I. PENDAHULUAN
Dalam lingkup perilaku, konsep tentang batasan apa yang normal dan tidak normal dalam hal yang menyangkut seksual sangat dipengaruhi oleh faktor sosiokultur. Berbagai aktivitas seperti masturbasi yang pada awalnya dianggap sebagai sebuah penyimpangan seksual karena hal tersebut berada diluar lingkup dari tujuan awal hubungan seksual itu dilakukan, yaitu untuk bereproduksi. Pada sebuah survey didapatkan bahwa lebih dari 50% pria dan hampir 50% wanita mengaku pernah melakukan masturbasi terutama diusia remaja sebelum menikah (survey nasional) dan masih ada pula beberapa orang yang pernah melakukan namun enggan mengakuinya. Hal ini membuktikan bahwa lama kelamaan hal yang dianggap penyimpangan tersebut kini justru hal yang mulai lazim terjadi.
Contoh lainnya adalah homoseksualitas. Pada awalnya seorang homoseksual adalah orang yang dicela dan ditakuti, homoseksual sendiri dulunya sempat digolongkan sebagai gangguan mental hingga pada tahun 1973 American Psychiatric Association memutuskan untuk menghilangkan homoseksualitas dari daftar gangguan mental. Saat ini keberadaan homoseksual juga sudah mulai diterima dan bahkan mendapatkan simpati dari beberapa perkumpulan meskipun tidak bisa diindahkan bahwa masih banyak orang yang kurang menyukai para pelaku homoseksual. Pergeseran paham terhadap beberapa hal dulunya dianggap sebuah kelainan atau abnormalitas menunjukan bahwa memang perkembangannya sangatlah dipengaruhi oleh keadaan lingkungan, sosial, dan perkembangan budaya.
Namun, terdapat juga beberapa kelainan yang hingga sekarang masih tidak bisa dianggap lazim oleh masyarakat dan dimasukan dalam kategori kelainan seksual yang akan dibahas pada bab selanjutnya.
II. ISI
A. Perkembangan Seksualitas Normal
Ada fase-fase psikologis yang harus dilalui tiap individu. Antara lain fase
psikoseksual yaitu tahap-tahap pertumbuhan dan perkembangan fungsi seksual yang dapat mempengaruhi perkembangan psikologis individu tersebut. Tiap individu akan mengalami fase/tahap psikoseksual dalam tiap tahap perkembangan umurnya (0-18 tahun). Bila individu tersebut gagal melewati suatu masa yang harus dilaluinya sesuai dengan tahap perkembangannya maka akan terjadi gangguan pada diri orang tersebut.
Pada kesempatan ini kita akan melihat fase-fase psikoseksual yang pasti dilalui setiap individu sesuai dengan tahap perkembangannya. Fase-fase tersebut adalah:
1. Fase oral/mulut (0-18 bulan)
Yaitu fase pertama yang harus dilalui oleh seorang anak sejak dilahirkan.
Pada bulan-bulan pertama kehidupan, bayi manusia lebih tidak berdaya dibandingkan dengan bayi binatang menyusui lainnya, dan ketidakberdayaan ini berlangsung lebih lama daripada spesies lain. Pada mulanya bayi tidak dapat membedakan antara bibirnya dengan putting susu ibunya, yaitu asosias antara rasa kenyang dengan pemberian asi. Bayi hanya sadar akan kebutuhannya sendiri dan pada waktu menunggu terpenuhi kebutuhannya, bayi menjadi frustasi dan baru sadar akan adanya obyek pemuas pada waktu kebutuhannya terpenuhi.
Inilah pengalaman pertama kesadaran akan adanya obyek diluar dirinya. Jadi kelaparan menuntutnya untuk mengenal dunia luar. Reaksi primitif pertama terhadap obyek yaitu bayi berusaha memasukkan semua benda yang dipegangnya ke mulut. Bayi merasa bahwa mulut adalah tempat pemuasan (oral gratification). Rasa lapar dan haus terpenuhi dengan menghisap putting susu ibunya. Kebutuhan-kebutuhan, persepsi-persepsi dan cara ekspresi bayi secara primer dipusatkan di mulut, bibir, lidah dan organ lain yang berhubungan dengan daerah mulut. Dorongan oral terdiri dari 2 komponen yaitu dorongan libido dan dorongan agresif. Dorongan libido yaitu dorongan seksual pada anak, yang berbeda dengan libido pada orang dewasa. Dorongan libido merupakan dorongan primer dalam kehidupan yang merupakan sumber energi dari ego dalam mengadakan hubungan dengan lingkungan, sehingga memungkinkan pertumbuhan ego. Ketegangan oral akan membawa pada pencarian kepuasan oral yang ditandai dengan diamnya bayi pada akhir menyusui. Sedangkan dorongan agresif dapat terlihat dalam perilaku menggigit, mengunyah, meludah, dan menangis. Pada fase oral ini, peran Ibu penting untuk memberikan kasih sayang dengan memenuhi kebutuhan bayi secepatnya. Jika semua kebutuhannya terpenuhi, bayi akan merasa aman, percaya pada dunia luar. Hal ini merupakan dasar perkembangan selanjutnya dalam berhubungan dengan dunia luar. Jika pada fase oral ini bayi merasakan kekecewaan yang mendalam, hal ini akan mempengaruhi perkembangan selanjutnya. Pada waktu dewasa akan mengalami gangguan tingkah laku seksual misalnya kepribadian oral sadistik yang dimanifestasikan dalam penyimpangan seksual sadisme, yaitu kepuasan seks yang dicapai bila didahului atau disertai tindakan yang menyakitkan. Sebaliknya, bila bayi mendapat kepuasan yang berlebihan maka dalam perkembangan selanjutnya dapat menjadi sangat optimis, narcistik (cinta diri sendiri), dan selalu menuntut.
2. Fase Anal (1 1/2 - 3 tahun)
Fase ini ditandai dengan matangnya syaraf-syaraf otot sfingter anus sehingga anak mulai dapat mengendalikan beraknya. Pada fase ini kepuasan dan kenikmatan anak terletak pada anus. Kenikmatan didapatkan pada waktu menahan berak. Kenikmatan lenyap setelah berak selesai. Jika kenikmatan yang sebenarnya diperoleh anak dalam fase ini ternyata diganggu oleh orangtuanya dengan mengatakan bahwa hasil produksinya kotor, jijik dan sebagainya, bahkan jika disertai dengan kemarahan atau bahkan ancaman yang dapat menimbulkan kecemasan, maka hal ini dapat mengganggu perkembangan kepribadian anak. Dimana pada perkembangan seksualitas deawasa anak merasa jijik (kotor) terhadap alat kelaminnya sendiri dan tidak dapat menikmati hubungan seksual dengan partnernya.
Oleh karena itu sikap orangtua yang benar yaitu mengusahakan agar anak merasa bahwa alat kelamin dan anus serta kotoran yang dikeluarkannya adalah sesuatu yang biasa (wajar) dan bukan sesuatu yang menjijikkan. Hal ini penting, karena akan mempengaruhi pandangannya terhadap seks nantinya.
Jika terjadi hambatan pada fase anal, anak dapat mengembangkan sifat-sifat tidak konsisten, kerapian, keras kepala, kesengajaan, kekikiran yang merupakan karakter anal yang berasal dari sisa-sisa fungsi anal. Jika pertahanan terhadap sifat-sifat anal kurang efektif, karakter anal menjadi ambivalensi (ragu-ragu) berlebihan, kurang rapi, suka menentang, kasar dan cenderung sadomsokistik (dorongan untuk menyakiti dan disakiti). Karakter anal yang khas terlihat pada penderita obsesif kompulsif. Penyelesaian fase anal yang berhasil, menyiapkan dasar untuk perkembangan kemandirian, kebebasan, kemampuan untuk menentukan perilaku sendiri tanpa rasa malu dan ragu-ragu, kemampuan untuk menginginkan kerjasama yang baik tanpa perasaan rendah diri.
3. Fase Uretral
Pada fase ini merupakan perpindahan dari fase anal ke fase phallus. Erotik uretral mengacu pada kenikmatan dalam pengeluaran dan penahanan air seni seperti pada fase anal. Jika fase uretral tidak dapat diselesaikan dengan baik, anak akan mengembangkan sifat uretral yang menonjol yaitu persaingan dan ambisi sebagai akibat timbulnya rasa malu karena kehilangan kontrol terhadap uretra. Jika fase ini dapat diselesaikan dengan baik, maka anak akan mengembangkan persaingan sehat, yang menimbulkan rasa bangga akan kemampuan diri. Anak laki-laki meniru dan membandingkan dengan ayahnya. Penyelesaian konflik uretra merupakan awal dari identitas gender dan identifikasi selanjutnya.
4. Fase Phallus (3-5 tahun)
Pada fase ini anak mula mengerti bahwa kelaminnya berbeda dengan kakak, adik atau temannya. Anak mulai merasakan bahwa kelaminnya merupakan tempat yang memberikan kenikmatan ketika ia mempermainkan bagian tersebut. Tetapi orangtua sering marah bahkan mengeluarkan ancaman bila melihat anaknya memegang atau mempermainkan kelaminnya. Pada fase ini, anak laki-laki dapat timbul rasa takut bahwa penisnya akan dipotong (dikebiri). Ketakutan yang berlebihan tersebut dapat menjadi dasar penyebab gangguan seksual seperti impotensi primer dan homoseksual. Pada fase ini muncul rasa erotik anak terhadap orangtua dari jenis kelamin yang berbeda. Rasa ingin tahu terhadap hal-hal yang berhubungan dengan seks tampak dalam tingkah laku anak, misalnya membuka rok ibunya, meraba buah dada atau alat kelamin orangtuanya. Daya erotik anak laki-laki terhadap ibunya, disertai rasa cemburu terhadap ayahnya, dan keinginan untuk mengganti posisi ayah disamping ibu, disebut kompleks Oedipus. Untuk anak wanita disebut kompleks Elektra. Kompleks elektra biasanya disertai rasa rendah diri karena tidak mempunyai kelamin seperti anak laki-laki dan merasa takut jika terjadi kerusakan pada alat kelaminnya. Bila kompleks oedipus/Elektra tidak dapat diselesaikan dengan baik, dapat menyebabkan gangguan emosi pada kemudian hari.
5. Fase Latensi (5/6 tahun-11/13 tahun)
Pada fase ini semua aktifitas dan fantasi seksual seakan-akan tertekan, karena perhatian anak lebih tertuju pada hal-hal di luar rumah. Tetapi keingin-tahuan tentang seksualitas tetap berlanjut. Dari teman-teman sejenisnya anak-anak juga menerima informasi tentang seksualitas yang sering menyesatkan. Keterbukaan dengan orangtua dapat meluruskan informasi yang salah dan menyesatkan itu. Pada fase ini dapat terjadi gangguan hubungan homoseksual pada laki-laki maupun wanita.
Kegagalan dalam fase ini mengakibatkan kurang berkembangnya kontrol diri sehingga anak gagal mengalihkan energinya secara efisien pada minat belajar dan pengembangan ketrampilan.
6. Fase genital (11/13 tahun-18 tahun)
Pada fase ini, proses perkembangan psikoseksual mencapai "titik akhir". Organ-organ seksual mulai aktif sejalan denga mulai berfungsinya hormon hormon seksual, sehingga pada saat ini terjadi perubahan fisik dan psikis. Secara fisik, perubahan yang paling nyata adalah pertumbuhan tulang dan perkembangan organ seks serta tanda-tanda seks sekunder.
Remaja putri mencapai kecepatan pertumbuhan maksimal pada usia sekitar 12-13 tahun, sedangkan remaja putra sekitar 14-15 tahun. Akibat perbedaan waktu ini, biasanya para gadis tampak lebih tinggi daripada anak laki-laki seusia pada periode umur 11-14 tahun. Perkembangan tanda seksual sekunder pada gadis adalah pertumbuhan payudara, tumbuhnya rambut pubes dan terjadinya menstruasi, pantat mulai membesar, pinggang ramping dan suara feminin. Sedangkan pada anak laki-laki terlihat buah pelir dan penis mulai membesar, tumbuhnya rambut pubes, rambut kumis, suara mulai membesar. Terjadi mimpi basah, yaitu keluarnya air mani ketika tidur (mimpi basah). Bersamaan dengan perkembangan itu, muncullah gelombang nafsu birahi baik pada laki-laki maupun wanita. Secara psikis, remaja mulai mengalami rasa cinta dan tertarik pada lawan jenisnya.
Kegagalan dalam fase ini mengakibatkan kekacauan identitas. Itulah fase-fase psikoseksesual yang harus dialami oleh tiap-tiap individu. Dengan mengetahui akibat-akibat yang ditimbulkan bila gagal ataupun berhasil dalam melewati tiap fase, maka hendaknya orangtua dan para pendidik dapat mengambil manfaatnya, sehingga kita dapat memberikan kesehatan mental putra-putri kita sedini mungkin.
B. Gangguan Identitas Gender
Identitas gender adalah bagaimana seseorang merasa bahwa dirinya adalah seorang wanita atau pria. Identitas gender secara normal didasarkan pada anatomi gender. Namun, pada gangguan identitas gender (gender identity disorder) terjadi konflik antara anatomi gender seseorang dengan identitas gendernya.
Gangguan identitas gender dapat berawal dari anak-anak. Anak-anak dengan gangguan ini menemukan bahwa anatomi gender mereka merupakan sumber distress yang terus-menerus dan intensif.
Diagnosis gangguan identitas gender diberikan baik pada anak atau orang dewasa yang mempersepsikan diri mereka secara psikologis sebagai anggota dari gender yang berlawanan dan terus-menerus menunjukan ketidaknyamanan terhadap anatomi gender mereka.
Meskipun belum ada studi yang pasti, namun diyakini bahwa kelainan ini terjadi lima kali lebih banyak pada pria daripada wanita. Gangguan ini memiliki pola yang berbeda pada setiap orang, bisa berakhir atau berkurang pada masa remaja ketika anak ini lebih menerima identitas gender mereka. Atau bisa juga bertahan hingga dewasa dan menyebabkan identitas transeksual, bahkan mereka bisa mengembangkan kelainan tersebut kedalam orientasi gay atau lesbian terutama pada saat remaja.
Banyak orang dewasa transeksual melakukan operasi perubahan gender. Pada operasi ini akan dibentuk alat genital eksternal yang semirip mungkin dengan alat genital gender yang diinginkan. Orang yang telah melakukan operasi tersebut dapat melakukan aktivitas seksual bahkan mencapai orgasme, namun mereka tidak akan mampu melahirkan anak karena tidak memiliki organ reproduksi internal.
Identitas gender berbeda dengan orientasi seksual gay atau lesbian, gangguan identitas gender sangat jarang ditemukan. Orang dengan gangguan identitas gender yang tertarik secara seksual pada anggota dari anatomi gender mereka sendiri tidak menganggap diri mereka gay atau lesbian. Gender yang mereka miliki sebelumnya merupakan kesalahan dimata mereka. Dari sudut pandang mereka, mereka terperangkap pada tubuh dengan gender berbeda.
Tidak ada seorangpun yang mengetahui penyebab terjadinya gangguan identitas gender. Teoritikus psikodinamika menunjuk kedekatan hubungan antara ibu-anak laki-laki yang ekstrem, hubungan yang renggang antara ibu dan ayah, dan ayah yang tidak ada atau jauh dari anaknya. Faktor-faktor keluarga ini dapat menjadi penyebab munculnya identifikasi yang kuat terhadap ibu dari para pria muda, mengakibatkan pembalikan identitas dan peran gender yang diharapkan. Anak perempuan yang memiliki ibu yang lemah dan tidak berpengaruh serta ayah yang kuat dan maskulin dapat mengidentifikasikan dirinya secara berlebihan pada ayah dan mengembangkan prasangka psikologis bahwa dirinya adalah “laki-laki kecil”.
Jika ada pengalaman belajar pada masa awal yang penting dalam hal gangguan identitas gender maka gangguan itu akan terjadi sangat awal di kehidupan. Ketidakseimbangan hormonal di masa-masa prenatal juga berpengaruh. Otak dapat terdiferensiasi pada identitas gender tertentu di satu arah sementara alat genital berkembang di arah yang lain.
Namun, hingga sekarang spekulasi tentang asal-muasal gangguan identitas gender masih sulit dibuktikan.
C. Kelainan pada Perilaku Seksual
1. Parafilia
Parafilia (paraphilia) diambil dari akar bahasa Yunani para, yang artinya "pada sisi lain", dan philos artinya "mencintai". Pada parafilia orang menunjukan keterangsangan seksual sebagai stimulus yang tidak biasa. Menurut DSM IV, parafilia melibatkan dorongan dan fantasi seksual yang berulang dan kuat yang bertahan selama 6 bulan atau lebih yang berpusat pada (1) objek bukan manusia seperti pakaian dalam, sepatu, kulit, atau sutra, (2) perasaan merendahkan atau menyakiti diri sendiri atau pasangannya atau (3) anak-anak dan orang lain yang tidak mampu memberikan persetujuan.
Sejumlah parafilia dapat melakukan fungsi seksual tanpa kehadiran stimulus atau fantasi. Sementara yang lainnya menggunakan stimulus parafilia saat berada dibawah stress. Tetapi ada pula yang tidak terangsang kecuali dengan menggunakan stimulus ini baik secara nyata maupun fantasi. Bagi sejumlah individu, parafilia adalah sebuah cara eksklusif untuk mencapai kepuasan seksual.
Sejumlah penderita parafilia secara relatif tidak berbahaya dan tidak menyebabkan jatuh korban. Diantaranya terdapat fethisisme, fethisisme transverstik. Sedangkan yang lain seperti ekshibisionisme dan pedofilia melibatkan orang lain sebagai korban. Parafilia paling berbahaya adalah sadism seksual yang dilakukan dengan pasangan tanpa persetujuannya.
2. Ekshibisionisme
Ekshibisionisme melibatkan dorongan kuat dan berulang untuk menunjukan alat genital pada orang yang tak dikenal yang tidak menduganya, dengan tujuan agar korban terkejut, syok, atau terangsang secara seksual. Orang tersebut dapat bermasturbasi sambil membayangkan atau benar-benar menunjukan alat genitalnya. Penderita hampir selalu pria dan sasarannya hampir selalu wanita.
Orang yang didiagnosis mengidap ekshibisionisme biasanya tidak tertarik pada kontak seksual actual dengan korban dan karenanya biasanya tidak berbahaya. Namun begitu, korban dapat merasa dirinya dalam bahaya besar dan dapat mengalami trauma karena peristiwa itu. Saran yang paling baik untuk korban adalah untuk tidak menunjukan reaksi apapun pada orang yang mengekspos dirinya dan tetap bersikap biasa saja.
Pria dengan gangguan ini cenderung pemalu, tergantung serta kurang memiliki keterampilan sosial dan seksual, bahkan terhambat secara sosial. Sejumlah orang meragukan maskulinitas mereka dan memiliki perasaan inferior. Rasa jijik dan ketakutan korban membangkitkan rasa menguasai situasi dan meningkatkan keterangsangan seksual mereka.
3. Fetishisme
Kata Prancis fetiche diduga berasal dari bahasa Portugis feticio yang berarti suatu ‘daya tarik ajaib’. Dalam kasus ini ajaib terletak pada kemampuan objek untuk merangsang secara seksual. Cirri utama dari kelainan ini adalah dorongan seksual yang kuat dan berulang serta membangkitkan fantasi yang melibatkan objek tidak hidup, seperti bagian tertentu dari pakaian. Normal bagi pria untuk menyukai tampilan, rasa dan aroma baju milik kekasih mereka. Namun, pria fethisisme lebih memilih objeknya daripada orang yang memilikinya dan tidak dapat terangsang tanpa objek tersebut. Mereka sering mengalami kepuasan seksual melalui masturbasi sambil membelai, menggosok-gosok atau mencium objek tersebut, atau melihat pasangannya memakai benda tersebut ketika melakukan aktivitas seksual.
4. Transvestime (Transvestik fethisisme)
Ciri utama dari transvestik fethisisme adalah dorongan yang kuat dan berulang serta fantasi yang berhubungan dan melibatkan memakai pakaian lawan jenis (cross-dressing) dengan tujuan untuk mendapatkan rangsangan seksual. Orang dengan kelainan fethisisme dapat dipuaskan dengan memegang objek seperti pakaian wanita sambil bermasturbasi, sedangkan transvestik ingin mengenakannya. Mereka dapat memakai pakaian feminism dan dandanannya secara lengkap atau lebih menyukai satu bagian dari sebuah pakaian. Kelainan ini dilaporkan hanya terjadi pada pria heteroseksual. Biasanya, pria yang memakai pakaian lawan jenis melakukannya dengan tertutup, dan membayangkan diri mereka adalah wanita yang dicumbunya sambil bermasturbasi.
Pria gay kemungkinan memakai pakaian lawan jenis untuk menarik perhatian pria lain atau karena menyamar sebagai wanita merupakan gaya tersendiri pada beberapa lingkungan sosial bukan karena mereka terangsang secara seksual dengan memakainya. Pria dengan gangguan identitas gender memakai pakaian wanita karena tidak nyaman dengan pakaian pria, bukan karena alasan rangsangan seksual. Sebagian besar penderita transvestik sudah menikah dan terlibat aktivitas seksual dengan istri mereka, namun mereka mencari tambahan kepuasan lain dengan cara berpakaian seperti wanita.
5. Voyeurisme
Ciri utama dari voyeurisme adalah bertindak berdasarkan atau mengalami distress akibat munculnya dorongan seksual yang kuat dan terus-menerus sehubungan dengan yang melibatkan atau memperhatikan orang, biasanya tidak dikenal, yang sedang berpakaian atau membuka pakaian atau sedang melakukan aktivitas seksual dimana mereka tidak menduganya. Tujuan mengintip ini adalah untuk mencapai kepuasan seksual. Orang voyeurisme biasanya tidak menginginkan hubungan seksual dengan objek yang diobservasi.
6. Froterisme
Kata prancis frottage mengacu pada teknik artisitk dari membuat gambar dengan cara menggosok pada objek yang timbul. Ciri utama dari parafilia froterisme adalah adanya dorongan seksual yang kuat secara persisten dan fantasi terkait yang melibatkan menggosok atau menyentuh tubuh orang tanpa ijin. Froterisme biasanya terjadi di tempat-tempat ramai, seperti kereta api bawah tanah, bus atau lift. Tindakan menggosok-gosokan atau menyentuhlah, bukan aspek kekerasannya, yang membangkitkan hasrtat seksual seorang pria. Ia mungkin membayangkan dirinya sendiri menikmati hubungan seksual yang eksklusif dan penuh kasih sayang dengan korban. Karena kontak fisik yang terjadi hanya sesaat dan dilakukan secara sembunyi-sembunyi, orang yang melakukan berkemungkinan kecil untuk ditangkap oleh yang berwajib. Bahkan mungkin korban tidak akan menyadari apa yang terjadi pada saat itu atau tidak mengeluarkan banyak protes.
7. Pedofilia
Pedofilia diambil dari bahasa yunani paidos berarti ‘anak’. Ciri utama dari pedofilia adalah dorongan seksual yang kuat dan berulang serta adanya fantasi terkait yang melibatkan aktivitas seksual dengan seorang anak yang belum puber. Penganiayaan seksual terhadap anak-anak bisa muncul dan bisa juga tidak. Untuk mendiagnosis pedofilia orang itu setidaknya harus berusia 16 tahun, dan setidaknya 5 tahun lebih tua daripada anak yang mereka rasakan ketertarikan secara seksual atau menjadi korban. Pada beberapa kasus orang itu hanya tertarik pada anak-anak namun pada kasus lain penderita tertarik pada anak-anak dan orang dewasa.
Meskipun beberapa orang dengan pedofilia membatasi aktivitas mereka pada atau melucuti pakaian anak-anak, yang lainnya terlibat dalam ekshibisionisme, mencium, membelai, seks oral, hubungan seks anal, dan pada beberapa kasus anak perempuan terjadi hubungan seks vaginal. Beberapa pria dengan pedofilia membatasi aktivitas seksual tersebut pada anak yang masih memiliki hubungan keluarga sedangkan yang lain hanya menganiaya anak-anak yang tidak memiliki hubungan keluarga dengannya. Namun, tidak semua penganiaya anak menderita pedofilia, definisi pedofilia hanya dikemukakan ketika ketertarikan seksual pada anak secara berulang dan terus-menerus.
Terlepas dari streotip yang ada, kebanyakan kasus pedofil tidak melibatkan ‘pria tua kotor’ yang berkeliaran disekitar halaman sekolah dengan menggunakan jas hujan. Pria dengan gangguan ini biasanya (sebaliknya) pengikut hukum yang setia, warga masyarakat yang dihormati, kebanyakan sudah menikah atau bercerai dan memiliki anak.
Penyebab pedofilia kompleks dan bervariasi. Sejumlah kasus cocok dengan streotip orang yang lemah, pemalas, mempunyai hubungan sosial yang canggung dan seorang yang penyendiri yang merasa terancam oleh hubungan dengan orang dewasa dan berbelok pada anak-anak untuk mendapatkan kepuasan seksual karena anak-anak tidak banyak mengkritik dan menuntut. Pada sejumlah kasus lain bisa jadi pengalaman seksual masa kanak-kanak dengan anak lain dirasa sangat menyenangkan sehingga pria tersebut pada saat dewasa berkeinginan untuk merasakan kembali kegembiraan masa lalu. Atau mungkin pada beberapa kasus pedofilia pria yang teraniaya secara seksual pada masa kecilnya membalikan situasi sebagai usaha untuk mendapatkan perasaan kekuasaan.
8. Masokisme
Masokisme seksual berasal dari nama seorang novelis Australia, Leopard Ritter von Sacher-Masoch yang menulis cerita dan novel tentang pria yang mencari kepuasan seksual dari wanita yang memberikan rasa nyeri/sakit padanya, sering dalam bentuk dipukul atau dicambuk. Masokisme seksual melibatkan dorongan kuat yang terus-menerus dan fantasi yang terkait dengan tindakan seksual yang melibatkan perasaan dipermalukan, diikat, dicambuk, atau dibuat menderita dalam bentuk lainnya. Dorongan ini dapat berupa tindakan yang dapat membuat distress secara personal. Pada sejumlah kasus masokisme seksual, orang tersebut tidak dapat mencapai kepuasan seksual jika tidak ada rasa sakit atau malu.
Pada sejumlah kasus, masokisme seksual melibatkan situasi mengikat atau menyakiti diri sendiri pada saat masturbasi atau berfantasi seksual. Pada kasus lain pasangan diminta untuk mengikat, menutup mata, memukul, atau mencambuk. Ekspresi masokisme yang paling berbahaya adalah hipoksifilia dimana partisipan merasa terangsang secara seksual dengan dikurangi konsumsi oksigennya misalnya dengan jerat, kantung plastik, bahan kimia, atau tekanan pada dada saat melakukan aktivitas seksual.
9. Sadisme
Sadisme dinamai berdasarkan nama Marquis de Sade, pria Prancis pada abad ke-18 yang terkenal, yang menulis cerita tentang kenikmatan mencapai kepuasan seksual dengan memberikan rasa sakit atau rasa malu pada orang lain. Sadisme seksual melibatkan dorongan yang kuat dan berulang serta fantasi yang terkait untuk melakukan suatu tindakan dimana seseorang dapat terangsang secara seksual dengan menyebabkan penderitaan fisik atau rasa malu pada orang lain. Orang dengan parafilia jenis ini ada yang mewujudkan fantasi mereka atau malah terganggu dengan adanya fantasi tersebut. Mereka dapat mencari pasangan yang sejalan, bisa jadi kekasih atau seorang istri dengan kelainan masokistik, atau bisa juga pekerja seks.
10. Zoofilia (Bestialitas)
Bestialis adalah bentuk hubungan seksual antara manusia dengan binatang, contohnya manusia dengan kuda, anjing, sapi, kambing, babi, simpanse, maupun makhluk lainnya yang dikategorikan sebagai binatang, baik secara anal, vaginal, maupun oral. Beastilitas lebih sering dilakukan dengan motivasi produksi film porno. Walaupun sebagian kecil manusia memang melakukannya atas dasar nafsu seksual menyimpang dan kecintaan yang berlebihan pada binatang. Sampai hari ini kelegalan beastilitas masih diragukan atau kontroversial karena bertentangan dengan norma agama dan dilarang dalam kitab-kitab agama, beastilitas juga sering dikategorikan sebagai salah satu bentuk penyiksaan hewan oleh sebagian orang.
D. Disfungsi Seksual
Secara umum, fungsi seksual yang normal memiliki 4 fase respon seksual, yaitu :
Fase 1: Perangsangan
Secara umum karakteristiknya adalah tahap ini bisa berlangsung dari hanya beberapa menit sampai bahkan beberapa jam, termasuk di dalamnya:
· Meningkatnya tekanan otot-otot
· Denyut jantung yang semakin cepat dan nafas yang memburu
· Kulit yang menjadi memerah (terkadang timbul semburat merah di sekitar dada dan punggung)
· Puting yang mengeras
· Aliran darah menuju organ genital yang meningkat, yang berakibat klitoris dan labia minora (bibir vagina dalam) pada wanita menjadi basah serta penis pria menegang.
· Organ intim (vagina) wanita secara umum menjadi basah.
· Payudara menjadi tegang dan seakan-akan penuh serta organ intim wanita merekah.
· Testis pria akan mengembang dan scrotum akan penuh cairan yang siap dikeluarkan.
Fase 2: Dataran tinggi (plateau)
Karakteristiknya adalah kelanjutan dan titik sebelum terjadinya orgasme yang ditandai dengan:
· Organ intim wanita yang semakin mengembang karena meningkatnya aliran darah serta perubahan kulit sekitar organ intim menjadi ke-ungu-an dan menjadi lebih gelap.
· Klitoris yang menjadi semakin sensitif (bahkan terkadang nyeri bila disentuh) dan terkadang kembali masuk tertutup klitoris untuk menghindari perangsangan oleh penis.
· Napas, denyut jantung dan tekanan darah yang terus meningkat
· Otot mengejang di kaki, muka dan tangan
· Tekanan otot meningkat
Fase 3: Orgasme
Orgasme adalah puncak dari siklus rangsangan seksual. Fase ini adalah fase terpendek dan umumnya hanya berlangsung selama beberapa detik saja. Tanda-tandanya antara lain:
· Kontraksi otot yang tak beraturan dan tidak terkontrol
· Teakan darah, denyut jantung dan nafas berada dalam kondisi puncak dengan kebutuhan oksigen yang masimal.
· Otot sekitar kaki yang mengejang penuh.
· Pelepasan yang tiba-tiba dari tekanan seksual
· Pada wanita organ intim akan berkontraksi, rahim akan terus berkontraksi.
· Pada pria, kontraksi ritmis otot pada pangkal penis akan mengakibatkan ejakulasi dan pengeluaran semen.
· Gerakan tubuh tak beraturan akan berlanjut dan keringat akan cenderung keluar dari pori-pori tubuh.
Fase 4: Resolusi
Selama fase ini, tubuh akan kembali pada kondisi normal. Bagian-bagian tubuh yang mengembang dan pmeregang lambat laun akan kembali normal pada ukuran dan warna semula. Tahap ini juga ditandai dengan perasaan puas oleh pasutri, keintiman dan bahkan kelelahan.
Beberapa wanita mampu melanjutkan fase orgasme tersebut dengan sedikit rangsangan dan inilah yang disebut sebagai multiple orgasm. Sebaliknya pria memerlukan waktu setelah orgasme yang disebut dengan periode refraksi, dimana pada waktu ini pria tidak akan mampu orgasme lagi. Periode refraksi ini berlangsung berbeda-beda pada pria, biasanya semakin tua umur maka periode refraksi ini akan berlangsung makin lama.
Disfungsi seksual pada umumnya ditandai dengan hambatan dalam hasrat atau dalam kekuatan (gairah) seksual serta perubahan psikofisiologis khas yang terjadi dalam siklus respon seksual yang lengkap.
Beberapa gangguan seksual atau disfungsi seksual, yaitu :
1. Gangguan hasrat seksual
Dibagi menjadi dua:
a. Hipoactive sexual Desire Disorder
Defisiensi atau tidak adanya fantasi seksual dan hasrat untuk aktivitas seksual
b. Sexual Aversion Disorder
Keengganan terhadap atau menghindari kontak seksual genital dengan pasangan seksual
2. Gangguan rangsang seksual
1. Gang Rangsangan Seksual Wanita (Sexual Arousal Disorder)
Ketidakmampuan menetap atau rekuren untuk mencapai atau mempertahankan respon lubrikasi-pembengkakan yang adekuat dari rangsangan seksual, sampai selesainya aktivitas seksual
2. Gangguan Erektil Laki-laki
Disebut juga disfungsi erektil dan impotensi
Ketidakmampuan untuk mencapai atau mempertahankan ereksi yang adekuat sampai selesainya aktivitas seksual
3. Gangguan orgasme
a. Gang orgasmik wanita
Keterlambatan atau tidak adanya orgasme yang menetap atau rekuren setelah fase rangsangan seksual yang normal
b. Gang orgasmik Laki-laki
Ejakulasi Prematur
Ejakulasi yang persisten atau rekuren pada stimulasi yang minimal sebelum, pada, atau segera setelah penetrai dan sebelum pasien menginginkan
4. Gangguan nyeri seksual
a. Dispareunia
Nyeri genital yang menetap atau rekuren yang berhub dg hubungan seksual baik pada laki-laki ataupun perempuan
b. Vaginismus
Kontraksi/kekakuan otot pada sepertiga bagian luar vagina yang terjadi secara involunter yang menghalangi insersi penis dan hubungan seks
III. PENUTUP
Simpulan
· Perkembangan seksual secara normal terdiri dari, fase oral, fase anal, fase uretral, fase phallus, fase latensi, dan fase genital. Penyimpangan yang terjadi ketika perkembangan seksualitas ini adalah yang paling rentan dalam menyebabkan kelainan seksual dimasa depan
· Kelainan seksual dapat berupa gangguan identitas gender, parafilia (kelainan dalam memenuhi hasrat seksual), dan disfusngsi seksual (fungsi seksualitas seseorang yang tidak normal secara fisiologis)
· Gangguan identitas gender adalah ketika terjadi konflik antara anatomi gender dengan identitas gender
· Parafilia meliputi, ekshibisionisme, fethisisme, pedofilia, sadisme, masokisme, dan lain-lain
· Disfungsi seksual meliputi hambatan gairah seksual, hambatan rangsang seksual, hambatan orgasme, dan gangguan nyeri seksual.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar