KETIKA MATAHARI TERBIT
Dan ketika matahari terbit, aku akan menjadi seseorang yang baru. Orang yang lebih baik dari kemarin.
*
Tegukan air kelima
Pukul dua belas malam
Jadi hari ini begadang lagi…. Ouh….
Baru satu semester dan aku merasa sangat ‘lelah’. Memang benar, tak satupun yang bisa disalahkan, ini adalah pilihanku dan aku harus mempertanggungjawabkannya. Tapi wajar kan jika aku merasa takut.
*
Ponselku bergetar hebat diatas meja, mengejutkanku yang agak mengantuk dihadapan sebuah buku tebal yang tak pernah bisa seratus persen kumengerti, sebel juga sih, niatnya mau nyuekin tapi pas liat namanya yang tercetak asri di layarnya ‘ayah’, tak perlu menunggu waktu sedetik untuk mengangkatnya.
“Iya yah”
“Gimana keadaan kamu disana?”
“Baik, ada apa kok tumben nelpon?”
“Iya, nih adik kamu pengen ngobrol katanya, ayah juga mau ngasih tau kalo mama sakit”
“Hah” mataku hampir meloncat, dadaku berdegup dengan kencang ‘Sakit?’ gumamku dalam hati.
“Sakit apa yah?” tanyaku
“Kolesterolnya naik lagi. Nanti kalo kamu gak sibuk pulang ya!” bujuk ayah dengan lembut lalu menyerahkan ponsel itu ke tangan adikku yang berumur enam tahun. Aku mendengar suara yang begitu lembut dan bahagia diseberang sana. Oh aku sangat merindukan mereka. Air mataku tiba-tiba ingin menetes.
(segalanya bukan tentang jarak, tapi tentang rasa rindu… pernahkah kau merasakan rasa rindu pada orang-orang yang bahkan bisa kau jumpai hanya dengan lama perjalanan satu jam, tapi sekali lagi ini bukan masalah jarak)
*
Aku tahu aku tak cocok berada disana, tak pantas. Aku selalu gagal dalam setiap langkahnya, aku selalu tak berkenan, aku selalu tak bisa mendapatkan titik terang. Hanya rasa marah dan bertanya-tanya. Kenapa harus disini sih, tak adakah tempat lain. Kukira gedung fakultas sastra Indonesia yang berwarna hijau itulah nanti yang akan aku geluti ternyata aku berkutat di gedung sebelahnya. Gedung bercat putih yang disibukan oleh terlalu banyak kelelahan, dan rasa bosan (entah apakah hanya aku yang merasakannya) yang sangat tinggi levelnya, fakultas kedokteran. Konyol sekali. Hanya karena ketika pertama kali aku ditanya oleh guruku di kelas satu SD tentang cita-citaku dan aku menjawab dokter, bukan berarti dua belas tahun kemudian aku harus berada disini dengan menopang terlalu banyak rasa menyesal dan rasa gagal.
‘Please…. Aku merasa iri pada mereka’ jika saja seseorang yang ajaib bisa mendengar kata hatiku yang bosan kuteriakan dan mau membantuku untuk terbebas, tapi tidak mungkin. Semua orang punya masalah sendiri dan bodoh jika mereka mengurusi masalahku, sesuatu yang sebenarnya bagi orang lain bukanlah masalah. Aku masih ingat saat pendaftaran tes saat itu, sebuah antrian panjang. Akupun memutar memori dihari saat tes yang tidak bersemangat itu kujalani oleh karena bujukan ayahku, guruku, dan semuanya.
Wajah-wajah hepi itu kulihat sangat enteng, ya tentu saja mereka ingin dan semua orang ingin menjadi mahasiswa di fakultas ini kecuali aku tentu saja. Bermodal ceramah ayahku yang mengatakan menjadi penulis bukanlah cita-cita aku akhirnya ikut juga tes itu. Dengan tanpa mengurangi rasa hormat, aku mencoba untuk tidak terlalu melakukannya dengan sangat baik, namun rasa tidak tega itu tiba-tiba muncul. Aku jalani tes itu dengan sangat tidak menyenangkan, langkah awal aku sudah ketinggalan dengan teman-temanku yang lain. Mereka menjalani semua itu dengan semua rasa bangga, semangat, senang, dan harap yang mereka punya. Tapi sepertinya Tuhan senang bermain dengan gaya yang khas, dia membuatku berhasil tanpa membalik hatiku pada rasa ingin yang kuharap ada dihatiku. Aku lulus, bodoh sekali kan? Aku yang tak bersemangat, terpaksa dan tak punya kepandaian apapun ternyata namaku tertulis dengan sangat tebal di kertas pengumuman, membuat sebuah berita gembira untuk mereka. Aku tak mengerti, benar-benar tak mengerti.
*Itu adalah takdir*
Jujur saja aku merasa iri melihat mereka, pintar, cerdas, dikagumi, luar biasa, ingin rasanya. Tapi kapan? Tak pernah kudapat kesempatan itu. Mataku mengalihkan perhatian pada sebuah buku catatan kecil, punya Wira pikirku lirih. Aku menelponnya.
“Wir, malas banget nih” ucapku padanya. Langsung kudengar ceramahan yang gak penting. Aku menghela nafas panjang. Lelah.
*
Sabtu,
Cepatlah selesai pekikku dalam hati. Praktikum hari ini sangat melelahkan.
Praktikum saat weekend, sungguh konyol.
Aku melihat ke sudut ruangan, menatap Dewi yang dengan asik membolak-balik bukunya.
Sebuah tepukan bahu mengejutkanku.
“Jangan melamun” katanya.
“Aku mau pulang” jawabku
Dia hanya tertawa “Kau ini, tak berniat sekali sih”
Ah, sebenarnya bukan karena tak berniat. Aku sudah melakukan yang terbaik, aku mendengarkan, aku menyimak, namun tak satupun terekam baik di otakku. Aku tak bisa, ini bukan tempatku, hal itu selalu menggema lirih di otakku, lelah. Tapi tetap saja aliran hidup membawaku pada perjalanan itu
*Sekali lagi ini adalah takdir*
*
Akhirnya aku menginjakan kaki di rumah, senang rasanya. Ingin berteriak. Berlebihan. Tentu saja, meski aku senang tapi rasa sebal dan mungkin marah itu masih membuncah liar didadaku, rasa tak rela atas apa yang aku jalani sekarang. Tinggal sendirian, kuliah yang melelahkan dengan jurusan yang tidak aku inginkan, dan kegagalan yang selalu setia bergendong di punggungku. Tuhan!
“Bagaimana kuliahmu Lia?” Tanya ayah padaku. Aku hanya terdiam, hatiku berbisik perlahan “Pertanyaan bodoh kupikir, tapi mau bagaimana lagi” aku menyeret tas berisi buku setebal gaban itu ke lantai atas menuju kamar dengan perasaan lunglai. Ponselku bergetar lagi. Sebuah SMS menyusup.
Sebuah pengumuman masuk ke dalam otakku, sederet NIM yang berjejer itu membuatku penasaran. Satu persatu aku membacanya hingga sampai pada sebuah bilangan yang membuat mataku terbelalak.
“Oh my, aku sudah begadang. Aku sudah melakukan sesuai prosedur dan masih seperti ini hasilnya” pikiranku panas sekali, aku kira akan menemukan sesuatu yang bagus saat pulang, ternyata kabar tak enak satu persatu memberondong “inhal? Apa-apaan sih ini”
Ayah menatapku dengan penuh harap, aku tersenyum.
Sejak pertama kali aku menginjakan kaki, perasaan gagal selalu hinggap, apakah ini karena aku tidak sering bersyukur, entahlah.
Aku menatap ke arah kasur, aku melihat wajah lelah itu. Mama.
Aku mendekatinya perlahan “Mama sakit apa? Lia khawatir Ma”
“Tak apa, mama baik-baik saja”
Aku berdiam saja menatap matanya yang sayu, tangannya hangat. Dia terlihat lelah, apa yang terjadi padaku. Aku selalu mengeluh dengan kelelahanku, tapi dia mengatakan baik-baik saja ketika rasa lelah yang sebenarnya terukir di matanya yang hitam. Aku bisu.
*Mengertilah bahwa Tuhan selalu punya takdir bagi hambaNya*
*
Perlahan aku menuruni tangga untuk mengambil sebotol air mineral dari kulkas untuk mengobati rasa haus ini. Hari minggu yang panas.
Sekilas aku mendengar obrolan ayah dengan seseorang yang ternyata adalah Om Galih, kakak mama yang mungkin menjenguknya. Aku tersenyum sebentar, mencium tangan beliau dan kembali ke dapur setelah memastikan bahwa minuman telah tersaji diantara obrolan mereka.
Langkah pada anak tangga kelima, obrolan mereka masih terdengar jelas walaupun sudah tak terlihat di balik tikungan tangga tapi aku mendengarnya.
“Iya, calon dokter tuh” ucap ayah dengan bangga
Jleeb, sesuatu seperti menancap didadaku. Kakiku berat untuk terus melangkah dan memutuskan untuk mendengarkan.
“Wah hebat itu”
“Iya, aku selalu berharap dia berhasil dengan segera. Kami sudah tua dan tidak akan selamanya menopang mereka” bisik ayah lirih
Rasa marah meledak dalam hatiku.
Rasa marah pada diriku sendiri.
*
Seharian ini aku berniat tak pergi kemanapun. Mama memang sudah agak segar tapi aku tetap khawatir. Aku harus memastikan dia baik-baik saja paling tidak sampai besok pagi setelah aku pulang kembali ke kos.
“Sebenarnya mama sakit apa?”
“Tidak tahu, kata dokter kolesterol mama meningkat”
“Oh begitu”
“Kau tahu tentang itu”
“Kolesterol? Eumh sebenarnya, ya Lia sudah mempelajari itu sedikit dan…”
“Mungkin saja kau tahu cara yang baik agar mama cepat sembuh” ucap mama polos kepadaku
“Ya, baru satu semester ma, belum sampai kesitu sih belajarnya”
“Kalau begitu cepatlah jadi dokter, adikmu juga akhir-akhir ini sering sakit” sambungnya lagi dengan nada bercanda. Tapi aku merasakan hal itu sebagai sebuah pengharapan yang dalam. Aku teringat adikku yang baru keluar dari rumah sakit sehabis operasi usus buntu. Saat itu mereka juga menanyakan banyak hal padaku, menanyakan tentang appendic, tentang operasi usus buntu, aku tahu sedikit tapi tak memberi sebuah kepastian seperti yang mereka harapkan.
Aku diharapkan.
Ngeri sekali membayangkan hal itu mengingat sikap skeptisku selama ini terhadap kuliah yang aku jalani. Beginikah jalan yang ingin aku ambil.
Semua orang menganggap aku layak kecuali diriku sendiri
Apakah itu sebuah kewajaran, ataukah sebuah penyakit kepribadian, ataukah rasa takut yang tak mau diakui. Entahlah!
*
“Wir, sebenarnya apa yang salah” tanyaku lewat ponsel
“Tak ada yang salah kok”
“Tapi semua ini sangat mengacaukan pikiranku. Bukankah seharusnya hal semacam ini tak menjadi masalah besar”
“Tidak juga. Akupun bermasalah dengan itu” Wira menghela nafas panjang “Tak mudah tetap berada disini, aku terus mencoba mencari celah untuk tetap berdiri tanpa menyusahkan orang tuaku. Semuanya, tapi tetap saja sulit”
“Tapi kau tak pernah terlihat seperti itu”
“Aku selalu mencoba memahami, itu saja”
“Sudah kulakukan hal yang sama”
“Apakah kau melakukannya dengan lapang dada, apakah kau melakukannya dengan ikhlas, apakah kau melakukannya dengan penuh syukur, apakah kau…. Maaf bukan maksudku memojokanmu tapi, aku hanya mencoba membantu kau menemukan dirimu”
“Ya, aku mengerti. Aku sudah merasa melakukannya sesuai prosedur tapi tak kutemukan jalan terang. Sempat aku berpikir untuk melepaskannya, tapi ayahku, ibuku. Aku mencintai mereka dan mereka mencintai aku”
“Kau tahu kan, bersikap egois terhadap orang yang kita cintai itu menyakitkan”
“Ya”
“Kemarin itulah alasanku ingin melepaskan semua ini, mereka kelelahan membiayaiku, kau pikir aku tega. Tapi mereka dengan mantap bilang, ini takdir, jalanilah. Kita bersaksi atas Tuhan, dan Tuhan akan menyaksikan keaslian saksi kita” katanya
Aku diam mencoba menelaah apa yang diucapkan oleh Wira.
Ya aku memang selalu merasa gagal
Ya aku memang tak suka menjalani semua ini
Tapi, apakah aku sudah ikhlas menjalaninya
Apakah aku lapang dada? Apakah aku menjalaninya dengan keyakinan?
Aku sendiri ragu akan itu.
“Sesungguhnya kau tak pernah gagal Lia” ucapnya sehingga mengagetkanku.
“Apa yang membuatmu merasa gagal? Ketidakmampuanmu memahami kuliahmu, ketidakmampuanmu lulus dalam ujian. Tidak Lia, semua itu tidak selalu dalam ukuran ketidakberhasilan. Kau telah berhasil membuat ayahmu bangga, kau juga berhasil membuat ibumu berharap mulia padamu, kau berhasil membuat adik-adikmu senang memamerkan kakaknya dihadapan teman-temannya, itu adalah sebuah keberhasilan yang tak akan pernah ada mengulang, tak ada remedial. Kau tahu itu. Kau hanya perlu sabar, dan berusaha. Bukan berusaha dengan rasa marah, tapi berusaha dengan keyakinan”
*Sekarang tahu kan bahwa itu adalah sebuah takdir-dan takdir itu selalu baik dalam keyakinan yang kuat*
Aku memang bukan anak yang pintar. Bukan anak yang luar biasa. Juga bukan anak yang ambisius. Aku bukan saingan, aku bukan siapa-siapa. Tapi takdir membuatku memiliki keyakinan. Rasa tidak ingin itu pecah berkeping-keping, dan seperti apapun takdir mengombang-ambing, setelah badai berakhir matahari pasti terbit.
Dan setelah matahari terbit esok hari, aku akan menjadi seseorang yang baru, yang lebih baik. Seperti itu seterusnya, dan seharusnya…… tak boleh satupun protes…………..
*
Bukan cerita nyata dalam hidup saya tapi…..
Terinspirasi dari rasa banggaku pada kalian
Terinspirasi dari keyakinanku pada kalian, dan keyakinanku pada diriku sendiri untuk terus berusaha agar kita berjalan beriringan……..
Teman- ^^
Semangat……………………….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar