Jumat, Februari 25, 2011

KISAH SEPOTONG BUMI KECIL



Aku duduk sendirian di tepi jurang itu, menatap segaris oranye batas langit senja sendirian. Dengan air mata. Entahlah, tidak ada kesedihan di dalam sini, kosong, tapi tiba-tiba ada rasa sakit. Langit semakin gelap, menutup diri dari kecerahan dan warna, menyalin diri dengan baju hitam, menutup diri dengan kelambu suram. Aku tetap disana dengan tatapan kosong penuh keingintahuan. Sepotong benda kecil bernama bumi.
Langit itu terus bergulir mengujudkan diri menjadi sesuatu yang tidak tergambarkan lagi.
Seperti sebuah jam pasir yang terus-menerus bergerak namun tetap sama, tidak terlihat perubahan kecuali jika suatu masa setelah si pasir telah habis. Seonggok kegelapan melingkupi. Aku takut, merasa takut.
Ibuku tersenyum padaku, dia adalah makhluk bernama waktu, seorang yang kadang sangat sabar namun kadang juga sangat buru-buru. Aku sangatlah penurut, apa yang dia inginkan harus wajib aku ikuti. Aku berputar mengikutinya, mengikuti geraknya. Dan kini aku mengikuti dia berhenti disana, dalam lubang kegelapan langit yang kosong melompong seperti sebuah lubang neraka yang tidak ada dasarnya.
Ayahku menepuk bahuku, hangat. Dia adalah Kala, sesuatu yang besar dan berkuasa, seperti ibuku. Dan aku hanyalah anak manis yang masih meratap disini. Dipinggir jurang sang ibu, di pangkuan sang waktu, berpegang dengan kala, menatap langit gelap yang tanpa kehidupan itu. Sungguh saat-saat yang tidak berharga yang berlalu begitu lambat dan tidak berkesan, tanpa warna dan ketidakpastian.
Lalu aku lihat setitik putih disana, jauh jauh jauh, tapi aku merasa seperti bisa menggapainya…
Aku bertanya kepada ibu “Ibu, apakah itu?”
Ibuku menjawab “Dialah bintang anaku, sama sepertimu, duduk dipangkuan ibunya, disana menatap kita, setitik putih dalam gelap” ibuku tersenyum hangat
“Apakah dia saudaraku ibu?”
“Dia sepupumu sayangku, tapi dia sangat jauh disana, kalian akan sulit bertemu” jawab ibuku kecewa
Semangatku ketika mengira akan mendapatkan seorang temanpun surut.
Beberapa lama aku menatap langit. Lalu aku melihat setitik putih yang kedua.
Aku berbalik ke sebelahku, ayahku disana, duduk disamping ibuku, tersenyum gagah bak seorang dewa. Menggenggam tanganku erat. Aku bertanya padanya “Itu bintang juga ayah?”
“Iya anakku” jawabnya
“Tapi itu terlihat lebih besar”
“Bukan lebih besar, tapi lebih dekat”
Wajahku mulai senang. Ada bintang yang lebih dekat, mungkin aku bisa menyapanya dan menemaniku disini ketika nanti setelah ini kedua orangtuaku sibuk bekerja mengatur rumah kami, sang semesta.
“Ajak dia kesini, ke rumah. Aku kesepian” ucapku
Ayahku hanya mengernyitkan wajah kecewa “Tidak bisa sayang, dia juga terlalu jauh”
Aku menangis
Mengapa setitik putih itu terlihat begitu indah, dan menggiurkan, dan bersahabat, dan ketika aku pejamkan mata, mereka seakan terjangkau oleh tanganku, namun kenyataannya mereka jauh. Aku kesepian, aku ingin mereka disini.
Melihat mereka muncul satu-persatu, titik-titik putih lain, bintang-bintang lain yang bermunculan, saling menyapa satu sama lain, namun tak tergapai membuatku semakin sakit. Mengapa Tuhan membiarkan aku melihat mereka, ini tak lebih baik dari ketika aku menatap langit kosong… Paling tidak saat aku menatap langit gelap yang mendung dan kosong, aku tidak mencoba untuk berharap. Aku menangis semakin keras karena aku merasa kesepian.
Ayahku mengelus kepalaku “Sayang, mengapa menangis, sudah cukup kami disini, mengapa kau masih kesepian?”
“Ayah, ini berbeda, kalian adalah orang tuaku, melengkapi siklusku. Tapi aku bumi, aku bertumbuh. Menjadi hijau lalu biru, lalu hitam dan kembali hijau, terus bertumbuh membawa banyak perasaan hidup didalam sini” sambil terisak aku jelaskan kepada mereka
Wajah ibuku tampak kasihan “Anaku, kami tak kuasa, ini adalah putusan kakekmua untuk tetap melakukannya” kata ibuku putus asa.
Iya, aku punya kakek, yang waktu dan kala tak kuasa melawannya. Dia adalah Jarak, aku benci jarak, aku benci kakek, dia mebuatku melihat namun tak bisa menggapai, dia membuatku merasa gagal.
TAPI DIA MEMBUATMU KUAT. DIA YANG MEMBUAT ULAT MENJADI KUPU-KUPU. DIA YANG MEMBUAT BINTANG-BINTANG ITU DAN DIRIMU TAMPAK CERAH DI KEJAUHAN
Aku membenci JARAK….

Lama aku merenung, menangis, duduk sendirian… kedua orang tuaku telah lenyap. Menyatu bersama detak waktu didalam jantungku, menyatu bersama aliran semesta penghias rumahku, menyatu bersama jam-jam pasir didalam pikiranku. Aku duduk sendirian berharap ada bintang yang paling dekat yang bisa paling tidak kusapa dan memberikan senyuman untukku.

Lama aku menunggu……..
Lalu aku menyadari sesuatu bahwa …. AKU DIAM
Aku ingin bergerak… mencari… aku memang hanya bumi yang kecil, tapi aku punya perasaan. Banyak perasaan, banyak hati. Kebencian, cinta, kepasrahan, semangat, kekecewaan, yang penghuni semesta lain tak punya. Ibu bilang aku istimewa, ayah bilang aku yang terbaik, tapi aku merasa aku aneh karena kini aku sendirian tidak ada teman….

Debu debu semesta saling berpapasan dan tersenyum satu sama lain, tapi mereka semua menatap benci kepadaku. Apa salahku.
Aku menangis … aku sendirian….

Lalu aku memutuskan untuk tidak diam. Aku tidak bisa berpindah, tapi aku bisa membuka mata, aku bisa berputar untuk melihat kesekeliling. Mungkin ada kesempatan untukku ketika kakekku lengah dan menghilangkan jarak pada salah satu bintang-bintang itu. aku ingin bertemu salah satu bintang itu.

Aku berputar, mataku ingin keluar, terbelalak, takjub menatapnya…
Susuatu yang bulat indah, bersih, bercahaya, tersenyum dengan hangat, membuka tangan, dan dia DEKAT

Aku berteriak untuk menyapanya “Hai ..” teriaku
“Hai” jawabnya
“Apakah kau bintang?” tanyaku
Dia tertawa
“Kenapa tertawa?”
“Tak ada bintang sedekat ini”
“Lalu apa kau ini? kau mirip bintang-bintang itu, tapi kau dekat” aku memejamkan mataku, mengulurkan tanganku, mencoba menggapainya. Tak sampai, tapi aku bisa rasakan hangat tubuhnya, sebuah aura yang begitu hangat. Tanganku bergetar, tubuhku bergetar, sebuah kebahagiaan. Aku merasa tak lagi sendirian.

“Aku adalah rembulan”
“REMBULAN?”
“Iya” katanya sambil mengangguk.
Dan sejak itu aku tidak merasa kesepian lagi.
Bulan bilang padaku dia tidak bisa datang saat siang, karena dia harus berada ditempat dimana kegelapan muncul untuk menghiasi kekosongannya, tapi dia berjanji, dia mengawasiku dibelakang, meski aku tak melihatnya. Aku percaya padanya.

Suatu hari, di pagi yang cerah dengan embun dingin yang menyiram seluruh tubuhku, menumbuhkan kesejukan di separuh kepalaku, menyenangkan sebagian hati yang hidup didalamku. Aku duduk disamping ibuku. Aku bercerita tentang rembulan padanya.
“Ibu, kau tahu siapa rembulan itu?”
Ibuku menggeleng
“Dia menjadi sahabatku dan menemani aku setiap malam” kataku penuh semangat
“Benarkah, aku tidak tahu ada hal yang seperti itu”
“Iya, kataku. Aku meminta bintang kepada Tuhan, dia tak berikan karena kakek merintanginya, tapi Tuhan berikan hal lain yang tak kalah hebat, yang lebih baik, Tuhan berikan aku rembulan untuk menemaniku”
Ibuku tersenyum
Ayahku datang dan ibu bercerita tentang rembulan pula kepadanya.
Ayahku mendekat dan mencium keningku
“Ada apa ayah?” tanyaku
“Suatu hari kau akan tau dan belajar sesuatu anaku” katanya
Aku hanyalah seonggok bumi kecil yang kesepian dan merasa sendirian, aneh, dan polos. Aku hanyalah seonggok bumi tak berharga yang selalu mengikuti apa yang kuinginkan tanpa pikir panjang, aku adalah seonggok bumi kecil yang jarang merasa bahagia karena terlalu banyak kebencian hidup didalamku. Bumi itu meski kecil namun berat.
Maka, saat rembulan disisiku, aku merasa senang. Aku merasa tenang. Aku tidak merasa takut. Dan perasaanku ringan. Gejolak air dalam tubuhku menjadi pasang saat rembulan muncul, lebih dari setengah pikiran dan hati di dalam diriku, ribuan, menjadi tenang saat ikut menatap rembulan bersamaku dari jauh. Andai kalian tahu rembulan begitu dekat disini disampingku.
Semuanya terasa seperti akan selalu baik-baik saja saat berada disamping rembulanku ….

Lalu suatu hari …..

Aku ………..
Aku duduk sendirian di tepi jurang itu, menatap segaris oranye batas langit senja sendirian. Dengan air mata. Entahlah, tidak ada kesedihan di dalam sini, kosong, tapi tiba-tiba ada rasa sakit. Langit semakin gelap, menutup diri dari kecerahan dan warna, menyalin diri dengan baju hitam, menutup diri dengan kelambu suram. Aku tetap disana dengan tatapan kosong penuh keingintahuan. Sepotong benda kecil bernama bumi.
Aku menunggu rembulan …..
Aku duduk ditempat dimana aku bertemu dengan rembulan.
Aku menghadap kearahnya … karena aku tidak bisa kemana-mana dan tidak akan kemana-mana
Aku menunggu penuh semangat TAPI ….
Ayah mulai lelah bekerja
Ibu telah lelah menyusun jam pasir
Kakek pun berbisik-bisik memintaku tidur
Rembulan tidak muncul dan aku menangis ….
Rasanya seperti tsunami didalam diriku, rasanya ratusan nyawa dalam hatiku mati satu-persatu, yang lain ketakutan, dan yang lain berteriak, yang lain bersedih, tak ada satupun rasa senang disana. Tsunami itu menghabiskan tubuhku sendiri.
Aku gemetar, gempa diseluruh tubuhku. Ketakutan melanda, tiada tara. Aku tak berdaya
Air mata terus jatuh. Hujan membanjiri semua sel-sel darahku, semua pembuluh-pembuluh nadiku, bahkan otakku. Semua tersiram hujam lebat yang tak henti menenggelamkan akal sehatku. Satu malam rembulan tiada, semuanya menjadi seperti neraka. Semua jadi sangat gelap dan sepi seperti dahulu, bahkan lebih buruk ….

Ayah mendatangi dan mencoba mendiamkanku…
“Rembulan akan kembali” katanya “Dia tidak bisa selalu berada disampingmu setiap saat. Banyak hal diluar sana yang harus tetap dia lakukan”
“Aku takut ayah” kataku tersedu
“Jangan takut, bukankah aku pernah bilang padamu bahwa kau akan belajar? Belajarlah sekarang”
“Kenapa aku dipertemukan dengan bulan, kenapa kakek lengah sehingga tak ada jarak diantar kami, kenapa sekarang Tuhan membuat dia tidak datang?”
“Besok dia akan kembali, sekarang dia hanya akan mengintip dibalik awan gelap dari kejauhan, menjaga bumi lain sambil memperhatikan dan berdoa kau baik-baik saja”
“Mengapa kau tahu ayah?”
“Aku bertemu dengannya setiap bekerja, dia menyatu dengan orang lain namun aku kenal dia yang selalu sendirian dan berbeda dari yang lainnya. Apakah bagimu dia sangat terang?”
“Iya” aku mengangguk
“Padahal dia bulan paling gelap yang pernah kutemui” gumam ayah
“Dia bahkan lebih terang dari bintang terdekat yang bisa kulihat” sahutku dengan air mata
Ayah tersenyum. Mengelus kepalaku, hingga aku terjatuh dan tidur. Tenggelam dalam pangkuan waktu. Terdiam dan kosong menanti rembulan kembali dalam kegelisahan.

Besoknya … Rembulan kembali …..
Aku bahagia ………………..

“Wahai rembulan, kenapa kemarin kau tidak datang?”
“Ada banyak hal yang kau tidak mengerti, tapi kau tahu aku berada disini saat aku bisa”
Aku mengangguk polos tanpa pikiran apapun. Aku kosong, pikiranku hanya dipenuhi oleh rembulan dan setiap kata yang keluar darinya akan terus kubenarkan selama itu membuatku senang, aku merasa tenang. Dan semuanya kembali ….

Besoknya ….
Besoknya …..
Besoknya …..
Besoknya …..

Rembulan itu, kadang ada kadang hilang ……….
Lama kelamaan, semakin lama hilang, tapi … dia masih ada.
Saat kututup mata, kegapai tanganku ketempat dia seharusnya berada, aku bisa rasakan keberadaannya, sebuah kehangatan. Dingin! Tanganku gemetar, wajahku pucat….

Kenapa dingin?

Rembulan datang dan tersenyum… tapi dingin… aku ingin bertanya tapi tidak kutanyakan apapun karena aku takut …..

Lalu rembulan tidak ada…. Lalu dia ada …. Lalu menghilang lagi ….
Dari kejauhan dia mengawasi, itu yang selalu ayah katakan padaku ….

Dalam hati ini merasa resah …. Aku sebuah bumi kecil yang terus berputar pada siklusku, aku tidak bisa kemana-mana dan tidak akan kemana-mana. Saat kutatap langit dimalam hari, aku selalu berharap melihat rembulan disana, aku sering melihatnya. Namun kadang tidak.
Rasa kesepian tanpanya seperti ribuan tahun lamanya ….
Tapi aku tahu, dia tetap disana mengawasi ….





Aku mulai khawatir …………
Rembulan berjanji akan berada ditempat dimana dia akan datang ….. saat dia ada aku merasa tenang, tapi aku merasakan dingin…. Saat dia tak ada, ada sebuah kegelisahan didalam sini …
Pernah aku bilang kepada orang tuaku agar berhenti bekerja, hentika siklus saat rembulan ada disini, tapi mereka menolak
“Tidak bisa sayang, kakek akan marah, Tuhan juga”
Aku diam, oh iya benar, aku egois ….
Lalu aku hanya diam menunggu ….
Dalam hatiku ada sebuah rasa takut, bahwa mungkin nanti suatu hari, rembulan itu takkan pernah ada lagi ….. aku menangis dan ketakutan, saat itulah dia ada …… dan ketakutanku sirna
Tapi ketakutan itu akan datang lagi nanti …. Tapi aku hanya tersenyum sekarang ….
Mungkin iya suatu hari rembulan tidak akan pernah bisa muncul lagi, namun saat itu seharusnya adalah saat dimana rembulan akan terang selamanya menjadi bulan paling terang diantara bulan yang lain dan tidak lagi menjadi rembulan yang penyendiri, meski saat itu dia hanya mengintip dari semesta sebelah karena sedang menerangi bumi yang lain …
Mungkin iya suatu hari rembulan tidak akan pernah bisa muncul lagi, tapi seharusnya saat itu adalah saat dimana kakek menjadi ramah dan menghilangkan jarak antara aku dan bintang-bintang disana, meski sebanyak dan seterang apapun semua bintang itu, satupun tak bisa mengaggantikan rembulanku yang baik …..

Kakek mendekatiku dan tertawa “kau sangka ini konspirasiku bersama Tuhan?”
Aku mengangguk
Kakek menjawab “Tidak, aku tidak ikut campur. Aku hanya merintangi jarak antara kau dan bintang, bukan kau dan rembulan. Jarak yang tercipta adalah langsung buatan Tuhan. Bujuklah Tuhan”

Aku tersenyum lirih
Aku akan bujuk Tuhan ….
Tuhan lebih mudah dibujuk daripada kakek ;)
Aku lalu berbalik, duduk manis dipinggir jurang, menanti malam dan menanti rembulan. Jika dia tidak ada aku akan pulang dan kembali malam berikutnya dan malam berikutnya dan malam berikutnya lagi … aku akan berhenti hingga Tuhan terbujuk atau malam takkan pernah lagi datang …..

Keduanya adalah tidak mungkin
Tuhan selalu akan terbujuk karena dia luar biasa baik
Malam akan terus datang karena kedua orang tuaku tak pernah berhenti berputar
Itu artinya aku akan tetap datang ke tempat yang sama dimana mungkin malam itu rembulan ada …

TUHAN LEBIH MUDAH DIBUJUK DARIPADA KAKEKKU
DAN MEMANG …. APA YANG AYAHKU, SANG KALA, KATAKAN, AKU BELAJAR SESUATU, MESKI HINGGA SEKARANG AKU MASIH TERLALU KECIL UNTUK MEMAHAMI APA YANG TELAH AKU DAPAT DARI PELAJARAN ITU ……

Mungkin agar aku berhenti merasa kesepian dan agar rembulan itu menjadi rembulan yang tidak penyendiri lagi ……….

Dalam semesta ini tidak akan pernah ada akhir yang benar-benar bahagia … tapi!  Tuhan kan bisa dibujuk ;’p
===================================
Fin, 12.01 midnight, 26 feb. 2011
Bumi tidak pernah tau semudah apa dia akan lenyap tertutup awan
Bumi juga tak pernah tahu, sejauh apa jarak akan menjauhkan
Bumi juga tak pernah tau secepat atau selambat apa waktu menimangnya
Bumi tak ingin tahu bagaimana cara Kala membuat kepalanya penuh dengan kenangan
Mereka semua adalah keluarga Bumi ....

Bumi tak pernah tahu semudah apa dia akan hilang dan dilupakan .... Hanya saja satu hal yang diyakini oleh bumi .... Rembulan adalah teman terbaiknya hingga saat ini!

Tidak ada komentar: