Senin, Februari 21, 2011

SEPENGGAL PENYESALAN

22 Mei 2005
Kisah  yang selalu berkesan ....
Guru-guru yang aku sayangi
dan satu yang pernah sangat aku cintai :)


Pertemuan pertama dengannya bukanlah sesuatu yang berkesan. Seseorang yang sering kusapa dengan ‘kakak’ itu pertama kutemui di ruang kelas dingin pada Jum’at malam, ketika pelajaran Matematika geometri. Namanya Pandu, asisten Bu Fika, dosen Matematika.
*
Aku berputar berkeliling seluruh kampus mencari Bu Fika untuk menanyakan perihal tugas yang tiga hari lalu beliau titahkan pada anak-anak Matematika –berhubungan dengan geometri, kredit wajib yang hampir membuatku botak, untung saja Bu Fika dosen yang baik dan selalu bersedia jika murid-muridnya memohon untuk konsultasi beberapa hal- namun tak kutemukan di sudut ruangan manapun. Tepat ketika aku menuju perpustakaan kampus aku berpapasan denganya ,Kak Pandu, yang kemudian tersenyum padaku.
“Hai Ra, kok kebingungan gitu kenapa?”
“Oh, Kak Pandu. Iya ni, Mira lagi nyari Bu Fika tapi gak ketemu”
“Oh, Bu Fika. Iya gak bakalan ketemu, barusan beliau pulang. Suaminya sakit lagi jadi beliau buru-buru ke rumah sakit deh”
“Waduh, susah dong jadinya. Padahal Mira mau nanya soal tugas kemarin”
“Tugas?” Pandu mengernyitkan keningnya “Tugas yang tiga hari lalu di kasih Bu Fika?” tanyanya kemudian
Aku mengangguk
“Buru-buru amat, tugasnya kan paling lambat dikumpulin minggu depan?”
“Ya iya, habis kalo gak dikerjain sekarang, Mira bakal kerja rodi minggu depan. Soalnya kan ada proyek lain”
“Ah kamu ini, emang mau nanya apa?”
“Ini” aku kemudian menunjukan selembar kertas yang berisi gambar rumit penuh skala dan garis.
Pandu tersenyum, dia yang sudah pernah ngambil kredit itu terlihat tenang memandang gambarku tanpa rasa bingung. Dia lalu mengajakku duduk di sebuah bangku taman sambil menjelaskan gambar rumit itu dengan lancar. Penjelasan itu sangat melekat di kepalaku karena penjelasannya yang sangat bagus tapi sejak itupun pikiran rumit baru menyerangku. Aku mulai merasa aneh karena dia ‘baik sekali’ padaku.
*
Senin malam, aku baru keluar dari kelas dan langsung menuju perpustakaan mencari referensi untuk tugas sekalian mencari mungkin ada buku bagus disana.
“Hai Mira” sapa Pak Abdi –pengurus perpustakaan- yang sedang asik di depan layar komputer mendata buku-buku baru yang datang dari Jakarta dua jam lalu.
“Hai Pak” jawabku berusaha seramah mungkin
“Ra, tumben sabtu kemarin kamu gak ke sini, biasanya tiap sabtu kamu paling senengnya ya kesini. Habis kalo gak ada kamu saya gak ada temen ngobrol lo”
“Wealah bapak bisa saja, iya kemarin rencananya habis bertemu Bu Fika saya mau kesini tapi gak ketemu sama Bu Fika, trus waktu on the way kemari di jalan ketemu Kak Pandu, kebetulan dia kan asistennya Bu Fika jadi bisa ditanyain. Jadinya kemarin seharian saya di taman”
“Kencan?” tanya Pak Abdi bercanda
“Iya, kencan berduaan sambil ngomongin geometri, romantis banget” jawabku tak serius. Pak Abdi hanya tertawa.
“Haha, kamu bisa aja. Iya bapak tau si Pandu, dia juga sering kesini tiap hari Rabu sama Jum’at sore”
“Oh ya, temen bapak ngobrol juga dong?”
“Iya, kamu sejak kapan kenal dia?”
“Baru. Gak nyampe seminggu. Tapi orangnya enak diajak ngobrol, nanti kapan-kapan Mira juga mau nanya lebih banyak lagi”
“Emang kamu tahu gimana nemuin dia. Tu anak kalo gak diajak janjian dulu atau ada jadwal, susah dicarinya”
Aku menggeleng spontan, aku baru sadar tak punya koneksi apapun tentangnya. Kulihat sekilas Pak Abdi tersenyum lalu mengeluarkan handphone dari saku kemejanya.
“Nih nomor hapenya, catet!”
Aku mengernyitkan kening menatap dua belas digit angka yang tersusun di layar hape Pak Abdi. “Bukankah aku belum memintanya?” gumamku dalam hati “Ya, makasih ya pak!” ucapku pada Pak Abdi kemudian aku beranjak dari kursi itu sebentar menuju rak ‘referensi sastra modern’ untuk mencari bacaan bagus. Meski kini hatiku terpaut pada matematika tapi aku mencintai sastra lebih dari apapun.
*
Sejak hari aku mendapatkan nomor hape Kak Pandu, aku sering menghubunginya untuk bertanya segala tentang tugas kuliah, berhubung dia sudah tahu dan pernah ngambil kredit yang sama sehingga aku merasa bertanya ke tempat yang tepat. Sejak saat itu kami berteman baik, aku menghormatinya sebagai senior sekaligus sebagai seorang teman dan diapun kukira seperti itu. Satu hal yang masih terpaut dipikiranku saat ini, sikapnya. Dia selalu ada ketika aku membutuhkannya, sesibuk apapun tugasnya. Dia selalu tersenyum ketika bertemu denganku, dan rasa nyaman itu membuatku lebih sering belajar kepadanya daripada kepada Bu Fika. Dan kukira sejak itulah aku mulai suka padanya. Dia benar-benar ‘baik’.
*
Adi tertawa keras sekali ketika aku bercerita tentang Kak Pandu padanya. Tentang pertemuanku dengannya, tentang keakraban kami, dan tentang bagaimana aku begitu mengaguminya. Adi itu temanku sejak SMP, biasanya aku selalu curhat padanya tetapi sejak dia pacaran dengan Lia –seorang anak sastra Inggris seangkatan dengannya- aku jadi jarang bercerita macam-macam. Kebetulan hari ini aku bertemu dengannya dan aku memang tak tahan lagi harus menumpahkannya pada seseorang. Tapi aku merasa salah orang ketika melihatnya tertawa melecehkan seperti itu.
“Kamu? suka si Pandu pe a itu”
“Kamu kenal Kak Pandu?”
“Ya iyalah, aku kan temen sekamarnya di kost. Aneh kamu Ra suka sama dia, sejak kapan kamu ngerubah standar kamu?”
“Apa sih, standar apaan?”
“Ya, biasanya kan kamu sukanya sama cowok-cowok kharismatik yang berjiwa pemimpin dan terlihat cerdas luar dalam gitu, juga interest sama cewek-cewek” Adi mengacungkan jarinya seperti berhitung kemudian melanjutkan kalimatnya “Pas SMP kamu suka Edo, ketua ekskul taekwondo yang rambutnya jabrig trus suka gonta-ganti pacar, pas SMA kamu suka sama Gilang, anak pengusaha batik yang kaya banget itu, trus kelas tiganya kamu naksir banget kan sama Roni, anak olimpiade kimia, ketua OSIS yang fansnya banyak banget” jelas Adi terkikik “Kok tiba-tiba suka si Pandu cengengesan gitu, jangankan interest sama cewek, dulu waktu diminta Bu Fika masuk kelas trus ternyata siswanya cewek semua dia cuma bisa berkeringat menghabiskan tisu dua pak”.
Aku hanya bisa terdiam, aku ingat sikapnya ketika kami bertemu. Iya sih dia agak cengengesan, tapi itu menarik, Adi berlebihan sekali ataukah aku yang tak mengerti apa-apa.
“Tapi Ra” sambung Adi kemudian “Kalo memang kamu suka dia, aku bisa bantu kamu” ucapnya sambil menepuk dada “Mumpung dia single lo!”. Aku hanya menggeleng, entah kenapa aku tak mau ada orang lain terlibat.
*
Aku semakin sering bertemu dia, semakin tahu sifatnya, dari baiknya dia, sampe busuknya dia, tapi aku makin sayang padanya. Entah karena apa tapi perasaan itu mulai sulit disembunyikan. Terpancar jelas dimataku, hanya saja dia bukan lelaki yang peka terhadap itu.
Pak Abdi pernah bertanya iseng padaku “Kamu ada apa sama si Pandu, Ra? Pacaran ya?”. Spontan aku menggeleng “Gak kok”ucapku.
“Tapi kamu suka dia ya?” aku hanya tersenyum mendengar pertanyaan itu “Kalo kamu mau, bapak bilangin ke dia aja” sambung Pak Abdi yakin. Tapi aku tetap pada pendirianku, tak mau memaksakan apapun, dan bersikeras membiarkan segalanya berjalan dengan alami.
Kadang aku merasa bodoh dengan keyakinan itu, tapi entah kenapa aku merasa tenang dengan itu. Aku merasa dia tak mungkin lari…
*
Seekor peri kecil yang hanya akan memuja dalam diam, dalam bahasa yang tak terkata. Menatap tersipu pada sebuah dunia besar yang hijau segar menatap matahari. Mencoba terus menjejalkan dunia yang besar ke dalam hatinya yang kecil, sungguh penuh kesan namun peri kecil itu hanyalah seekor peri kecil. Terlalu kecil untuk dunia yang besar. .. . Meski begitu dia tetap duniaku yang paling bagus!!!
*
“Mira” sapa Kak Pandu padaku yang sedang menutup muka berpura-pura serius membaca buku sastra yang kucantol dari perpustakaan pagi tadi.
Saat itu aku duduk di kantin sambil minum jus tomat kesukaanku sesaat sebelum aku lihat Kak Pandu di depan pintu dan matanya langsung mengena padaku. Aku berpura-pura tak melihatnya karena sejak beberapa hari lalu aku mulai mencoba untuk tak ingin bertemu dengannya.
Dulu aku merasa dia baik sekali padaku. Ya dia memang baik dan aku senang dengan itu, tapi ternyata dia benar-benar baik pada semua orang dan tiba-tiba aku merasa salah harus mencintainya. Bahkan menganggapnya duniaku. Aku benar-benar salah paham dengan sikapnya yang terus-menerus memberi harapan. Aku takut, tak hanya aku yang mencintainya dan di matanya itu tak kutemukan cinta. Maka aku merasa harus mundur sebelum semuanya terlanjur menyakitkan. Tapi sulit sekali, dia selalu ada, dia selalu tersenyum padaku, dan aku tak bisa diam lama-lama terhadapnya.
“Amira!!!” sapanya lagi padaku.
Aku tetap menutup wajah dengan buku sambil sesekali melirik ke arahnya tanpa ekspresi.
Dia tersenyum padaku dan menarik buku yang kupegang “Kenapa? Kok hari ini beda sih?” tanyanya sambil menatap buku yang kupakai menutup muka tadi.
Aku hanya menggeleng seadanya “Tak apa” jawabku singkat, dia terlihat heran karena biasanya aku cerewet sekali padanya. Berbicara dengan amat ceria dan selalu punya topik menyenangkan untuk dibicarakan.
“Ra” katanya sambil mencolek bahuku “Kenapa sih? Tu kan, gitu. Ngambek lagi” sambungnya lagi tersenyum cengengesan kemudian duduk disampingku tanpa meminta izin. Lama-kelamaan aku tak kuat untuk tak tersenyum, aku menatap wajahnya lama tanpa suara dan ekspresi. Aku membayangkan akan keluar pertanyaan dari bibir itu, atau sebuah pengakuan, aku benci sikap ‘pura-pura tak tahu’nya itu.
Ingin sekali kukatakan ‘aku suka padamu’ tapi mulut ini bisu, seperti lidah tanpa pita suara. Dan waktu saat itu berlalu sia-sia dalam sekamku sendiri menyimpan perasaan.
*
Hari ini aku melihatnya tersenyum lagi, bukan senyum yang istimewa tapi ketika ku melihat senyum itu dan aku tahu dia baik-baik saja aku merasa tenang, sebab dia duniaku, dan selamanya akan seperti itu
*
Adi memukul kepalaku tanpa perasaan mendengar ceritaku
“Sudah kubilang, kau hanya perlu mengatakan padanya tentang perasaanmu, urusan dia suka atau tidak itu belakangan, yang penting kau tenang dengan perasaanmu”
“Kau saja yang katakan!” jawabku cuek
“Aku pernah mengatakan padanya bahwa ada seseorang yang menyukainya, kukira dia mengetahuinya, dia…” Adi tertahan berkata sehingga aku memotongnya “Pura-pura tak tahu” sambarku dengan kesal “Laki-laki aneh, pengecut”
“Kalian sama pengecutnya, loser” sambung Adi kemudian “Tapi kamu serius mengijinkanku mengatakan perasaanmu padanya?” tanyanya sekali lagi
“Tidak” teriakku, dalam sekejap pikiranku berubah dan kembali diam dalam ketakutan yang tak jelas.
*
Sidang yudisium Kak Pandu siang ini akan berakhir, dan setelah ini takkan ada pertemuan lagi, takkan ada senyumnya lagi, takkan ada kebahagiaan lagi. aku diam berpikir, bisakah membiarkannya pergi meneruskan S-2 ke Bandung tanpa aku tahu perasaannya atau dia tahu perasaanku.
Adi terus menyuruhku mengatakannya tapi aku tetap sulit melakukannya, ada sesuatu yang menahanku mengatakan itu. Entah apa.
“Ra, sidangnya sukses” kata Kak Pandu padaku sambil berlari kecil menghampiriku yang duduk di bangku taman.
Aku hanya tersenyum hambar “Baguslah”
“Ra” panggilnya padaku. Kemudian dia diam lama sekali, aku terus berteriak dalam hati, ‘cepat tanyakan, cepat katakan’ teriakku tapi sayang dia tak bisa mendengar suara hatiku yang begitu keras. Dia hanya menghela nafas panjang dan tersenyum
“Doakan aku berhasil ya nanti di S-2 ku”
Aku mengangguk tanpa mengatakan sesuatu hanya hatiku yang terus-menerus berhujat “Benar kan dia tak cinta padaku, dia hanya terlalu baik, dan aku terlalu berharap. Tapi kenapa dia masih pura-pura tak tahu seperti itu, apa sebegitu bodohnya dia sampai hal sejelas itu dia tak tahu. Atau aku yang tak mengerti keadaan ini. Tapi akhirnya aku yakin dia tak mencintaiku sama sekali” sepulangku dari taman aku hanya menangis sendirian.
Sent massage by Adi
Ada satu kemungkinan dia tak mencintaimu, namun ada seribu satu kemungkinan dia mencintaimu. Entah kenapa aku merasa kalian tak akan terpisah secepat ini…
*
Hatiku tak pernah kosong.
Sejak dia pergi ke Bandung dua bulan yang lalu, tak pernah ada komunikasi antara kami. Akupun tak terlalu banyak berharap, cewek-cewek Bandung kan cantik-cantik dia pasti telah melupakanku, tapi aku akan tetap mencintainya.
Setiap saat
Pada malam yang sama
Pada bintang yang sama
Karena sesuatu yang tak pernah berubah
Kukira waktu terhenti

Aku terdiam menatap sebuah surat dengan amplop coklat di depan pintu kamar kost ku. Aku meraihnya cepat, kemudian membukanya.

Mungkin aku egois mengatakannya sekarang. Disituasi yang sangat tak tepat. Entah kau masih peduli atau tidak, tapi aku ingin mengatakan padamu
“Aku cinta padamu”

Aku membeku di depan pintu membacanya. Aku tak tahu apakah itu hanya sebuah mimpi atau kenyataan. Apakah sebuah fakta atau hanya harapan sesuatu yang akan terjadi setelah aku dan dia berpisah. Aku tak tahu.
Hanya saja hingga sekarang aku masih tak bisa membedakan, yang mana yang nyata, yang mana sesuatu yang hanya ku ‘ada-ada’kan untuk menghibur hatiku.
Aku masih membeku hingga sekarang.
Meski tak kutemukan
Pita suaraku dalam cintamu
Meski dalam bisu
Lidahku tetap menyanyikan cinta itu tanpa lelah

Tidak ada komentar: