Senin, Februari 21, 2011

MENJELANG HARI - H

dibuat : 22  Mei 2005
Kenangan masa SMA




MENJELANG HARI - H
Empat bulan sebelum hari H
Aku masih berpikir apa yang harus aku lakukan untuk memberi kesan pada hari ulang tahun Rio empat bulan lagi sekaligus untuk memperbaiki apa yang dulu cacat karena keegoisanku menjauhinya.
Aku sempat berpikir untuk belajar membuat brownies dengan tanteku, dia jago sekali masak, tapi entah kenapa tiba-tiba saja segala sesuatu tentang dia membuat jalan pikiranku seperti nenek-nenek. Aku merasa hanya sekedar brownies bukanlah sesuatu yang berkesan dan bermanfaat baginya, hanya sebuah perayaan sehari sebagai hura-hura. Maka aku kembali mempertimbangkan pilihan lain.
Pertama kali aku mengenalnya ketika kelas dua SMA. Dia lelaki yang pendiam dan tidak menarik perhatianku sama sekali, dia tidak mencolok, tidak juga anak yang keren dan suka tebar pesona kesana-kemari. Hanya anak lelaki biasa.
Perasaanku tentangnya mulai berubah setelah aku sadar dia punya senyum yang amat manis dan sifat yang menyenangkan. Dia sering membuatku tertawa dan apapun yang aku katakan kepadanya tak pernah satu kalipun membuatnya marah.
Ketika perasaan bahagia bersamanya itu mulai merubahku menjadi gadis periang maka sudah sewajarnya seorang perempuan merasakan hal yang berbeda.
Semakin hari aku mulai canggung berada didekatnya, aku semakin sering diam dan cepat marah padanya. Aku mulai tidak terima dengan sifatnya yang cuek itu, aku terus menuntut perhatiannya. Lalu lama kelamaan aku sadar bahwa semua ini tidak pada tempatnya dan aku pikir lebih baik hilangkan saja perasaan ini dan kembali berteman seperti dulu lagi.
Segala cara kulakukan untuk menghilangkan perasaan itu, mencari sifat buruknya, mengorek kebiasaannya yang tidak baik, hingga aku memutuskan untuk menjauhinya. Aku tak pernah lagi berusaha mencari perhatiannya, aku tak pernah lagi bercanda dengannya, aku tidak pernah lagi tersenyum karena sikapnya yang manapun, aku telah berubah dan semua orang sadar aku berubah kecuali dia.
Enam bulan setelahnya, aku telah duduk di kelas tiga SMA, segala kesan dan perasaanku padanya tak pernah berubah sedikitpun, lalu aku sadar telah bersikap egois. Aku menjauhi seseorang yang tak pernah tahu kesalahannya, aku hanya mementingkan perasaanku saja. Maka aku mengajaknya berbaikan. Aku lega sekali. Maka setelah sekian lama untuk pertama kalinya aku ingin menjadi teman yang baik, yang cerewet, yang selalu memarahinya jika dia lupa merapikan meja seperti dulu.

Dua minggu sebelum hari H
Alika, teman sekelasku sejak kelas satu SMA mengirimkan sms padaku, dia bilang ingin menceritakan sesuatu padaku maka kudengarkan dia dengan senang hati.
Betapa tidak menyangkanya aku ketika dia bercerita bahwa dia sangat menyayangi Rio. Akupun terduduk merenung di kamarku hingga aku menangis sendirian. Aku menyesal dan marah pada diriku sendiri karena telah mencintai orang yang salah.
Satu kalipun aku tidak pernah menyalahkan Alika, dia sama sepertiku tidak bisa mengendalikan datangnya perasaan itu, hingga aku sadar bahwa akulah yang lebih berhak untuk pergi dari mereka. Karena aku hanya teman, dari dulu begitu dan tidak akan pernah berubah. Perasaannya padaku pun sesungguhnya tak pernah ada, berbeda dengan perasaannya pada Alika. Dia sayang Alika maka aku akan menghormati apa yang dia sukai. Aku telah konsisten menjadi teman yang baik. Keputusanku untuk memberikan kesan pada hari ulang tahunnya juga tidak pernah kubatalkan sama sekali.

Tiga hari sebelum hari H
Aku berputar-putar di toko buku, mencari sesuatu yang menarik untuk dijadikan hadiah. Hingga aku menemukan sebuah buku berjudul ‘Happiness’, kebahagiaan. Aku langsung merasa menemukan yang aku cari, kebahagiaan hal yang sangat ingin kutanamkan dalam hatinya.
Hari itu juga aku membungkus kadoku dengan rapi, tapi perasaanku tiba-tiba saja tidak enak.

Satu hari sebelum hari H
Perasaan tidak enak itu masih muncul, aku merasa khawatir pada sesuatu entah apa itu.
Pukul lima sore sebelum pintu kelas dikunci oleh penjaga sekolah, aku meletakan kado yang terbungkus tas bergambar boneka di bawah meja tempat dia duduk. Tidak ada kata-kata manis, tidak ada kalimat cerewet, tidak banyak doa, hanya kalimat ‘be careful’ yang penuh arti untuknya. Aku bahkan tak menuliskan namaku.

Hari H
Segalanya berjalan seperti biasa. Aku tahu dia sudah melihat kado itu, tapi dia tak bereaksi apa-apa. Dia cuek seperti biasa. Aku hargai itu.
Perasaanku semakin tidak enak.
Jam pelajaran keempat, ada sesuatu yang berbeda, aku memperhatikan ke seluruh kelas dan akhirnya aku sadar apa yang terjadi.
Tak lama setelah itu, Alika muncul di depan pintu sambil membawa black forest berhias lilin angka tujuh belas di atasnya. Hadiah ulang tahun untuk Rio.
Aku hanya bisa tertawa dan bertepuk tangan seperti yang lain. Sebagai teman itulah yang seharusnya aku lakukan, bahagia dengan apa yang membuatnya bahagia. Sepertinya Alika berhasil memberikan kesan yang manis pada Rio.
Kupikir jika aku yang melakukan itu, pasti tidak ada kesan apapun, pasti hampa seperti biasa.
Nina, teman sebangkuku menatapku penuh tanya. “Yang sabar ya!” katanya. Kalimat itu hanya kutanggapi dengan senyuman dan dengan yakin aku katakan “Jika dia bahagia, akupun juga bahagia”.
“Baiklah, aku tenang jika kau baik-baik saja” sambungnya lagi penuh perhatian.
*
Siang itu aku dan yang lain baru menyelesaikan sholat dzuhur, sambil merapikan kerudung aku melirik lewat jendela, kulihat hangar-bingar romansa anak-anak muda yang saling menyindir dan menodorong-dorong ketika orang yang disukainya lewat. Mereka bahagia, teman-temanku juga tertawa mengintip kejadian itu dari jendela mushola. Akupun ingin tertawa seandainya bisa, tapi cukup sudah aku bersikap palsu.
Aku duduk bersandar di tiang mushola, sambil memeluk lutut. Tak terasa air mataku jatuh deras sekali, sampai aku tidak bisa menahannya. Akupun menangis di pundak Nina hingga puas.
Sampai sekarang aku masih berusaha untuk tidak merasa iri pada Alika, aku mencoba menolak prasangkaku bahwa Tuhan telah tak adil, aku mencoba untuk menjadi bijaksana.
Lama aku memikirkannya sambil larut dalam kesedihan. Aku sempat berpikir bahwa akulah yang lebih cocok mendapatkan ‘Happiness’, dibandingkan Rio. Untuk saat ini dia cukup bahagia.
Dan setelah hari H itu lewat aku tak pernah tahu, apakah semua yang kuberikan itu telah berkesan di hatinya atau tidak. Terakhir kali, dia hanya mengatakan terima kasih yang tak berarti apa-apa lewat pesan singkat handphone. Dia bahkan tak mau menatapku langsung untuk mengucapan itu, dia telah meninggalkan kesan yang begitu besar. Sebuah kesan kekecewaan.
Hari ini aku mencoba belajar bahwa kebahagiaan itu ternyata tidak mudah.
Satu hal yang kubanggakan dari diriku, aku masih menganggap Rio dan Alika sebagai teman baikku. Kapanpun mereka ingin telingaku mendengarkan cerita mereka, kapanpun mereka ingin lidahku memberikan saran untuk mereka, kapanpun mereka ingin bibirku tersenyum untuk mereka akan kuberikan dengan senang hati. Kesenangan itupun bukan hal yang berarti lagi bagiku.      

Tidak ada komentar: