Senin, Februari 21, 2011

LINGKARAN MARAH TERAKHIR

Mei 2005
 Cinta itu terbalas atau tidak
berjodoh atau tidak
cinta tetaplah cinta
meski yang dicintai telah melepaskan diri
cinta itu akan tetap abadi, disini, mengambil tempat seumur hidup


Semua orang disekelilingku saat itu tahu bahwa aku mencintainya karena hal itu telah menjadi rahasia semua orang dan ketika mereka tersenyum dengan sikapku yang dingin, aku sangat maklum.
Satu-satunya orang yang dengan polosnya bertanya kenapa sikapku dingin adalah dirinya sendiri yang, aku masih ragu bahwa dia benar-benar tak sadar bahwa aku sangat menyayanginya.
            Tapi setelah hari perpisahan itu, setelah enam tahun berlalu mungkin mereka telah melupakannya. Dan tak semua berpikir bahwa sampai sekarang cinta itu masih ada untuknya.

*
Enam tahun yang silam
            Tak ada yang istimewa dihari perpisahan hari ini, Riska hanya diam seharian. Mungkin tak siap. Mungkin takut. Atau mungkin memikirkan hasil ujiannya. Banyak kemungkinan yang bisa diutarakan dari ekspresinya saat ini tapi satu hal yang pasti, dia sedang marah. Lingkaran marah yang tebal tergambar berantakan di atas kertas lusuh, sudah hampir satu jam Riska membuatnya, dia bilang itu bisa membuatnya tenang dan membuatnya sadar bahwa dia terlalu sering marah dan harus banyak berdoa.
Gina tersenyum manis di sampingnya, mengatakan dia paham yang terjadi.
“Aku langsung tahu ketika melihat dia gelisah di sana” ucap Gina sambil menunjuk ke arah kerumunan anak-anak kelas IPA 1.
Tatapan Riska langsung terfokus pada seseorang yang duduk di pojok kanan meja nomor 4.
“Mereka sudah kembali kan” sahut Riska
“Apa yang kau maksud dengan ‘kembali’?”
“Mereka memang jodoh”
“Apa itu doa ataukah?”
“Asalkan dia senang…”
“Ya sudah, jika lingkaran marah itu bisa menenangkan hatimu, selesaikanlah”
Riska menggambar lingkaran marah semakin cepat, semakin keras, semakin berantakan hingga tak mampu lagi menahan air mata. Gina menggenggam tangannya erat.
*
Enam tahun kemudian
“Riska…. Rumah sakit puas dengan hasil kerjaku, walaupun aku anak baru mereka senang denganku” Gina berteriak senang pada Riska melalui ponsel biru kesayangannya.
“Baguslah Gin, lagipula itu juga kan berkat doa dan usahamu yang keras”
“Dan teman yang baik” sambarnya kemudian.
Riska hanya tersenyum.
“Lo! Ris, kok diam ada apa? Gak semangat ngobrol ya?”
“Apa kamu belum dapat? Kamu cepat kemari deh?”
Tidak perlu waktu yang lama hingga Gina sampai di rumah Riska, dan memandang undangan cantik berwarna coklat.
“Waw, kejutan hebat! Mereka akan menikah!” Gina benar-benar kaget.
Riska kembali melontarkan senyum saja.
“Kau tak apa Ris?”
“Memang ada apa?”
“Bukannya…?”
“Ayolah, itu sudah berlalu, sudah enam tahun. Aku tak pernah punya waktu untuk memikirkan perasaan itu lagi. Aku lebih memilih mengakhiri gelar dokter muda ku dengan segera daripada memikirkan perasaan semacam itu” jawabnya enteng
“Oooo, ya bagus deh. Paling gak aku tidak perlu mengkhawatirkanmu lagi”
“Ya memang tak ada yang perlu dikhawatirkan. Eh tapi aku mau nyari kado spesial untuk mereka”
“Ikut…..”
*
Gina dan Riska melihat sekeliling gedung mencari orang yang mereka kenal dan mereka menemukan kumpulan meja di tengah ruangan yang di sana terkumpul perempuan-perempuan yang asik mengobrol satu sama lain dengan riangnya. Mata mereka menatap satu-persatu orang-orang itu, Cindy, Alika, Gres, Andini, Anisa, Rani, Mey, Luna, dan banyak lagi yang lain. Gina dan Riska mendekat lalu berseru begitu saja.
“Eh, ini resepsi pernikahan atau reuni sih?”
Semua menatap ke arah dua orang itu dan tertawa
“Hey, kalian datang juga” Dinda yang pertama kali menyapa.
Gina mengangguk dan Riska hanya tersenyum seperti biasa.
“Mana anak-anak yang lain?” tanya Gina
“Ooo mereka mungkin belum datang, tapi yang cowoknya ada kok di ruangan sebelah” jawab Dinda
“Pantas ribut, ternyata isinya cewek semua to” gumam Riska pada mereka.
“Iya ya?” mereka tersenyum, dan suasana kembali hangat. Sehangat ketika mereka mengobrol di kelas sehabis sholat Dzuhur. Sehangat ketika mereka bercanda pagi hari sambil mengerjakan piket. Riska amat rindu saat itu.
*
Riska mengambil tempat duduk paling strategis untuk menatap kedua pengantin itu sambil menyendiri. Dia mengeluarkan sebuah buku lusuh, pulpen hitam, lalu mulai membuat lingkaran sambil memandang ke depan, pada kedua pengantin baru itu, pada perempuan yang dulu sangat dikaguminya, pada laki-laki yang dulu pernah sangat disayanginya. Lalu dia melanjutkan membuat lingkaran besar itu dengan tenang dan tersenyum pada semua orang yang memandangnya. Senyum PALSU!!!!!!
*
Berjam-jam Riska duduk tanpa beranjak dari tempatnya, berjam-jam Gina menahan  berdiam diri tanpa melakukan apa-apa.
“Ris, gak pulang? Udah siang lo!” Alika bertanya pada Riska.
Riska tersenyum, “Gak nanti aja, aku mau ngasih hadiah spesial buat mereka, jadi nungguin mereka gak sibuk dulu”
“Oooo, gitu. Ya udah aku duluan ya!”
Riska mengagguk dan melambai pada Alika sambil tersenyum.
Tak lama setelah itu Riska berdiri dan menuju kedua mempelai yang terlihat sangat bahagia.
“Hai” sapa Riska canggung
“Hai” jawab Nida lembut.
Riska lalu menyerahkan bunga mawar putih yang sangat cantik padanya, lalu menyerahkan kado berbungkus kertas kado coklat pada Panji yang berdiri diam di samping Nida.
“Eh Bapak, yang baru kawin, tiba-tiba pendiam ya!” Ledek Riska dengan nada mencemooh. Pluk! Pukulan kotak kado meluncur saja ke kepala Riska.
“Jahat! Nida, katakan padanya, jika menganiayaku lagi, kau akan menceraikannya dan mengambil seluruh harta warisan dan membaginya padaku!” Riska mengelus kepalanya dan memamerkan senyum liciknya.
“Eh jangan sembarangan bicara ya” sambar Panji geram
“Kalian ini” Nida tersenyum kecil pada Riska “Makasih bunganya ya, cantik sekali”
“Ya… sama-sama aku juga ngucapin makasih”
“Buat apa?” tanya Nida bingung
“Apapun!” Riska diam sejenak lalu menyerahkan sebuah surat “ Oh ya, aku juga punya permintaan. Tolong bersihkan segala apapun yang tertulis di surat dalam amplop ini ya. Mungin agak merepotkan tapi kumohon pada kalian. Jika sudah dilakukan tolong pos kan kembali, alamat, perangko dan semuanya sudah ada di situ, kalian tinggal mengeposkannya kembali. Anggap saja ucapan terima kasih tadi untuk ini. Gimana?”
“Oke” sahut mereka bersamaan
“Bagus, kalian ternyata kompak. Aku doain langgeng selamanya. Kalau begitu aku pulang ya!”
“Ya, makasih udah datang”
*
“Hai Gin” sapa Riska
“Hai, kamu kelihatan senang banget”
“Oh ya?”
“Ya. Ris, aku ikut mobilmu ya!”
“Boleh”
“Tapi aku yang nyetir, dan kamu duduk di belakang”
“Kenapa?”
“Gak usah nanya. Kita sahabatan udah delapan tahun, konyol kalo kamu nanya gitu. Cepet masuk!”
“ Kamu ini Gin”
Gina menjalankan mobil dengan perlahan, membiarkan kaca mobil terbuka sedikit, membiarkan angin menelisik masuk ke dalam mobil dan meniup kerudung putih Riska yang sekarang telah basah oleh air mata, membiarkan segalanya menjadi benar, dan ternyata memang hanya di hadapan Ginalah Riska tidak menjadi palsu.
*
Hadiah yang pertama kali dibuka Nida adalah amplop dari Riska, dan diluar dugaan Nida isinya adalah berlembar-lembar gambar lingkaran tebal, yang sangat tidak rapi. Nida terperanjat kaget sambil menutup mulutnya.
Ada apa Nid?” tanya Panji yang khawatir melihat ekspresi Nida
“Ini” Nida menyerahkan kertas itu pada Panji
“Memang ada apa, kamu paham maksudnya ya?”
“Panji, ini lingkaran marah”
“Lingkaran marah?” Panji mengerutkan dahinya
“Panji, dia masih mencintaimu, dia marah dengan pernikahan kita, karena itulah dia menggambar lingkaran ini, lalu dia berusaha mengikhlaskan segalanya dengan memberikan rasa marahnya pada kita, meminta kita mengobatinya, lalu mengembalikannya padanya. Lihatlah gambar itu, apa kau tak bisa membayangkan betapa terlukanya dia? Jika aku ada di posisinya, aku bahkan tidak akan sanggup muncul di resepsi itu, apalagi tersenyum senang dan bercanda seperti tadi”
“Mungkin karena itulah bukan kau yang ada di posisinya”
Nida lalu menangis di pangkuan Panji dan dia menyadari sesuatu bahwa dia menang adalah karena Riska selalu mengalah, dan sampai kapanpun hanya Riska yang berani mempertaruhkan perasaannya dengan sangat murah pada Nida hanya untuk seuntai senyum Nida dan Panji.
*
Tiga hari kemudian surat itu datang pada Riska, berlembar-lembar kertas yang penuh “Tipe X” bekas menghapus lingkaran marah buatan Riska.
“Maaf aku menyusahkan kalian” gumamnya, “Seandainya hati yang marah itu bisa terganti dengan yang baru, menjadi putih kembali tanpa ada cacat atau noda sedikitpun”.
“Seandainya kamu mau berusaha dan menunggu, semua itu akan datang dengan sendirinya” sahut sebuah suara di belakang Riska.
“Hai Bim” Riska berbalik menatap Bima tanpa rasa kaget.
“Kemarin kita tidak sempat ketemu ya, tapi aku melihatmu kok, kau sedang sibuk menggambar di kursimu sambil mengumbar senyum palsu, sesuatu yang sering kau lakukan di sekolah dulu”
“Kau ini tak pernah berubah, walaupun enam tahun tidak bertemu kau masih saja bisa menebak segalanya”
“Itu karena kau tidak berubah sama sekali, mudah ditebak”
“Kau yang selalu berusaha menebak tentang aku, bukannya aku yang mudah ditebak”
“ya sama saja lah selain itu aku juga selalu bisa mengerti perasaanmu. Itu yang selalu berusaha untuk aku lakukan setiap saat” Suasana hening sejenak. “Ris, kamu masih yakin dengan Tuhan kan?”
“Tentu saja!”
“Kau masih yakin bahwa segala takdir yang diciptakan Tuhan adalah adil kan?”
“Ya”
“Kau masih yakin bahwa segala yang diberikan Tuhan itulah yang terbaik untuk kita kan?”
“Iya, tentu”
“Lalu apa lagi yang harus kau resahkan?”
“Seandainya saja aku bisa merubah perasaanku dengan mudah”
“Aku paham sekali dengan itu, aku akan menunggu dan bersabar, melihat segala yang terjadi nanti, seperti yang kau lakukan ketika menunggu Panji”
“Jangan bodoh”
“Tidak aku tidak bodoh, nanti jika kau menikah dengan orang lain, maka aku juga akan mengirimkan lingkaran marah padamu dan memintamu membersihkannya lalu mengeposkannya kembali”
Riska tersenyum mendengar pernyataan yang terlalu jelas seperti itu.
“Akhirnya, kau lega juga! Aku senang melihatnya. Biarkan dia menghilang, sekalian latihan ikhlas”
Riska mengangguk.
“Ya sudah, aku pulang ya!”
“Bima, entah kenapa aku merasa tenang sekarang. Makasih ya, kau teman terbaik”
Bima pergi meninggalkan setumpuk kertas putih di teras rumah Riska. Gina menatapnya dari jauh.
“Seandainya aku bisa memahami perasaanmu Riska, aku tidak pernah merasa seperti itu, aku hanya bisa memahamimu bukan hatimu” gumam Gina
*
Riska mengambil tumpukan kertas putih itu, dan menyimpannya di tempat yang tak seorangpun tahu.
*
Keadilan bagi manusia adalah segala yang membuat mereka bahagia, dan segala yang tak bahagia selalu mereka sebut dengan ketidakadilan. Padahal adil bukanlah kebahagiaan tetapi keseimbangan. Apa yang ingin kita dapat, harus kita bayar. Dan satu-satunya yang ingin kudapat saat perasaan itu bergejolak adalah kebahagiaannya, walaupun kebahagiaan itu melukai hatiku, paling tidak aku mendapat secercah kebahagiaan pula ketika melihatnya tersenyum. Namun seiring dengan ketenangan dan kedewasaanku menghadapi semua ini, kini yang aku ingin adalah hanya satu yaitu keikhlasan.
Aku merasa benar-benar beruntung, sangat beruntung.

Tidak ada komentar: