nunggu saat yang tepat buat nyapa dia, menggodanya, dan mengorek alasan dibalik itu, dan voila ... Setiap kita curhat ke sahabat kita, kita gak akan mendapatkan solusi dari masalah itu, tapi ada satu kelegaan yang membuat kita ngerasa gak sendirian menghadapi masalah itu. Sahabat terbaik memang adalah pendengar terbaik dan penerima terbaik. :)
Selain mereka, guejuga pernah temenan sama orang-orang yang pada awalnya deket tapi mungkun faktor 'ga jodoh' jadinya gak bisa diterusin. Sedih sih, ketika kita nemuin persahabatan yang suitable banget di hati tapi tiba-tiba sesuatu yang gak seharusnya ganggu malah jadi ganggu, lebih sebel lagi ketika lama berteman dan pada akhirnya kita ditinggal setelah gak bisa bersimbiosis lagi, teman parasit akan selalu ada didunia ini, dan jenis inilah yang bikin gue kadang emosi buat judging...
Tapi ya gitulah .....'
Tiap orang berhak memilih seperti apapun dia menjalani hidupnya dan dia akan mendapatkan imbalan setimpal dari pilihannya ..
Selamat liburan teman-teman. Mari berubah menjadi lebih baik. Mari bersahabat. Mari saling menerima apa adanya. Mari berhenti sok penting. Mari menjadi menyebalkan yang manis. Mari berhenti sok laku dan sok dibutuhin. Selamat liburan dan selamat memilih hidup yang lebih baik.
Waktunya telah tiba ketika aku tahu untuk apa aku hidup, untuk apa kita berteman, dan untuk apa kita saling mengenal satu sama lain. Untuk apa kamu menyakiti aku, dan untuk apa kamu pergi. Waktu itu telah lewat ketika aku tahu kenapa semua harus terjadi seperti itu. Dan kamu akhirnya juga akan tahu untuk apa aku ada didunia ini dan ada diduniamu. Kamu akan tahu dan akan benar-benar mengingatnya seumur hidupmu. The one that should be good will be good, the one that should be pieces will be breaking in the little of pieces. And I absolutely know what you should to be and what I should to do to make it be ...
I'm good at making someone being into pieces ....
Hal itu terus aja bunyi di telinga gue sejak gue nulis "I'm Judging". Ada sedikit perasaan bersalah ketika gue mencecar orang-orang itu. Gue sebenarnya gak merasa paling benar, cuma yahhh itu, gue kebawa sebel sama sifat semacam itu. Tapi kayak yang gue tulis diawal
Setiap orang berhak memilih untuk menjalani hidupnya seperti apapun.
Gue sih sebenarnya gak terlalu masalah, cuma let's us mind about it for a while, ketika pilihan kita melibatkan orang lain dan mungkin merugikan, itu akan jadi sedikit masalah. Tapi, tanpa adanya orang-orang ini, kebaikan, prestasi, kejujuran, diam, semua itu jadi gak penting. Pada suatu masa mereka adalah temen-temen gue, dan seperti apapun sifat mereka (yang udah gue nyerah buat menyadarkan) mereka tetep temen-temen gue. Seperti mereka yang menerima gue (yang sok dewasa, sok intelek, suka mencecar, suka berkomentar, kadang sinis, lebih sering sarkas, keberuntungan terbatas, egois, bla bla bla) apa adanya, gue juga mesti terima mereka apa adanya.
Hanya saja kadang, gue ngerasa usaha gue buat menerima gak dihargai. Ah, kembali, itu kan pilihan.
Ketika gue udah berusaha dan dapat sambutan, gue respect, sekecil apapun sambutan itu. Namun, ketika gue berusaha dan orang disana sok penting, maaf maaf aja sih ya...Masih banyak yang mau nerima gue apa adanya.
Kadang perlu waktu bertahun-tahun dan perubahan pikiran yang berpuluh-puluh kali sampai kita yakin seseorang memiliki sifat seperti yang terlihat. Kita juga gak akan tahu apakah yang kita lihat dan nilai adalah sifat yang sebenarnya atau sifat yang mereka ingin kita lihat. Banyak peristiwa bersama akan membantu kita menilai, makanya kadang kita membutuhkan hati yang lebih besar untuk menerima apa adanya 'justru' teman dekat kita daripada teman biasa yang hanya sekedar kenal.
Temen deket sendiri jujur gue gak terlalu punya banyak, bukan karena gue tertutup atau gak ada yang mau temenan sama gue (mungkin alasan kedua sedikit benar, soalnya kadang-kadang gue rada angker -_-") tapi ya emang gak jodoh. Bukan cuma pasangan hidup yang harus berjodoh, sahabat juga kalo ga jodoh ga bakal jadi sahabat deket. Sahabat tu kayak senista apapun kalian satu sama lain tetep terima aja. Gue punya temen sejak SMA yang sampai sekarang kita masih deket, gue inget banget ketika masa nista gue dulu, gue curhat tentang "gue" ke dia, dan dia dengan ekspresi wajahnya yang kurang setuju dengan pilihan gue yang mau aja dijadiian 'simpenan' tetep bilang "Yah, itu pilihan lo. Tapi .... bla bla bla" Dia nasehatin gue habis-habisan yang dulu cuma kedengaran kayak kicauan beo dan sekarang rasanya kayak doa yang baik. Makasih teman :))
Gue juga punya temen, kita satu SMA tapi pas kuliah baru deket, dia sering curhat ke gue dan gue juga tapi kita satu sama lain gak pernah mengharapkan solusi atas curhatan kita, kita cuma lega ketika temen deket kita tahu dengan masalah kita, rasanya seperti berbagi. Dia emosional, depresif kadang-kadang, suka ngamuk, kekanak-kanakan, tertutup, kadang egois, tapi pada satu titik gue tahu dia punya posisi sendiri dalam lingkaran pertemanan gue. Meski ada satu fase dimana gue akan sibuk dengan temen dekat gue yang lain begitu pula dia, tapi pada akhirnya ada satu waktu dimana kami saling mencari dan bersimbiosis mutualisme dalam persahabatan itu.Gak ada yang merasa dirugikan atau dimanfaatkan, That what friends should be....
Gue punya satu lagi temen, dia sama gue tu kayak orang kembar siam otak, kita punya isi pikiran sama tentang seseorang, kadang ketika gue sama dia ngomongin seseorang (tetep ember) dan dia bingung mengungkapkan istilah yang pas tentang orang itu dihatinya, maka dengan gaibnya gue bisa melanjutkan kata-katanya dan dia akan tersenyum "Nah pas banget" ucapnya, lalu kita ketawa ketiwi kayak beo ngerumpi pagi-pagi. Dia orangnya ngambekan, pemarah, moody, gampang bete, kalo udah sifat itu keluar susah banget diajak ngobrol, tapi gue gak pernah ngerasa sifat itu menyusahkan. Simpel aja, ketika saat itu datang gue cuma nunggu saat yang tepat buat nyapa dia, menggodanya, dan mengorek alasan dibalik itu, dan voila ... Setiap kita curhat ke sahabat kita, kita gak akan mendapatkan solusi dari masalah itu, tapi ada satu kelegaan yang membuat kita ngerasa gak sendirian menghadapi masalah itu. Sahabat terbaik memang adalah pendengar terbaik dan penerima terbaik. :)
Selain mereka, guejuga pernah temenan sama orang-orang yang pada awalnya deket tapi mungkun faktor 'ga jodoh' jadinya gak bisa diterusin. Sedih sih, ketika kita nemuin persahabatan yang suitable banget di hati tapi tiba-tiba sesuatu yang gak seharusnya ganggu malah jadi ganggu, lebih sebel lagi ketika lama berteman dan pada akhirnya kita ditinggal setelah gak bisa bersimbiosis lagi, teman parasit akan selalu ada didunia ini, dan jenis inilah yang bikin gue kadang emosi buat judging...
Tapi ya gitulah .....'
Tiap orang berhak memilih seperti apapun dia menjalani hidupnya dan dia akan mendapatkan imbalan setimpal dari pilihannya ..
Selamat liburan teman-teman. Mari berubah menjadi lebih baik. Mari bersahabat. Mari saling menerima apa adanya. Mari berhenti sok penting. Mari menjadi menyebalkan yang manis. Mari berhenti sok laku dan sok dibutuhin. Selamat liburan dan selamat memilih hidup yang lebih baik.
Waktunya telah tiba ketika aku tahu untuk apa aku hidup, untuk apa kita berteman, dan untuk apa kita saling mengenal satu sama lain. Untuk apa kamu menyakiti aku, dan untuk apa kamu pergi. Waktu itu telah lewat ketika aku tahu kenapa semua harus terjadi seperti itu. Dan kamu akhirnya juga akan tahu untuk apa aku ada didunia ini dan ada diduniamu. Kamu akan tahu dan akan benar-benar mengingatnya seumur hidupmu. The one that should be good will be good, the one that should be pieces will be breaking in the little of pieces. And I absolutely know what you should to be and what I should to do to make it be ...
I'm good at making someone being into pieces ....
Senin, Januari 23, 2012
Otak Daur Ulang
Gue punya kebiasaan kalo lagi punya banyak waktu luang, gue bikin sesuatu yang baru yang gue gak pernah bikin sebelumnya.
Dulu-dulu yang paling sering adalah eksperimen masak. Kue
khususnya. Sekarang gue mulai suka bikin-bikin pernak-pernik dari barang-barang
lama, kancing baju, gelang sama tasbih yang udah putus, kain sisa, flanel, dan
teman-temannya.
Liburan ini gue ngebet banget bikinnya. Jadilah gue mulai
punya otak daur ulang, semua benda bahkan sampe kotak susu bubuk sayang banget
gue buang ketika gua mikir, “ini bisa jadi sesuatu” sambil menunjukan ekspresi
orang pinter padahal yang dalam kepala adalah ‘bingung’
Seru juga sih, semuanya jadi murah meriah, bayangin
barang-barang kayak gelang, kalung, bros, yang gue bikin itu kalo dipasaran
harganya mahal gitu, belasan sampe puluhan ribu gitu :/
Setelah ini gue juga mau belajar merajut, make mesin jait
(gue gak pernah pake mesin jait, gue selalu jait pake tangan -_-), mantepin
nyetir, dan masak kue tetep harus.
Liburan gue pasti bakalan seru banget ^^
I'M JUDGING
I’m Judging!
Ntar, liat tanggal posting terakhir. Dan “Oh!
Akhir-akhir ini gue males nulis kayaknya, tapi sebenarnya
ada sih tulisan-tulisan yang mau diposting tapi batal pas saat terakhir karena
gue pikir isinya gak terlalu penting dan lebih ke –ababil- eh ....
Jadi sekarang liburan. Entah gue mesti senang atau sedih.
Tapi gue emang sempet elus dada liat nilai, susah emang kalo jadi mahasiswa
kedokteran dengan sistem blok yang satu blok tujuh atau enam SKS, kalo meleset
satu blok aja ... TAMAT! Tapi dibandingkan masa-masa nista semester lalu,
semester ini lebih baik. IP 3 gue balik, dan gue gak terlalu penyakitan lagi
lah..Fyuh! Masa nista gue sudah berlalu, dan kalo dipikir, gue beruntung dapet
segitu, meskipun gak memuaskan, tapi itu ngasih gue motivasi supaya semester
depan mesti naik lagi. Walaupun ada orang-orang diatas gue yang (nilainya) yang
emang layak dapet segitu dn gak layak (Red: gak layak) dapet segitu.
Kategori pertama gue gak masalah, toh hidup kan dari usaha
masing-masing J
Kategori kedua, gue masalah banget. Oke gue ngaku, gue
judging orang, belum tentu orang-orang yang gak layak itu beneran gak layak,
tapi kita gak bisa munafik kan. Emang sifat orang gak bisa dinilai dari cover
semata, tapi kalo setelah dua setengah tahun berinteraksi dan memang cover
mengatakan hal yang benar, salah gue judging?
Gue gak sebaik orang-orang itu memang, tapi ... gue benci
aja sama orang yang gak menghargai dan mensyukuri apa yang dikasih Tuhan.
Tuhan ngasih kita hal-hal yang patut kita syukuri. Tuhan
ngasih kesempatan masuk fakultas, masuk dan jalanilah. Tuhan ngasih kesempatan
kita tetap kuliah, maka kuliah lah. Tuhan ngasih kita kecerdasan yang ‘gift’
(a.k.a kecerdasan yang kita gak perlu usaha keras buat pinter, contoh pelajaran
susah yang lain pusing, dia cuma sekali baca bisa) yang berbagilah. Tuhan
ngasih rezeki ke orang tua kita untuk menghidupi kita, manfaatkanlah untuk
menghidupi diri kita sebaik mungkin.
Masuk fakultas trus pasti jadi sarjana? Enggak
Punya kesempatan kuliah, trus boleh gak masuk kuliah karena
hal sepele? Enggak lah
Cerdas, trus jadi meremehkan ilmu dan gak masuk kuliah? Elo
bisa selamanya jadi pinter?, mikir aja!
Punya banyak duit di rekening, trus bisa seenaknya foya-foya
menafkahi orang lain (red : Pacar)? Suruh aja bokap lo yang pacaran sama pacar
lo!
Dan masih mengandalkan keberuntungan? Gue udah lama gak
bergantung pada keberuntungan lagi
Keberuntungan mungkin membawa kita pada apa yang kita mau,
tapi tidak menjadikan kita apa yang seharusnya kita dapat di masa depan, itu
adalah usaha kita sendiri. Mendapatkan peta menuju istana adalah keberuntungan,
tetapi ketika kita sampai ke istana itu bukan keberuntungan, itu karena kita
berjalan dengan kaki kita sendiri.
Gak bertujuan buat nyentil sih, tapi teman-teman yang
berusaha keras dan mendapatkan tidak setimpal juga tahu, kalo orang-orang
semacam ini adalah sampah dalam sebuah kumpulan, walaupun ketidaksetimpalan itu
bukan salah siapa-siapa tapi diri kita sendiri. Tapi sebel aja gitu kalo lihat
ada sampah bawaannya pengen mendaur ulang atau kalo udah parah, masukin tong
sampah.
Mungkin istilah sampah terlalu kasar, karena kadang gue
sendiri ngerasa sampah banget ketika gue gagal, tapi paling gak gue gak jadi
sampah versi kayak ‘gue dapet tiket beasiswa ke Australia dan gue pengumuman ke
semua orang’ atau gue punya pacar ganteng banget lebih ganteng dari Leonardo D’Caprio
waktu masih unyuuu banget di Catch Me If You Can, trus gue tiap hari jalan-jalan
ke biskop bareng dia disaat gedung kuliah yang ada dibelakang mall bioskop itu
sedang kuliah serius sambil gue mikir, ah gak diabsen gini, baca slide juga
ngerti’
Hey orang-orang pintar! Pengen rasanya gue ngeludah!!! Gue
mikir, gimana nyokap bokap gue reaksinya kalo tau kerjaan gue pas kuliah kayak
gitu. Miris!
Kemarin, waktu mau balik kerumah (untuk liburan) gue
nyempetin beli pisang karamel favorit gue, gua sering beli buat teman begadang
bikin laporan atau belajar ujian. Gue beli buat gue bawa kerumah soalnya adek
gue juga mupeng banget sama tu makanan manis...
Gue mau cerita penjualnya. Gak lah! Penjualnya bukan tipe
cowo di FTV yang sering jualan bakso atau bawa odong-odong pake baju butut tapi
muka ningrat trus naksir, trus pacaran, tiba-tiba pas setahunan duduk deket
gerobak, tiba-tiba mobil jazz stop dan dia bilang “Nak, pulanglah!”
“Oh dia ternyata anak supir!” gue geleng-geleng kepala.
Ini pedagangnya cowok, biasa, berantakan, pake anting-anting
gitu, sangar, kayak orang gak berpendidikan, baju kotor kayak gak dicuci. Pas
didatengin beli pisang karamel, bau juga enggak, sangar juga enggak, galak
enggak, genit atau jelalatan enggak, bikin kue nya bersih, dan ngomongnya polos
banget pake bahasa jawa-jawa gitu. Mereka selalu senyum-senyum dan gue seneng
ngajak mereka ngobrol.
Disitu gue tau kalo judge by cover itu salah! Gue gak
judging mereka, gue tahu sifat mereka setelah sering beli kue kesana dan
ngobrol. Gue tahu covernya beda sama isinya. Gue kagum sama mereka, mereka
mungkin usianya gak jauh diatas gue tapi mereka menghabiskan waktu mereka buat
bantu keluarga mereka cari duit, mereka gak malu, gue yang malu kadang-kadang
karena masa depan gue gak pasti dan kerjaan gue sekarang cuma habisin duit
ortu. Mereka adalah orang-orang yang pantas dihargai.
Kedua, gue punya temen, kalem, baik, alim, pinter, ramah, suka
nolong, tapi satu masalah yang muncul seiring waktu, dia terlalu sadar diri
akan prestasinya. As guess... Sombongnya gak ketulungan. Minta ampun sana!
Menurut gue prestasi gue gak penting orang tau, yang penting gue bersyukur dan
orang tua gue ngakuin prestasi gue, itu lebih dari cukup. Entah apakah ada niat
terselubung dari si dia ini yang suka menceritakan prestasi-prestasinya yang ‘Heloooo
gueeee tauuuuu ko gak usah elooo ulang-ulang....”. Tau lah gue elo cerdas,
juara ini itu, asdos disana sini, tapi please!!! Gak mikir ya waktu ngomong.
Elo kayak ngomong “Gue kemaren dapet duit setriliyun abis menang panco gitu”
dan elo ngomong sama orang-orang yang elo kalahin panco tanpa muka bersalah.
Runtuh langit dikepala lo kalo elo terus begitu....
Disitu gue jadi makin tahu kalo judging orang memerlukan
tahap, tahap mengenal, dan gue tau sifatnya begitu setelah beberapa bulan
bahkan beberapa tahun kenal. Kagum gue ke elo END!
Ketiga, entah tipe apa ini. Gue gak nyebutin ketemu dimana,
tapi ini tipikal yang banyak banget berhamburan di mana-mana. Gue perlu waktu
lama banget untuk mendeteksi orang tipe ini.
Tipikal orang yang ‘sok kuat’ dan bikin lawannya kagum.
Orang yang ‘sok galau’ dan bikin lawannya terharu. Orang yang ‘mengumbar
penderitaan’ dan bikin lawannya iba dan menjadi sahabat yang bisa ada kapanpun.
Tipe orang yang ‘oh –so-intelligence’ dan tahu segalanya. Tipe orang yang ‘gue
sama elo sama’ dan membuat lawannya seperti ketemu saudara beda bapak ibu. Tipe
orang yang ‘sok cuek’ ‘sok beda’ dan catat ‘SOK TERISOLASI’.
Ini tipe orang yang sebenarnya orang gak terlalu perduliin,
orang gak terlalu menyadari keberadaannya, orang gak punya waktu buat mengagumi
atau membencinya, bahkan untuk sekedar membicarakan skandalnya, tipe orang yang
kenal dan dikenal orang banyak tapi gak bener-bener punya temen dalam waktu
lama. Intinya gak ada yang bener-bener mau jadi temennya tapi juga gak membenci
secara terang-terangan.
Gue paling males ngomongin orang macam gini, yakin aja,
orang kayak gini ADA disekitar lo, hati-hati kalo pas bangun tidur lo tiba-tiba
ada di lubang gelap sendirian, mungkin lo baru kejebak orang tipe ini.
Inget-inget deh kemarin-kemarin apa lo sempet ketemu atau ngobrol dama orang
yang Oh-So-Different trus elo ditinggal kayak gak pernah kenal. Peduli amat
sama temen model begini, cuma sebel aja, waktu terbuang buat dengerin ocehannya
yang akhirnya sekarang gue mikir “Itu nyata apa karangan sih?” Gelenggg kepalaa
lagiiii....
Terakhir, tipe orang yang gue salah judging waktu pertama
ketemu dan akhirnya keliatan setelah lama berinteraksi. Mungkin lawan dari tipe
penjual pisang karamel.
Ni orang mukanya intelek banget, ngomongnya tinggi,
berpendidikan, anak kuliahan, suka baca buku, gayanya kaya kenal banyak orang
penting (jadi yang gak kenal sama dia dia anggap gak penting gitu), trus
cerdas, eksis sana sini, asdos sana sini, dia gak peduli komentar orang tapi
dia peduli sama komentar orang-orang yang berpengaruh dihidupnya (ortu, pacar,
dosen pembimbing, dosen lain dia gak peduli, dosen kenalan bapaknya, gubernur
kenalan bapaknya, pengusaha kenalan bapaknya, pokoknya semua kenalan bapaknya),
necis, rapi, modis, rapi, sok penting (dan pintar mempoosisikan diri menjadi
penting), selalu mengandalkan keberuntungan. Pokoknya ini tipe orang yang semua
orang ‘sirikin’ tapi juga tipe yang semua orang ‘pengenin’. Kenal orang begini
dapet banyak ilmu sih, mereka tahu hal-hal yang kita gak tahu, pengetahuannya
lebih lus dari orang pada umumnya, dan mereka pinter ngomong sehingga kita
betah ngobrol sama mereka. Pembawaannya juga cerdas. Cuma pas lama-lama kenal
bakal muncul sifat buruk yang ‘tergantung kedekatan elo’ bakal merugikan elo
atau cuma bikin lo nausea-vomitting merhatiin -_-“ .
Elo pikin deh,, sekarang kan kita kuliah. Nah orang tipe ini
saking sok pentingnya dia bakal gak kuliah kalo misalnya mata kuliah itu
baginya gak penting, nyebelinnya biasanya pas ujian nilai mereka tetep tinggi,
yah Tuhan tahu kan siapa yang gak bersyukur. Contoh lainnya, elo laper-laper
ngumpulin duit nabung gara-gara mau beli hape baru tapi gak tega minta duit,
dia tetep foya-foya aja gitu nafakahin dirinya, plus nafkahin anak orang lain
aka pacar. Heloooo masih pacar gitu, hiks... Kalo elo mesti nafkahin make duit
bokap lo, suruh aja dia kawin sama bokap lo, jadi bini muda... errrr... Hidup
nyampah,bilang ma ortu kuliah, di kota orang kerjaannya –sok-males
kuliah-nyombong-buang duit-pacaran- dan berharap bakal gitu terus sampai
dewasa. Mungkin sih kejadian, tapi yah ..... Mati cepet kali ntar ni orang
:-/...
Kalo gue ingat-ingat kayak gitu, gue mikir gue jadi apppaaaa
ntar, trus gue sedih, gu inget ortu gue, dan gue ngerasa banget gue sayang sama
keluarga gue ....
Mungkin, pas baca ini mpe kelar bakalan ada yang tertohok,
maaf gue juga pernah ada dalam fase ini, gue beruntung dan gue gak bersyukur,
gue males, gue foya-foya, gue sombong, tapi gue mencoba liat lagi dengan teliti
memakai cermin yang merefleksikan wujud gue lebih akurat, gak buram.
Mungkin, pas baca ini setengah aja, ada yang bakal males dan
bilang, “Ahhh curhat” iya emang, gue cerita yang pernah gue alamin, gue berniat
berbagi bukan mempengaruhi atau menyampah, gue cuma ngasih tahu, kali aja orang
disekitar kita kayak gitu, cobalah untuk merubah atau memberi tahu, kalo gak
bisa jagalah jarak dan siap-siap. Jangan berekspektasi terlalu baik sama dunia,
dan jangan berekspektasi terlalu buruk. Gak ada gagasan untuk menghina atau
membenci. Mari kita introspeksi diri dan perbaiki diri kita. Gue juga gak bakal
berani bilang hal yang gue gak pernah alamin.
Gue gak punya hak bilang coklat itu gak enak cuma karena
melihat warnanya yang hitam, sebelum merasakan gimana manisnya coklat itu
sebenarnya.
Keberuntungan memang memberikan kita apa yang kita mau tapi
tidak membawa kita pada masa depan. J
Langganan:
Postingan (Atom)