Minggu, Agustus 07, 2011

HUBUNGAN TANPA STATUS [Bagian 2]

Bagian 2 [Sister complex was dangerous]



Laki-laki yang baik untuk wanita yang baik dan wanita yang baik untuk laki-laki yang baik.
Aku percaya sama isi kitab suci, karenanya aku yakin kami memang tidak cocok

Siapa sih seorang Ladya, hanya seorang anak badung yang waktu SD suka cari gara-gara sama guru sampai mau pindah sekolah –pada akhirnya, ibu  guru yang keras kepala itulah yang pindah, jadi berurusan dengan siapa? Sudah mengerti kan?-, waktu SMP suka banget berantem sama senior cowok yang matanya jelalatan, waktu SMA suka ribut dikelas dan selalu berhasil lolos dengan wajah oh-so-diligent-girl. Aku selalu baik dimata orang lain, namun aku adalah yang paling mengenal diriku dan aku tahu aku tidak sebaik yang mereka kira.
Bukan karena aku berpakaian sopan aku tidak berani mengacungkan jari tengah dari punggung orang lain –bahkan didepan muka jika terlalu gusar-, bukan karena aku menutup aurat lantas aku beribadah dan bertaubat setiap menit dan jam ketika ada waktu, bukan karena aku selalu memuji seseorang lalu aku tidak tahu beberapa hinaan verbal yang membunuh karakter. Aku adalah musuh terhebat yang pernah dikenal, aku bisa jika aku mau. Aku hanya lebih suka ‘bersembunyi’ seperti laba-laba hitam diantara semak-semak.
Namanya Bayu, seorang anak rohis yang baik yang juga bukan kebetulan merasa nyaman bercurah hati kepadaku yang bahkan tidak mengerti apapun soal agama selain cara dan bacaan sembahyang. Entah apa daya tarikku sehingga dia –dan kupikir hampir semua teman laki-lakiku yang sudah punya pacar- merasa aman dan lega bercerita tentang pacarnya kepadaku, pacarnya yang diniatkannya untuk diputuskan karena alasan you-know-what (baca : rohis).
Dia setiap hari mengirimkan pesan pendek di jam-jam normal. Maksudku normal disini adalah sekitar pukul tiga pagi sampai subuh yang selalu aku isi dengan bergalau ria, menangis, menonton film, membuang waktu, menulis, dan ironisnya mungkin sehabis dia shalat tahajud –kita tidak pernah tahu-
Aku sudah tentu meladeni, toh dia temanku, maksudku siapapun dia dan apa statusnya, dia tetap temanku. Aku bukan penganut yang dia anut maksudku tentang you-know-what yang aku maksud sebelumnya, aku berusaha bersikap netral dan tidak mengompori, aku berusaha bijaksana ketika dia tidak bisa berbuat itu. Dia merasa lebih lega –terlihat dari matanya- dan dia telah memutuskan untuk semacam ‘break’ atau entahlah (jujur, menurutku alasannya tidak relevan karena mereka long distance dalam jarak yang tidak bisa ditempuh kendaraan bukan-pesawat, tapi sekali lagi who knows), dia memberikan semua foto kenangan mereka untuk aku simpan dan pasti aku jaga, dia memintaku mengingatkannya, terakhir dia meminta aku ‘menjaga’ dia dari wanita lain agar dia suatu hari bisa kembali pada pacarnya (mantan pacarnya maksudku) ketika saatnya tiba. Klise huh? Mari kita buktikan.
Ada dua hal yang dia tidak sadari dan satu hal yang aku juga luput untuk sadar sebelum semua itu terjadi. Pertama, dia meminta aku untuk ‘menjaganya’ dari wanita lain, namun entah dia lupa atau tidak sadar bahwa aku adalah seorang perempuan dan aku sama sekali tidak bisa ‘menjaga’ dia dari aku. Kedua, yang aku tidak sadar setelah beberapa saat dia ‘menempel’ adalah ternyata dia punya semacam ‘sister complex’ yang membuat kami seperti dua saudara kembar siam yang sulit dipisahkan –dalam arti harfiah-
Semester itu aku dapat backingan baru yang lebih berbobot tapi di satu sisi juga aku tahu, mustahil untuk kami ‘berteman’ dalam waktu lama. Terlalu klise. Secara denotasi dia terlalu baik untukku –aku benci mengatakan alasan pengecut itu, tapi ini benar- tapi mungkin dia tidak sadar siapa yang dia hadapi. Sekali dua aku suka melakukan pemancingan dan menghentikan itu sebelum terlambat karena aku sama sekali tidak ingin melukai perasaannya dengan melalui yang lebih dari ini dan membuatnya ingkar janji. Sudah cukup! Sudah cukup sering!
Kami selalu bersama, mungkin lebih tepatnya, dia selalu membuntutiku dan aku tidak menyangkal jika aku menyukainya. Teman-teman yang lain mungkin tidak peduli, tapi ada sedikit teman yang memberi perhatian lebih dan bertanya ‘ada apa?’ yang kutanggapi hanya dengan tawa. Bodohnya, dia terus bersikap seperti seorang adik kecil yang tidak sadar. Oh ayolah, seorang laki-laki yang baru putus dengan pacarnya, curhat jam tiga pagi dengan seorang perempuan, dan mentraktir makan perempuan itu tiap makan siang, ‘teman’ adalah istilah yang terlalu luas untuk hal itu. Tapi aku menolak. Maksudku, “Kali ini” hatiku yang menolak –biasanya para lelaki sialan itulah yang menolak dengan alasan yang sulit ditebak-, aku tidak terganggu, aku merasa tenang, merasa senang, tertawa, meski ada sesuatu yang mengganjal dihatiku, hingga kami berada pada jarak ‘berbahaya’ aku mulai sadar. Dia harus bangun dari mimpinya.
Pikirlah, untuk apa dia melepaskan seorang wanita baik hati tidak sombong dan solehah dengan alasan heroik ‘you-know-what’ sedangkan disini, ditempat dia kuliah dia dekat dengan perempuan yang tidak lebih baik, bahkan jauh dari baik, mempertaruhkan janjinya. Aku rasanya seperti memakan daging wanita lain –pacarnya- yang baru diputuskannya. AMIS!
Lama sekali aku berpikir, bagaimana caranya menghilangkan ‘sister complex’ nya dan membebaskan diri. Oh sungguh aku merasa bersalah dengan pikiran ini, aku tahu ini demi kebaikannya. Aku mengerti, tipe lelaki seperti dia, rohis, lumayan ganteng, tinggi, pintar, baik hati, royal, sederhana, apa adanya. Tuhan, itu adalah objek bagus untuk dipuja dan dijadikan idola tapi tidak untuk ‘lebih dari teman’. Aku membutuhkan seseorang yang ‘setara’ denganku dan itu bukan dia. Aku tidak menemukan ‘kejahatan’ dalam dirinya, sudah tentu itu indikasi kalo kami bukan jodoh.
Dia mulai paham. Dia mulai menemukan pelarian. Dia mulai menemukan orang lain sebagai pelampiasan sister complex dan akhirnya dia mulai mengerti bahwa sister complex itu harus sembuh dan kedekatan dia dengan seorang perempuan harus diperjelas.
Aku membiarkan dia dekat dengan perempuan itu, teman seangkatan kami, bahkan cenderung menjodohkan (tapi sungguh ini bukan skenario, dia yang memilih), aku menyaksikan sekarang mereka selalu bersama (dalam arti baik, bukan sesuatu yang bermasalah seperti yang beberapa orang kategorikan berpacaran) dan satu hal yang paling penting, mereka ‘setara’ dari segi brain, beauty, behavior, and believe.
Meski jujur, saat aku buka dompet dan menemukan foto dia dan mantan pacar-long-distance nya yang berada dibelakang fotoku (yang selalu sendirian) aku merasa bersalah, aku gagal melakukan janjiku untuk menjaganya dari wanita lain. Diluar dari kenyataan bahwa dia bahagia, aku memang merasa bersalah. Orang ketiga adalah masalah yang ‘bisa diatur’ dalam sebuah hubungan –dan aku ahlinya, kemampuan sejak lahir dan terasah sejak SMP- tapi jarak adalah sesuatu yang mengerikan. Jarak secara denotasi dan konotasi adalah sebuah alasan ketika kita sudah merasa orang yang kita sayang sudah tidak bisa kita kenali.
Di luar dari kenyataan dia telah terbebas dari ‘aku’ dan bahagia, aku merasa bersalah, bukan pada Bayu, tapi pada mantan pacarnya.
Terakhir aku dengar mereka berencana menikah. Semoga bahagia. Aku bahkan belum menemukan pacar. ANJING!!!

Bayu memang bukan yang paling berkesan atau paling dramatis. Namun dia memberiku pengalaman penting yang menjadi bahan pemikiran bahwa aku memang benar-benar tidak cocok dengan seseorang berkarakter “alim” seperti yang dia tunjukan, seseorang yang memutuskan pacarnya, dan mengajak menikah perempuan yang bersamanya, aku benar-benar bukan tipe yang seperti itu. Hingga sekarang kami masih berteman dan kadang aku mengejeknya telah melupakan aku karena perempuan lain.
Aku tidak pernah menyesal melepasnya karena sepersekian detika setelah terlintas pikiran tentang ‘lebih dari teman’ seluruh impuls dalam diriku mengatakan dia bukan orangnya. Meski aku sayang padanya dia bukan orangnya, aku tahu dan aku bisa membedakannya, bukan karena aku menebak, aku memang tahu karena setelah Bayu aku baru merasakan bagaimana cinta itu memaksa. Hebat dia memaksa dan aku terseret arus tepat ketepi jurang. Lain kali aku akan bercerita, dari semuanya dia yang terbaik karenanya mungkin akan aku sisakan tentang itu diakhir cerita. Tidak maksudku diakhir bab. Benar-benar diakhir.
Nah, sialannya, aku tidak tahu kapan ini berakhir karena sepertinya Ladya selalu punya cerita yang tidak pernah habis.
ANJING! Mereka selalu berkeliaran dan aku selalu saja terseret beberapa detik dalam kelucuan mereka lalu berdecak jijik ketika melihat mereka menjulurkan lidah.
Hanya satu yang bukan anjing, mungkin manusia atau anjing siluman yang bisa berubah menjadi manusia. Entahlah, persamaan dan perbedaan kadang begitu tipis batasnya dan itulah keadaan aku dan dia. Stop, aku akan stop sampai disini. Aku sudah bertindak terlalu jauh. Ladya sudah bertindak terlalu jauh. The-Quen-Bee has to stay with her fiction.

Tidak ada komentar: